See. Seringan itu?
Mikir deh, "Apakah ada seorang perempuan yang merelakan dirinya untuk diperkosa selama bertahun-tahun?" Tentu  saja tidak ada.
"Kenapa dia tak mengadu?" Inilah yang disebut relasi kuasa, karena dia (korban perkosaan), berada dibawah ancaman. Yang demikian saja, orang-orang masih tak paham. Malah berkomentar yang menyudutkan si korban. Ini suatu cacat pikir dari komentator kebanyakan.
Media mengangkat kasus ini, menggambarkan, seakan-akan, ketika laki-laki memperkosa seorang anak dan perempuan, merupakan hal biasa. Padahal ini adalah kejadian luar biasa.
Kalau kejadian pemerkosaan seperti itu, di media hanya menggunakan kata-kata seperti pelampasan hasrat, meniduri, menggagahi, ini menyakiti sekali bagi si korban. Sudah diperkosa, eh malah disudutkan oleh media.
Pemilihan kata dalam media tulisan, harus tegas dan tepat sasaran. Ini pelakunya ada, tulis saja, pelaku pemerkosaan. Langsung dan tepat sasaran, sehingga si pelaku ini yang jelas-jelas sudah berbuat salah, mendapat hukuman. Bukannya si korban yang menjadi bulan-bulanan media.
Posisi Perempuan di Media
Sebelumnya, perempuan memang tak ada yang maju di media. Hanya akhir-akhir ini, Najwa Shihab yang kita kenal, berkat keberaniannya mewawancarai politisi, juga seorang feminis. Â Selain itu, apakah ada lagi? Sepertinya tak ada. Jadi kita berkewajiban memotret orang-orang di sekeliling kita, khususnya perempuan, agar dikenal juga secara luas.
Narasumber dan Pertanyaan "Ajaib" Media Massa
Sebelumnya sudah saya sebutkan, bagaimana nasib perempuan, khususnya korban perkosaan, pada narasi media massa. Lucunya, para reporter kebanyakan, malah mencari informasi yang kurang valid, misalnya narasumbernya adalah  tetangga atau orang-orang yang tak ada hubungannya dengan si korban.
Satu lagi yang kerap aneh menurut saya. Saat si reporter bertemu korban, pertanyaannya juga sungguh menggemaskan, seperti, "Bagaimana kejadiannya? Bagaimana perasaannya?"