festival mata air tahunan Desa Bakal, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah berlangsung riang gembira. Kegiatan dilangsungkan dari 26-31 Agustus 2024 dengan tema "Ngurupi-Nguripi".Â
Sesirat Fest,Ngurupi-Nguripi diambil dari Bahasa Jawa dimana Ngurupi bermakna menghidupkan sedangkan Nguripi artinya menghidupi. Dengan kata lain, manusia, tanah, dan air saling bersimbiosis mutulisme.Â
Penduduk setempat lah yang mata pencahariaan di sektor pertanian memanfaatkan air dan tanah dalam kehidupan sehari- hari. Petani menanam kentang, wortel, atau kubis di ladang. Perawatan tanaman membutuhkan air untuk mengairi (red: menyiram). Tidak hanya itu, air pun dimanfaatkan sebagai kebutuhan rumah tangga. Maka dari itu, para warga wajib untuk menjaga sumber air bersih dan melestarikan lingkungannya.Â
Acara diadakan pada dua lokasi, yaitu: Perpustakaan Rakjat dan Lapangan Bakal. Selain warga setempat, aktivis lingkungkan, jurnalis, serta mahasiswa dari luar daerah pun antusias meramaikan festival lokal ini.Â
"Beberapa tamu luar daerah adalah desanya yang terkena dampak geothermal. Mereka juga mempelajari serta bertukar pikiran dampak dari energi panas bumi di Dieng," ujar Rizal, panitia Sesirat Fest V, melalui voice note whatsapp (4/09/2024).Â
Dafiq, panitia lainnya, menambahkan mereka juga berasal dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jateng, Humatera Surabaya (komunitas botani), Sajogyo Institut Bogor, serta Project Multatuli. Bahkan kaum seniman turut andil seperti Sastra Satro Salatiga dan Teater Banyu Wonsobo.Â
Salah satu lokasi acara yang bernama Perpustakaan Rakjat merupakan perpus Desa Bakal yang didirikan mulai tahun 2018. Anak-anak muda lah yang mengelolanya dengan energik dan kreatif. Mereka pun melakukan aksi-aksi baik seperti maulid nabi, diskusi, festival mata air, dan perayaan 17 Agustus.Â
Perayaan ini digelar variatif, sakral, dan sederhana. Hari pertama adalah pembukaan Sesirat Fest ke-lima. Para tokoh publik, perangkat desa, dan masyarakat setempat turut menghadiri. Gong digaungkan oleh kyai dan kades sebagai pertanda bahwa festival mata air mulai dilaksanakan.Â
Hari berikutnya delegasi warga dan Grup Kecapi Suling Kuningan Jawa Barat menanam pohon dan mengambil sumber mata air. Grup ini memainkan musik kecapi sambil menyenandungkan tembang Pupuh Pangkur. Makna syairnya tentang konsep pepatah hidup, yaitu: patuh pada orang tua, merawat lingkungan, dan bersyukur pada Sang Maha Kuasa
Jumat malam diisi dengan pemutaran film. Meskipun malam hari dan suasananya sangat dingin, masyarakat bersemangat menonton film di tanah lapang dan berumput. Film ini menggambarkan pesona alam Bakal dan sumber mata air.Â
Nenek moyang telah mewariskan air untuk keberlangsungan hidup dari generasi ke genarasi. Warga pun menggunakannya secara gratis. Penyelenggara berharap bahwa seluruh penduduk Desa Bakal tidak semena-semena merusak lingkungan. Terlebih lagi hanya untuk kepentingan industrialisasi.Â
Puncak acara diisi dengan karnaval dan kesenian. Hasil bumi dan kendi (berisi sumber mata air) diarak mengelilingi desa Bakal. Kirabnya mulai dari gedung futsal menuju lapangan Bakal. Jarak tempuhnya sekitar 700 meter.Â
Perhelatan ini sebelumnya bernama Sethulu Festival, dimana Sethulu merupakan salah satu sumber mata air (tuk) di Bakal. Namun salah satu tokoh masyarakat, H. Imam Afifudin, menyarankan untuk mengubah nama acaranya.Â
"Desa Bakal mempunyai sumber mata air Sethulu, Sidendang, dan Siranti. Tidak hanya Sethulu saja sebagai sumber kehidupan, namun ketiganya juga dimanfaatkan masyarakat. Jadi sebaiknya tuk-tuk itu diangkat namanya dalam festival ini," kata Dafiq sambil menirukan perkataan Bapak Imam ketika sedang diskusi pembentukan panitia (5/07/2024).Â
Sesirat fest merupakan rentetan perjuangan masyarakat Bakal dalam melawan pembangunan geothermal. Tahun 2019, PT. Geo Dipa berencana mengembangkan PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi). Namanya Geo Dipa unit 2 di daerah Karangtengah dan sekitarnya. Lokasinya berdekatan dengan mata air Sethulu yang berjarak 300 meter.Â
Tuk Sethulu mengaliri 3 desa, yaitu: Bakal, Karangtengah, dan Condongcampur. Apabila proyek PLTP Dieng 2 tetap dilakukan, maka akan mencemari lingkungan ketiga desa tersebut. Tentunya akan mengganggu kesejahteraan penduduk desa.Â
Beruntung pembangunan energi panas bumi tidak jadi dilakukan. Pada tahun 2022, para warga menuntut PT. Geo Dipa untuk membatalkan perencanaan itu. Meskipun begitu masyarakat tetap waspada terhadap ekspansi geothermal. Mereka tidak ingin lingkungan tercemar akibat praktik industrialisasi ini. Â
Efek pembangunan PLTP Dieng unit satu sudah dirasakan beberapa desa di kawasan Dieng. Debit air bersih berkurang. Rasanya berubah menjadi asin dan bak mandi muncul kerak-kerak (CELIOS x WALHI, 2024:37).Â
Berkaca dari problema itu, member Pepustakaan Rakjat mengadakan festival mata air sebagai peringatan dan edukasi warga Bakal. Mereka hanya perlu menjaga, mempertahankan, dan melindungi sumber air bersih.Â
Ketika penduduk desa melestarikan lingkungan, kehidupan pun aman, tentram, makmur, nan sejahtera. Alam akan memberikan sesuai apa yang diperbuat manusia. Jika sudah nyaman, kenapa dirusak?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H