Mohon tunggu...
D. Hasbi A.
D. Hasbi A. Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Hobby menggambar, baca novel dan komik, nonton film, menyenangi sains.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Artikel Utama

Fisika, Pelajaran Paling Dibenci di Sekolah

20 Desember 2021   20:11 Diperbarui: 26 Desember 2021   08:19 1782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelajaran fisika | Sumber: JESHOOTS.com

Ini adalah tulisan pertama saya di Kompasiana. Sebenarnya saya sudah senang menulis sejak di sekolah menengah pertama. 

Banyak sekali sebenarnya yang ingin saya uraikan tentang segala hal, baik itu berdasarkan imajinasi maupun fakta, yang tertuang dalam cerita fiksi maupun laporan penelitian. Fakta yang saya alami semasa di sekolah, di kampus dan selama mengajar.

Mengapa judulnya “Fisika, Pelajaran Paling Dibenci Di Sekolah"? Karena memang kenyataannya begitu. Ini bukan simpulan yang muncul mendadak, dipaksakan, atau pesimis. 

Namun simpulan yang muncul berdasarkan pengalaman saya mengajar di kelas-kelas yang sangat heterogen selama lima belas tahun dari Sumatera hingga Papua.

Tulisan ini harus saya hadirkan dan semoga saja dibaca oleh banyak orang terutama pelaku pendidikan dan pemangku kebijakan. Dan semoga saja banyak pihak yang peduli dengan situasi ini, yang membuat saya khawatir akan nasib masa depan bangsa ini.

Lebay? mungkin iya, tapi jika ke-lebay-an itu dapat mendorong terjadinya dampak positif mengapa tidak?

Mengapa saya khawatir dengan nasib masa depan bangsa ini hanya gara-gara Fisika menjadi pelajaran paling dibenci di sekolah? 

Dan atas dasar apa saya mengatakan Fisika adalah pelajaran paling dibenci di sekolah? Sekali lagi ini berdasarkan observasi di lapangan.

Selama lima belas tahun saya mengajar, selama itu pula saya harus selalu menghibur diri karena setiap kali saya masuk di ruangan kelas dan mengatakan bahwa saya akan mengajarkan Fisika, maka raut wajah anak-anak akan merengut, keceriaan seperti hilang dari wajah mereka, bahasa-bahasa tubuh “ingin keluar dari kelas” bermunculan.

Berapakah 1 + 1? Jika pertanyaan ini dilabeli Biologi atau Seni, maka mereka pasti akan mampu menjawabnya dengan mudah. 

Namun jika pertanyaan ini dilabeli Fisika, mereka tiba-tiba bingung menentukan jawabannya. Bahkan mungkin mereka akan lupa nama mereka sendiri jika di kertas sudah tercantum judul “Mata Pelajaran Fisika.”

Ya, itulah yang terjadi. Jangan berharap mereka memahami pelajaran ini jika tidak Anda tidak berusaha memahami terlebih dahulu opini mereka tentang Fisika. 

Pada awalnya memang tujuan saya mengajarkan Fisika agar mereka memahami pelajaran ini. Namun semakin lama, jam terbang saya dalam mengajar semakin saya pahami bahwa tahap awal dalam mengajaran Fisika adalah bagaimana caranya agar mereka mau duduk tenang memperhatikan saya mengajar, bagaimana caranya agar mereka mau mendengarkan, mau menyimak, itu saja dulu.

Ya itulah yang terpenting. Paham atau tidak itu urusan belakangan, tapi bukan berarti bukan tujuan.

Mengapa seperti itu? Ya itulah kenyatannnya.

Sungguh berat hati ini saat ingin berbaur dengan anak-anak namun mereka terlanjur membentengi diri dengan saya (dan mungkin juga guru Fisika lainnya di republik ini) hanya karena mereka sudah membenci Fisika, sejak…. entah kapan. Apakah sejak bayi anak-anak itu sudah membenci Fisika? Ah, saya rasa tidak!

Lalu sejak kapan?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian saya cari sendiri jawabannya.

