Mohon tunggu...
Auda Zaschkya
Auda Zaschkya Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan. Pernah jadi wartawati.

Realita adalah Inspirasiku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Hari Pahlawan] Ironi di Negeri Demokrasi

10 November 2013   05:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:22 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1384054529763854481

Ada hal di dalam negeri yang sebenarnya teramat membingungkanku. Ketika koruptor masih bergaji bahkan menerima pensiun. Untuk apa?Mereka bersalah pada negeri ini. Mengapa masih diberi haknya? Bandingkan dengan penduduk miskin di berbagai daerah, serta anak-anak yang harus berenang dulu sebelum sampai ke sekolah.

Uhm... Baiklah, benar memang jika dikatakan bahwa mereka para koruptor pernah melayani negeri. Untuk itu, berilah mereka sepantasnya saja. Jangan banyak-banyak, Yang harus diperhatikan adalah masyarakat miskin dan anak-anak itu, generasi penerus mereka. Duh,,, Ironi kembali terjadi di negeri kaya ini.

*

Sekarang, lihatlah para mahasiswa yang sedang makan bangku sekolahan. Sepatutnyalah dikatakan bahwa mereka adalah masyarakat pintar. Tak hanya pintar di bangku kuliah saja, tapi juga harus pintar memadupadankan antara penggunakan logika dan etika, supaya tahu baik dan buruknya berperilaku.Juga, supaya mengerti bagaimana melanjutkan perjuangan para pahlawan demi negeri tercinta ini.

"Kita, mahasiswa zaman smartphone ini udah canggih bray, 'gak ada disuruh ikut perang melawan penjajah, kan? Pakai otak kalian untuk berpikir, libatkan hati nurani juga biar kita semakin tahu dan mengenal kemampaun kita. Jangan hanya bisa menuntut negara agar memberi padamu, tapi berkontribusilah untuk negera ini, supaya hidupmu berguna." Inilah Ironi selanjutnya di negeri ini. Mengapa ironi? Jelas ini ironi dari kaum terdidik.

*

Ironi memilukan lagi, datang dari mereka-mereka yang lupa pada konstitusi. Padahal, sejak di bangku sekolah dasar, kita telah diajarkan, bagaimana caranya bertoleransi. Guru-guru kita, selalu mengatakan bahwa, kita tak pernah sendirian di negera ini."Bangsa ini adalah bangsa majemuk. Semuanya tertuang pada simbol negara." Begitu kata guruku dulu.

Ah... Kata-kata guruku, mampu buatku bertahan menjadi pribadi yang mengedepankan toleransi dalam berkehidupan di negara ini.

Jadi, sepantasnya kita, sebagai anak negeri, menjunjung tinggi falsafah negeri. Jangan hanya mementingkan diri dan golongan pribadi. Namun demikian, masih ada saja yang dengan angkuhnya, berkata ingin mengganti falsafah negeri. Inilah ironi di Negara yang seharusnya mengedepankan toleransi. Untuk mereka, aku punya puisi :

*

Mengapa sulit berkonstitusi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun