Mohon tunggu...
Auda Zaschkya
Auda Zaschkya Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan. Pernah jadi wartawati.

Realita adalah Inspirasiku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konstruksi Sosial dan Media Massa, Legalkan Patriarki?

24 April 2021   01:40 Diperbarui: 24 April 2021   01:57 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan, laiknya para laki-laki, sebaiknya mendapat porsi yang sama, dalam pemberitaan. Kalau identitas si laki-laki, ditutupi, seharusnya, si perempuan juga. Supaya kita semua merasa keadilan itu merata. Sayangnya di negeri ini, pemberitaan mengenai perempuan, diumbar secara terang-terangan. Masih ingat, kasus artis VA?

Tak hanya sekali, media terus mengeksposnya berhari-hari, dengan terus menyebut kalau dia adalah bagian dari prostitusi artis, dengan bayaran Rp 80 juta. Nah, oleh karena di media terus-terusan disebutkan, di media sosial, orang-orang, kebanyakan laki-laki, menjadikan nominal Rp 80 juta itu, sebagai candaan yang dianggap biasa. Menurut saya, ini sungguh sebuah hinaan. Sementara si laki-laki yang dikatakan sebagai teman kencan VA, yang mana orangnya saja, tak tampak di layar kaca. Yang ada, hanya inisial dan pekerjaannya. Kemudia, VA dipenjara.

Belum lagi, pemberitaan juga ramai ketika mendapatkan NN, yang disebutkan sebagai salah seorang PSK di Kota Padang. Malah menurut berita yang saya baca, NN sengaja dijebak. Belum lagi saat itu, ada nama salah seorang anggota DPR yang ikut menggerebek. Setelah ditangkap, sekarang NN dihukum 5 bulan penjara dan mucikarinya yang laki-laki 7 bulan penjara.

1.   Nilai sosial dan budaya patriarki

  • 1.   Laki-laki, bekerja di salon dan mengasuh anak, juga menjadi tukang masak, tukang cuci, dan mengurus rumah,  dianggap tidak pantas. Yang terus dan langgeng berkembang di masyarakat, itu adalah pekerjaan perempuan.
  • 2.   Perempuan yang keluar malam, tidak pantas. Dampaknya, perempuan yang layak diperkosa. Ini yang hingga hari ini, masih ada dan menjadi momok bagi perempun. Belum lagi, diceritakan terus, dicap sebagai perempuan tak baik. Padahal, dia bekerja mendapat shift malam. Tapi apa yang dilakukan masyarakat? Seolah-olah, perempuan yang keluar malam, selalu salah dan pantas diperkosa. Anggapan yang jahat.
  • 3.   Perempuan juga dipandang tidak layak berada di ruang publik, tidak layak memimpin juga masuk politik. Contohnya, kuota untuk legislatif untuk perempuan, masih 30%, kan? Perempuan dianggap lemah, jadi tak bisa melakukan apa-apa di ruang publik. Padahal, itu anggapan yang keliru. Coba lihat Perdana Menteri New Zealand, Jacinda Ardern. Dia terpilih lagi jadi Perdana Menteri tahun ini. Lihat lagi Kanselir Jerman, Angela Merkel. Mereka perempuan yang mampu mengatasi permasalah di negaranya. Sedangkan kita?
  • 4.   Gaji perempuan lebih rendah, tetapi pajak perempuan, lebih tinggi. Bisa dibayangkan dan dihitung sendiri
  • 5.   Cara pandang masyarakat di negeri ini, banyak yang salah. Sehingga, melahirkan banyak isu gender.
  • -

    Anggapan di masyarakat, tidak bisa dilanggengkan lagi. Mitos dan bias gender, tidak berlaku lagi di masyarakat kini, karena nyatanya, banyk perempuan yang sudah menjadi pemimpin di berbagai kantor dan instansi. Lalu bagaimana media kita, memotret perempuan? Beberapa contohnya, sudah saya utarakan di atas.

    Potret Perempuan Indonesia dalam Sinetron

    Kalis Mardiasih, yang selama ini dikenal sebagai perempuan yang sering menulis isu-isu yang dialami oleh perempuan, memotret perempuan. Pertama, Kalis mengangkat, perempuan yang digambarkan, di sinetron-sinetron.

    Perempuan di sinetron di salah satu tv swasta, digambarkan ada 2 macam. Yang pertama seorang istri sholehah, berpakaian tertutup, tak berdaya dan memiliki masalah tidak bisa hamil, lalu mertuanya tak suka atau diselingkuhi. Dia di sinetron itu, digambarkan hanya pasrah dan berdoa walau mendapatkan kekerasan fisik dan verbal, supaya suaminya kembali baik. Di sisi lain, si suami, malah asyik dengan perempuan kedua atau kita biasa menyebutnya pelakor. Dengan dandanan serba wah, lalu menjadi musuh si istri sah.

    Dari contoh di atas pula, dapat disimpulkan, omongan-omongan yang menurunkan harga diri diri perempuan, memang nyata dilakukan oleh laki-laki dan perempuan sendiri. Dan ini benar-benar memalukan. Kok bisa? Sudah menjadi kebiasaan dan dimaklumi sebagai candaan, makanya tak bisa berhenti.

Pedih sekali memang jadi perempuan di negeri ini. Suka tak suka, realitanya memang seperti itulah pemberitaan dan omongan terkait perempuan. Seharusnya, perempuan jangan malah memusuhi atau menganggap perempuan lain lemah. Padahal, perempuan juga memiliki peran penting, baik yang sudah menikah atau yang belum.

Sedikit banyak, sinetron-sinetron itu, memasuki alam bawah sadar perempuan di dunia nyata, untuk mengejek perempuan lain. Hello sinetron! Kenapa perempuan terus-terusan digambarkan jadi sosok lemah dan Cuma bisa menangis? Kapan perempuan Indonesia memiliki pemikiran yang luas kalau tontonannya tentang perempuan yang meratapi nasib terus? Sajikan film atau sinetron kelas festival dong, supaya perempuan bisa berpikir dan bertahan untuk dirinya sendiri. Contohnya, seperti Film Marlina.

Selain itu yang digambarkan juga di sinetron/film Indonesia, adalah perempuan dengan standard kecantikan berkulit putih, berhidung mancung, dan tubuh langsing. Mereka dengan standard kecntikan aduhai ini yang laku di film. Sungguh tak adil sekali. Makanya sampai, tak hanya laki-laki yang menyudutkan perempuan, perempuan juga menghina sesamanya dan itu terjadi ke saya.

Suatu hari, seorang kawan, main ke rumah. Kemudian, dia melihat beberapa bekas luka di tangan dan kaki saya. Lalu dia bilang, "Sudah turunlah maharmu ini, Da. Banyak sekali bekas lukamu."

Saat itu, saya tak berkata apa-apa, cuma jadi berpikir sendiri, "Sehina itukah saya? Semurah apa harga saya? Kenapa ukuran mahar ditentukan dengan fisik?"

Saat itu saya insecure sekali dengan keadaan saya.  Walau memang pernah kenal, sebutlah kawan, tapi dia mesti menjaga omongan, kan?

-

Media Massa, Momok bagi Korban Perkosaan

Dominasi laki-laki, juga menjadi momok bagi perempuan sampai hari ini. Berbagai kasus pemerkosaan, juga masih menghiasi media kita, di mana kalau ada perempuan diperkosa oleh gurunya, apalagi bertahun-tahun.

Bagaimana media memberikan judul pada berita seperti di atas?

Media kebanyakan, menggunakan pemilihan kata yang tidak tepat, sehingga pembaca pun jadi memberikan kesimpulan, "Oh ini suka sama suka."

See. Seringan itu?

Mikir deh, "Apakah ada seorang perempuan yang merelakan dirinya untuk diperkosa selama bertahun-tahun?" Tentu  saja tidak ada.

"Kenapa dia tak mengadu?" Inilah yang disebut relasi kuasa, karena dia (korban perkosaan), berada dibawah ancaman. Yang demikian saja, orang-orang masih tak paham. Malah berkomentar yang menyudutkan si korban. Ini suatu cacat pikir dari komentator kebanyakan.

Media mengangkat kasus ini, menggambarkan, seakan-akan, ketika laki-laki memperkosa seorang anak dan perempuan, merupakan hal biasa. Padahal ini adalah kejadian luar biasa.

Kalau kejadian pemerkosaan seperti itu, di media hanya menggunakan kata-kata seperti pelampasan hasrat, meniduri, menggagahi, ini menyakiti sekali bagi si korban. Sudah diperkosa, eh malah disudutkan oleh media.

Pemilihan kata dalam media tulisan, harus tegas dan tepat sasaran. Ini pelakunya ada, tulis saja, pelaku pemerkosaan. Langsung dan tepat sasaran, sehingga si pelaku ini yang jelas-jelas sudah berbuat salah, mendapat hukuman. Bukannya si korban yang menjadi bulan-bulanan media.

Posisi Perempuan di Media

Sebelumnya, perempuan memang tak ada yang maju di media. Hanya akhir-akhir ini, Najwa Shihab yang kita kenal, berkat keberaniannya mewawancarai politisi, juga seorang feminis.  Selain itu, apakah ada lagi? Sepertinya tak ada. Jadi kita berkewajiban memotret orang-orang di sekeliling kita, khususnya perempuan, agar dikenal juga secara luas.

Narasumber dan Pertanyaan "Ajaib" Media Massa

Sebelumnya sudah saya sebutkan, bagaimana nasib perempuan, khususnya korban perkosaan, pada narasi media massa. Lucunya, para reporter kebanyakan, malah mencari informasi yang kurang valid, misalnya narasumbernya adalah  tetangga atau orang-orang yang tak ada hubungannya dengan si korban.

Satu lagi yang kerap aneh menurut saya. Saat si reporter bertemu korban, pertanyaannya juga sungguh menggemaskan, seperti, "Bagaimana kejadiannya? Bagaimana perasaannya?"

Kasusnya jelas dia diperkosa, kok malah ditanya perasaannya? Kenapa harus ditanya lagi kronologis kejadiannya? Apakah harus dijelaskan, si laki-laki memasuki kamar saya, lalu dia membuka pakaiannya, dan meniduri saya? Tidak, kan? Makanya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu, tak perlu ditanyakan. Seharusnya ada pertanyaan lain dong. Misalnya, "Usaha apa saja yang sudah dilakukan untuk menjerat pelaku?" atau "Setelah kasus ini terungkap, apa yang akan dilakukan si korban terkait pendidikannya?"

Sebagai orang yang pernah berada di lingkup media, saya paham fungsi-fungsi pers. Tapi yang saya lihat, belum ada perubahan yang berarti, terkait pemberitaan soal perempuan korban perkosaan. Kita memang harus memberikan informasi kepada masyarakat. Namun, bukannya malah mengorek hal-hal yang tidak penting. Hal-hal tidak penting, memang disukai masyarakat kita, yang tak semuanya berpendidikan tinggi dan belum mampu berpikir kritis.

Tugas kita sebagai media, mendidik pembaca, lewat pemberian  pertanyaan-pertanyaan yang mendorong korban perkosaan untuk bangkit. Jangan malah mengungkapkan kesedihannya. Lalu membiarkannya terpojok dan jadi santapan pembaca yang haus akan sensasi. Reporter, memiliki tanggungjawab untuk mengedukasi pembaca lewat tulisannya. Jadi, perhatikan pemilihan kata-katanya. Jangan sampai, korban pemerkosaan, mendapat stigma dari masyarakat. Ingat! Dia korban.

-

Kasus-kasus di atas, merupakan realita yang terjadi di masyarakat kita. Maka dari itu, kita harus memberikan angin baru kepada pembaca dan masyarakat luas agar dapat memahami perempuan.

Media massa harus berubah. Jadilah media yang memandang perempuan dan laki-laki adalah makhluk setara. Toh, perempuan ini makhluk hidup, makhluk soial yang memiliki hak sama dengan laki-laki. 

Perempuan bukan objek seksual. Laki-laki dan perempuan, tak sepatutnya dibeda-bedakan porsinya dalam pemberitaan media. Kita setara. Yang membedakan hanya organ reproduksinya saja. (Auda Zaschkya)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun