Joko sibuk menyiapkan bakso untuk beberapa mangkuk. Para pengunjung mulai ramai berdatangan. Malam minggu yang hangat meski hati berdebar kencang.
“Baksonya, Sus. Semoga kamu masih suka baksoku.”
“Itu tadi siapanya Mas Joko?”
“Nanti aku ceritakan, silakan dinikmati dulu.”
Bakso racikan Joko disantapnya dengan perlahan. Ada yang mengganjal baginya. Hingga satu bulatan bakso pun belum sempurna digigit. Berbeda dengan pengunjung lain sedang asyik menyantapnya.
“Mbak, ini es tehnya,” Rukmi menyuguhkannya dengan senyum sopan.
Susi mengamati Rukmi, menatap senyumnya tanpa membalas. Belum berekspresi. Wajahnya datar seperti bakso bulat yang belum ia telan.
“Tidaaaakkkk…. ”
Susi menjerit histeris. Semua orang panik. Makanan yang mereka nikmati ditinggal begitu saja. Orang-orang di luar sana masuk memadati warung bakso Mas Joko. Polisi patroli yang kebetulan lewat pun berhenti. Susi diamankan. Identitasnya tidak diketahui secara jelas.
Satu jam kemudian keadaan kembali normal. Namun apesnya, Joko dan Rukmi yang ditimpa musibah. Uang seharian hasil jual bakso ludes. Laci tempat menyimpan uang dibobol dan dibawa kabur oleh seorang entah siapa. Mereka lupa menguncinya saat keadaan ramai satu jam yang lalu.
“Tak apa lah, Mas. Mungkin ini teguran dari Yang Di Atas, agar kita jangan lupa bersedekah ya Mas. Dan, meski ekonomi kembang kempis, kita harus lebih banyak bersyukur ya Mas diberi akal dan jiwa yang sehat, tidak seperti perempuan tadi.”