Menurut anak-anak itu, mereka bingung saat ujian Fisika, baik itu saat ulangan harian maupun saat ujian semester. 

Mereka bingung harus pakai rumus yang mana. Oke, akhirnya saya berpikir bahwa rumus inilah yang membuat mereka bingung.

Menurut mereka lagi, sungguh sangat menjemukan menyelesaikan satu soal saja dan harus menguraikan perhitungan yang njlimet, rumit, dan panjang. 

Bahkan mereka berkata banyak guru, tentunya guru Fisika dan juga Matematika yang menguraikan penyelesaian untuk satu soal hingga dua bahkan empat halaman papan tulis.

“Ngapain sih batu jatuh aja dihitung?”

“Ngapain sih kecepatan aja dihitung, kan bisa lihat di speedometer?”

Itu pertanyaaan, yang diucapkan nyaris seluruh anak pada saya. Dan, mereka tidak salah, sangat wajar adanya apabila mereka mempertanyakan hal itu. 

Mereka belum mengetahui dan menyadari. Malah mereka berada di usia yang serba ingin tahu dan serba mempertanyakan, dan juga masa pemberontakan yang emosional. Dan tugas sekolah, dengan diwakili oleh guru sebagai ujung tombak pendidikan ini, untuk menjadi pelita bagi mereka.

Sayangnya pertanyaan mereka ini hanya dijawab dengan, ”Kamu harus tahu cara ngitungnya agar nilai ujian kamu tidak jelek.”

Banyak guru yang memberikan jawaban seperti itu. Mungkin itu adalah jawaban tersingkat dan termudah. Namun sekaligus membuat anak-anak kesal. Sehingga pertanyaan berikutnya yang mereka ajukan adalah, ”Terus apa dong gunanya kita belajar Fisika untuk hidup?”

“Fisika ga kepake dong di hidup ini?”

Setelah pertanyaan ini muncul, guru akan menjawab, “Fisika itu berguna nak, contohnya terciptanya listrik, mesin, komputer, smartphone….” 

Apakah anak akan berhenti sampai di sini? 

Tidak, tidak sedikit anak yang akan memberikan pertanyaan lanjutan, “Saya tidak perlu belajar Fisika agar bisa punya komputer, smartphone. Kan tinggal beli doang Pak…”

Dan akhirnya saat guru tidak tahu lagi harus menjawab apa, guru akan berkata, “Yasudah, kamu belajar aja yang rajin agar nilai kamu bagus, orang tua kamu ga marah…”

Yah, kurang lebih seperti itulah salah satu percakapan yang muncul antara siswa dan guru tentang Fisika.

Percakapan yang mungkin terjadi dan dialami semua guru dan siswa.

Setiap tahun ada empat juta lulusan sekolah menengah atas. Suatu jumlah yang sangat besar dan memiliki potensi bagi republik ini. 

Namun potensi itu menjadi kekhawatiran mengingat lebih dari sembilan puluh persennya membenci Fisika (dan juga Matematika). 

Suatu persentase yang saya dapatkan selama lima belas tahun mengajar di berbagai kota dan pulau di Indonesia ini.

Mengapa menjadi kekhawatiran?

Setiap negara memiliki sumber daya dan juga beban. Semakin banyak penduduknya artinya semakin banyak sumber daya alam yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk tersebut.

Semakin banyak penduduknya menjadi positif apabila setiap penduduk itu mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Mampu mandiri dengan mampu bekerja dan mampu dimanfaatkan kemampuan kerjanya. 

Namun jika tak memiliki kemampuan kerja, tak memiliki keterampilan, tak memiliki pendidikan, tidak rajin tentu saja tidak dapat memberikan manfaat.

Sifat malas, sifat tak peduli, tak memiliki arah dan tujuan adalah hal yang sering saya temui di kelas. 

Zaman dahulu semasa saya anak-anak banyak yang telah memiliki cita-cita. Entah jadi dokter, insinyur, tentara, pilot, dan lainnya. 

Namun hari ini delapan puluh persen siswa di dalam kelas tidak tahu, bahkan bingung mereka mau jadi apa. Mungkin jadi youtuber atau artis sensional dan viral kali ya? Tidak salah sih, tapi kalau begitu, untuk apa mereka bersekolah?

Lalu apa kaitannya dengan Fisika?

Yah! Kebingungan, kebosanan belajar semakin dibikin ribet dengan kehadiran pelajaran Fisika (dan Matematika). 

Saya yakin, hampir semua pembaca di sini ga suka Fisika dan Matematika, iya kan?

Fisika dan Matematika adalah pelajaran yang melatih kemampuan berpikir yang logis dan ilmiah. Karena pelajaran itu pun dihasilkan dari proses berpikir yang demikian.

Untuk berpikir logis dan ilmiah ini diperlukan data-data yang berasal dari fakta dan hasil penelitian atau pecobaan. 

Kumpulan data, fakta itu dirangkum dalam alur yang rapi, tertata, sistematik, selaras satu dengan lainnya membentuk suatu hubungan utuh sebab-akibat dan memenuhi prinsip what-who-when-where-why.

Suatu pernyataan tidak biasa dianggap benar tanpa bukti, data, fakta dan bertabrakan dengan hukum logika.

Pernyataan yang dianggap benar akan terbantahkan jika terdapat pernyataan lain yang lebih sesuai dengan data, fakta, hasil percobaan dan lebih sesuai dengan alur logika.

Proses itulah yang dilakukan oleh banyak ilmuwan di masa lampau. Bahkan jika seorang murid dapat mengajukan bantahan yang disertai data, fakta, argumen yang lebih logis maka dapat menggugurkan pernyataan gurunya.

Dengan proses itulah ilmu pengetahuan bertumbuh dan berkembang.

Proses-proses logis dan ilmiah inilah yang menjadi ruh Fisika dan Matematika.

Namun kenyataan yang terjadi, Fisika dan Matematika hanya menjadi “Bungkusan rumus” yang harus masuk ke otak siswa dengan cara apa apun. Karena memang seperti itulah yang disampaikan oleh kebanyakan bahkan nyaris semua guru di sekolah, rumus rumus dan rumus…

Padahal rumus hanyalah ornamen. Bolehlah disebut cangkang saja.

Fisika sejatinya adalah tentang metode berpikir, bahasa untuk memahami alam semesta, bahkan mungkin alat untuk memahami cara berpikir Tuhan.

Memahami bagaimana alam ini bekerja. Alam tak akan dusta, alam akan jujur. Alam tidak akan bisa disuap atau diajak kolusi untuk suatu kepentingan politik. Dan kemarahan alam dahsyat adanya.

Alam adalah cara Tuhan mengatakan sesuatu pada manusia. Katakanlah kejadian di alam adalah "update status"-nya Tuhan.

Memahami alam, diawali dengan memahami bahasa alam, dan ilmu alam adalah pintunya.

Ya!

Fisika adalah ilmu alam. Ilmu tentang bagaimana alam semesta ini bekerja. Ilmu tentang bagaimana berbagai elemen di alam semesta ini berkolaborasi.

Dan sembilan puluh persen anak negeri ini membencinya!

Saya berpikir bahwa harus ada yang memulai untuk membenahi opini tentang Fisika yang terlanjur terbentuk di anak sekolah.

Tentang anak yang malas, mungkin kebanyakan anak memang begitu, tapi mereka anak-anak yang membutuhkan bimbingan orang dewasa. 

Dan guru pastinya sudah dewasa dan seharusnya tahu apa yang harus dilakukan, dan memang itulah tugas guru. Bukan berarti selain guru tidak memiliki kewajiban ini, namun guru adalah ujung tombaknya. 

Mungkin yang terjadi adalah banyak guru yang tidak memahami benar pelajaran yang diajarkannya, mungkin hanya sebatas memenuhi tuntutan atau kewajiban mengajar saja. Atau memenuhi “ketuntasan” yang tercantum dalam RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan kurikulum.

Tuntutan-tuntutan yang bagaikan kitab ilmu hukum tebalnya dan melahirkan padatnya jadwal di tengah sempitnya waktu yang dimiliki guru menjadikan guru lupa untuk membaca literasi terkait pelajaran yang harus diajarkannya, guru lupa memperdalam ilmunya, guru lupa berkreasi dan berinovasi.

Menurut saya, sebaiknya kurikulum kita ini lebih menitikberatkan pada penumbuhan dan pembinaan kemampuan berpikir, bukan penumpukan materi ilmu saja. 

Saat ini banyak orang yang mampu menemukan material pengetahuan di internet. Namun sedikit bahkan langka yang mampu berpikir, tentu saja berpikir jernih, logis, ilmiah.

Ketika seseorang memiliki materi ilmu yang berlimpah namun kurang memiliki kemampuan berpikir logis maka mungkin saja limpahan materi ilmu itu akan bertabrakan, menimbulkan kebingungan, mengakibatkan multi persepsi dan konflik.

Dan bayangkan jika setiap tahunnya sekolah melahirkan jutaan manusia yang hanya mampu menelan semua informasi tanpa mampu berpikir jernih, logis, ilmiah untuk menelaahnya?

Pada akhirnya setiap kali saya mengajarkan Fisika, tahap pertama adalah bagaimana membuat mereka nyaman dengan kehadiran saya, dan saat itu saya lupakan Fisika sejenak. Kemudian saya akan berbicara dengen anak-anak tentang kehidupan mereka, tentang masalah-masalah mereka, tentang keluhan-keluhan juga keinginan-keinginan mereka dan tentu saja tentang mimpi-mimpi mereka.

"Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited, whereas imagination embraces the entire world, stimulating progress, giving birth to evolution," itulah yang dikatakan oleh Albert Einstein.

Saya mengawali dari mimpi. Dan Fisika adalah tentang mewujudkan mimpi-mimpi itu. 

Mimpi manusia yang ingin menjadi seperti burung, mimpi tentang manusia yang ingin mendarat di bulan, mimpi tentang manusia yang dapat berbicara dengan manusia lainnya di belahan bumi detik itu juga, mimpi tentang semua!

Maka saya katakan pada mereka, "Bermimpilah! Setelah kau tahu mimpimu mari kita bicarakan bagaimana agar mimpimu menjadi kenyataan. Dan Fisika, adalah tentang bagaimana mewujudkan mimpimu itu!"

Kemudian barulah saya mengajarkan Fisika, tentunya, seminimal mungkin penggunaan rumus. Malah lebih baik jika tanpa rumus! 

Jadi sebagai guru, jangan merasa bangga jika mampu menyebutkan deretan istilah dan membuat perhitungan rumit yang tak mampu dipahami anak.

Sebagaimana diucapkan oleh Albert Einstein, ” If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough.”

Konsep yang fundamental harus saya tanamkan terlebih dahulu, pola atau metode pikir yang logis harus ditumbuhkan terlebih dahulu. Karena pola pikir inilah yang akan melekat dan memengaruhi perkataan dan tindakan mereka sampai akhir hayat.

Fisika bukan sekadar tentang angka atau rumus.

Hal yang lebih utama dan penting adalah Fisika tentang metode berpikir. Tentang bagaimana melibatkan semua faktor yang pastinya memiliki keterkaitan dan saling memengaruhi satu sama lainnya. Keterkaitan itu terhubung dalam tatanan yang rapi, teratur, sistematik dan selaras.

Fisika adalah tentang bagaimana kita memulai berkomunikasi dengan alam semesta ini.

Fisika adalah tentang bagaimana kita belajar merangkai dengan tepat berbagai data dan fakta bagaikan merangkai nada sehingga tercipta lagu yang indah.

Membenahi cara pandang kita terhadap Fisika, mengubah cara guru mengajarkan Fisika menurut saya adalah awal untuk menghilangkan kebencian terhadap Fisika. Bahkan irama musik yang indah adalah tentang harmonisasi frekuensi gelombang yang sejatinya adalah kajian dalam ilmu Fisika.

“The value of a college education is not the learning of many facts but the training of the mind to think." ~Albert Einstein

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun