Mohon tunggu...
Attar Maulana
Attar Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiwa Hubungan Internasional

Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Krisis Rudal Kuba dan Resiko dari Peperangan Nuklir

18 April 2022   19:44 Diperbarui: 18 April 2022   19:46 2011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kemajuan teknologi pada persenjataan militer sangat memberikan dampak yang besar bagi panggung dunia internasional. Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat pada Perang Dunia Kedua merupakan bukti nyata betapa dahsyatnya kekuatan nuklir dalam peperangan. Jumlah korban dan efek dari radiasi nuklir pada peristiwa tersebut tentu menjelaskan bahwa senjata ini sangat berbahaya bagi umat manusia. Lantas apa jadinya jika peperangan dengan senjata nuklir terjadi dalam skala yang besar?.

Faktanya, peperangan dengan senjata nuklir pernah hampir saja terjadi 60 tahun yang lalu pada masa Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Mereka saling berkonfrontasi dengan rudal-rudal nuklirnya yang mengarah kepada satu sama lain di Kuba selama 13 hari. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1962 dan dikenal dengan sebutan Krisis Rudal Kuba.

Sebab terjadinya konflik tersebut

Pada awalnya, kisruh tersebut berawal ketika Amerika Serikat mengedarkan misilnya di Italia dan Turki, serta melakukan invasi ke Teluk Babi pada tahun 1961. Hal ini kemudian direspon oleh Uni Soviet dengan melakukan perjanjian kerja sama dengan Kuba untuk untuk menaruh senjata rudal balistik dengan hulu ledak nuklir di Kuba. 

Perjanjian tersebut dilakukan secara tertutup pada tahun 1962 antara Nikita Kruschev selaku Sekretaris Uni Soviet kala itu, dengan Fidel Castro sebagai Perdana Menteri Kuba. Urgensinya adalah untuk mencegah invasi Amerika Serikat ke wilayah tersebut. Tak lama dari perjanjian tersebut, dibangunlah beberapa akomodasi peluncuran rudal milik Uni Soviet di Kuba pada tanggal 16 Oktober 1962.

Kedatangan rudal-rudal Uni Soviet di Kuba kemudian diketahui oleh intilejen Amerika Serikat berupa foto yang ditangkap oleh pesawat pengintai U-2 milik Angkatan Udara Amerika Serikat yang bernama “U-2 Dragon Lady”. 

Dengan sigap, Amerika serikat menyiagakan berbagai pasukan militernya serta amunisi senjata-senjatanya yang tentu terdapat rudal-rudal dengan hulu ledak nuklir di bagian tenggara wilayah Florida dan Miami pada tanggal 18 Oktober 1962.

Keadaan menjadi sangat genting dikarenakan apabila ada yang memulai pertempuran secara fisik (militer) maka bayaran yang ditanggung akan sangat berat mengingat senjata yang sudah dipersiapkan disana merupakan senjata pamungkas yang sangat berbahaya. 

Dapat dengan mudah kita asumsikan bahwasanya apabila pada saat itu terjadi pertempuran militer maka tentu dampaknya dalam dunia internasional akan sangat besar. Konflik-konflik internasional lainnya yang sedang berlangsung pun mungkin juga akan naik ke level yang lebih besar dikarenakan dipicu oleh kasus peperangan nuklir.

Baik Amerika Serikat ataupun Uni Soviet sama-sama mempunyai sekutunya masing-masing, Amerika sebagai bagian dari NATO tentunya akan dibantu oleh anggota NATO lainnya. Begitu pula dengan Uni Soviet yang akan didukung secara penuh oleh negara-negara yang juga berideologi komunisme dan Anti-Amerika lainnya. 

Dengan kata lain, jika peperangan nuklir benar-benar terjadi pada peristiwa tersebut, akan memicu kepada Perang Dunia Ketiga. Satu tembakan pada peristiwa itu akan sangat berdampak besar bagi perdamaian dunia.

Penyelesaian konflik tersebut

Menyadari akan efek yang dapat ditimbulkan jika perang tersebut terjadi, John F. Kennedy selaku Presiden Amerika Serikat lalu membentuk sebuah badan khusus berupa Komite Nasional yang berisikan empat belas anggota termasuk sembilan diantaranya adalah Dewan Keamanan Nasional. 

Komite tersebut kemudian dinamai dengan The Executive Committee of the National Security Council  atau yang dikenal dengan sebutan EXCOMM dan diresmikan pada tanggal 22 Oktober 1962. Sebagai sebuah kesatuan keamanan nasional secara utuh, EXCOMM bertugas sebagai penasihat Presiden Kennedy dalam mengambil keputusannya terkait permasalahan yang sedang terjadi di Kuba.

Hasil dari pertemuan anggota EXCOMM menghasilkan sebuah saran kepada Presiden Kennedy untuk melakukan karantina lautan (blokade) kepada Kuba. 

Kebijakan strategi karantina laut ini dilakukan Amerika Serikat dengan cara mengepung perairan Kuba agar tidak ada pelayaran yang melewati daerah tersebut. Salah satunya maksudnya adalah untuk menghindari datangnya amunisi hulu ledak nuklir Uni Soviet ke Kuba. Hal ini sekaligus menghalangi kegiatan impor/ekspor Kuba yang mengakibatkan perekonomian Kuba berjalan ditempat dalam waktu yang singkat.

Tak lama setelah itu, pada tanggal 22 Oktober 1962 Presiden Kennedy secara terbuka di depan publik memberikan tuntutan kepada Kuba untuk membongkar semua senjata berbahaya tersebut untuk kemudian dipulangkan ke Uni Soviet. 

Satu minggu kemudian, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1962 akhirnya terjadi kesepakatan antara Presiden Kennedy dan Nikita Kruschev untuk menghentikan konfrontasi rudal berhulu ledak nuklir tersebut dengan syarat Amerika Serikat tidak akan melakukan intervensi kepada Kuba serta menarik amunisi rudal nuklir di Turki dan Italia. 

Senjata-senjata Uni Soviet yang telah diparkir di Kuba pun akhirnya dibongkar satu persatu dan kemudian dikirim kembali ke tempat asalnya. peristiwa konfrontasi rudal tersebut akhirnya selesai dalam waktu 13 hari. walaupun kebijakan karantina laut Amerika Serikat kepada Kuba masih terus berlanjut sampai diselesaikannya permasalahan tersebut pada tanggal 20 November 1962.

Apa jadinya jika perang nuklir benar-benar terjadi?

Konfrontasi rudal antara Amerika Serikat dan Uni Soviet ini hampir saja menghasilkan perang nuklir skala besar. Beruntung Presiden Kennedy dan Nikita Kruschev tidak gegabah untuk mengeluarkan kebijakan. Tidak bisa dibayangkan berapa berbahayanya efek yang akan ditimbulkan jika perang nuklir benar-benar terjadi. 

Pada tahun 1987, terdapat perjanjian antara Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk saling membongkar lebih dari 2.500 rudal nuklir demi menghindari terjadinya konflik nuklir. Meskipun dilansir CNBC, pada 2018 tercatat bahwa Amerika Serikat dan Russia masih menjadi negara dengan senjata nuklir aktif terbanyak di dunia.

Tidak ada yang mengetahui apakah perang nuklir akan terjadi lagi atau tidak pada masa depan. Walaupun jelas perang nuklir adalah mimpi buruk bagi setiap manusia. 

Seorang analis militer Rusia yang bernama Pavel Felgenhauer berpendapat bahwa bahwa perang nuklir dalam skala besar dapat mengakibatkan terbunuhnya 80% populasi dunia dalam beberapa jam saja, dan 20% sisanya akan mati beberapa hari setelahnya dikarenakan paparan radiasi dari senjata tersebut. 

Perang dunia tersebut adalah akhir dari peradaban umat manusia atau disebut dengan “Kiamat”, tentu hal ini sangat merugikan semua pihak. Maka dari itu sudah seharusnya para petinggi dunia yang masih memiliki amunisi nuklir untuk mengkaji kembali fungsi dari kepemilikan senjata nuklirnya untuk menghindari segala kemungkinan terburuk dalam planet yang kita cintai ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun