Mohon tunggu...
Auda Zaschkya
Auda Zaschkya Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan. Pernah jadi wartawati.

Realita adalah Inspirasiku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Hari Pahlawan] Ironi di Negeri Demokrasi

10 November 2013   05:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:22 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1384054529763854481

[caption id="attachment_300593" align="aligncenter" width="632" caption="Admin/Ilustrasi (Kompas.com)"][/caption]

Auda Zaschkya - 83

*

Sesungguhnya aku malu pada negara tetangga, sebab opini remeh mereka tertuju pada negeri kita. Rasa kesalku bertambah, ketika melihat anak negeri ini tak mampu duduk bersama, demi menjunjung tinggi falsafah negaranya. Inilah Ironi di Negeri Demokrasi.

*

Terkadang, aku merasa heran melihat negeriku. Bagaimana bisa, hampir semua lini, baik pusat dan daerah dimasuki koruptor?  Belum lagi, ada yang dengan pongah berkata ingin mengganti falsafah negara ini. Di mana pikiran mereka ketika berbuat demikian?

Apa mereka lupa dengan sumpah pemuda?Apa mereka lupa dengan jasa para pahlawan, yang rela mati demi mempertahankan negara yang baru disadap ini? Hm... Berbicara tentang penyadapan, aku teringat akan kabar baru-baru ini.

Walaupun Aktualisasi diri si Edward Snowden itu tercela, tapi negara kita tetap harus berterima kasih lho sama si bule itu.

Mengapa? Realita jawabnnya. Coba pikir, kalau bukan karena perbuatannya, negara ini akan terus dibodoh-bodohi oleh kedua negara yang dibangga-banggakannya itu.

Sempat ada selentingan kabar mengatakan bahwa, negara ini lemah menghadapi kedua negara hebat itu. Ah... namanya hanya kabar burung. Ketika kulihat berita lagi, kata sang Mentri, negara kita telah bersatu dengan beberapa negara korban serupa, mengadukan nasibnya ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ok, ini langkah positif. Semoga hasilnya tak mengecewakan. Inilah ironi terbaru dari negeri berdaulat ini.

*

Ada hal di dalam negeri yang sebenarnya teramat membingungkanku. Ketika koruptor masih bergaji bahkan menerima pensiun. Untuk apa?Mereka bersalah pada negeri ini. Mengapa masih diberi haknya? Bandingkan dengan penduduk miskin di berbagai daerah, serta anak-anak yang harus berenang dulu sebelum sampai ke sekolah.

Uhm... Baiklah, benar memang jika dikatakan bahwa mereka para koruptor pernah melayani negeri. Untuk itu, berilah mereka sepantasnya saja. Jangan banyak-banyak, Yang harus diperhatikan adalah masyarakat miskin dan anak-anak itu, generasi penerus mereka. Duh,,, Ironi kembali terjadi di negeri kaya ini.

*

Sekarang, lihatlah para mahasiswa yang sedang makan bangku sekolahan. Sepatutnyalah dikatakan bahwa mereka adalah masyarakat pintar. Tak hanya pintar di bangku kuliah saja, tapi juga harus pintar memadupadankan antara penggunakan logika dan etika, supaya tahu baik dan buruknya berperilaku.Juga, supaya mengerti bagaimana melanjutkan perjuangan para pahlawan demi negeri tercinta ini.

"Kita, mahasiswa zaman smartphone ini udah canggih bray, 'gak ada disuruh ikut perang melawan penjajah, kan? Pakai otak kalian untuk berpikir, libatkan hati nurani juga biar kita semakin tahu dan mengenal kemampaun kita. Jangan hanya bisa menuntut negara agar memberi padamu, tapi berkontribusilah untuk negera ini, supaya hidupmu berguna." Inilah Ironi selanjutnya di negeri ini. Mengapa ironi? Jelas ini ironi dari kaum terdidik.

*

Ironi memilukan lagi, datang dari mereka-mereka yang lupa pada konstitusi. Padahal, sejak di bangku sekolah dasar, kita telah diajarkan, bagaimana caranya bertoleransi. Guru-guru kita, selalu mengatakan bahwa, kita tak pernah sendirian di negera ini."Bangsa ini adalah bangsa majemuk. Semuanya tertuang pada simbol negara." Begitu kata guruku dulu.

Ah... Kata-kata guruku, mampu buatku bertahan menjadi pribadi yang mengedepankan toleransi dalam berkehidupan di negara ini.

Jadi, sepantasnya kita, sebagai anak negeri, menjunjung tinggi falsafah negeri. Jangan hanya mementingkan diri dan golongan pribadi. Namun demikian, masih ada saja yang dengan angkuhnya, berkata ingin mengganti falsafah negeri. Inilah ironi di Negara yang seharusnya mengedepankan toleransi. Untuk mereka, aku punya puisi :

*

Mengapa sulit berkonstitusi?

Mengapa tak mau berdemokrasi?

Mengapa hanya peduli pada golongan pribadi?

Padahal kau tahu, di negeri ini kautak hidup sendiri

*

Di manakah jiwa patriotismemu?

Di manakah pelajaran dari para pendahulumu?

Di manakah letak pedulimu pada bangsamu?

Padahal kautahu, harapan negeri ini ada padamu

*

Buka!!! Buka matamu wahai generasi penerus bangsa

Jangan hanya pintar berkicau dan mengacaukan negeri

Sadar!!! Sadarlah wahai putra dan putri bangsa

Berbuatlah sesuatu demi tatanan demokrasi

*

Belajarlah dari pendahulumu. Kemudian, bersama-sama kita tegakkan kembali budaya berdemokrasi. Selalu budayakan toleransi dan jangan memancing di air keruh dengan mengacaukan realitas perbedaan yang ada. Sebab, perilakumu hanya akan menambah ironi di negeri demokrasi ini.

*

Adalah kita bangsa yang besar

Sungguh lucu jika harus tercerai-berai

Adalah kebanggaan bagi mereka

Bila dapat saksikan kelemahan kita

*

Bangkitlah wahai pemuda harapan bangsa. Janganlah kaulupa pada jasa para pahlawanmu. Harapan mereka, ada padamu. Gunakan logika dan etikamu, wahai anak negeri. Tunjukkan pada dunia dunia luar, bahwa negeri ini dimiliki oleh bangsa yang besar, berisi generasi penerus bangsa yang paham konstitusi, mengerti toleransi dan berdedikasi tinggi untuk sistem demokrasi negeri.

*

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Hari Pahlawan. Dan, Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun