Entah berapa lama aku memandangi sosok yang tengah tertidur itu. Perasaanku sedikit miris. Sepertinya luka-luka yang diderita Firman cukup parah. Aku bangkit dan mendekati Firman. Tanganku terulur hendak membelai rambutnya. Tepat pada saat itu Firman berbalik. Aku terhenyak. Dia bukan Firman!
Dia bukan Firman anakku!
Melihat aku tampak terperanjat, buru-buru Midah bangkit dari ranjang dan mendekatiku. Aku masih gemetaran. Kenyataan kembali mengguncangku. Dia bukan anakku!
“Dah...lihat Dah, dia bukan Firman, Dah. Mana anakku, Dah? Mana?” Sekuat tenaga aku menahan keinginan untuk menjerit. Midah mengalihkan pandangannya ke arah tubuh di atas ranjang.
“Mak...kulitnya putih. Dia...dia bukan Firman. Kalau dia bukan Firman, artinya Firman sudah....”
Midah tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Berdua kami berpelukan saling menangis. Rasanya pilu sekali. harapan yang sempat tumbuh sekarang seperti tanaman tersiram air panas. Melayu dan seperti lumpuh. Kami tenggelam dalam duka, tak menyadari keadaan sekitar. Kami baru tersadar saat perawat muda tadi menegur.
“Eh, eh...kenapa pada nangis? Kalian mengganggu istirahat pasien. Saya harus minta kalian keluar.” Dia berkata tegas. Kuangkat kepalaku, menatap sosok di ranjang yang sekarang telah terbangun.
“Kak Suster, dia itu bukan Firman. Dia orang lain.” Midah menuding ke arah ranjang. Aku kembali terisak.
“Ah, sesuai KTP yang kami temukan di dompetnya, namanya Firman Awwaddin, asal Langsa. Polisi juga bisa menghubungi keluarganya setelah memeriksa ponsel yang ada di kantong celana Firman. ” Perawat itu meneliti catatannya.
“Pasti ada kesalahan, Kak. Ibu ini mamak kandungnya. Dia nggak mungkin salah. Anaknya si Firman itu kulitnya coklat, bukan putih kayak dia.”
Mata kami semua tertuju pada sosok di atas ranjang. Mata itu tampak ketakutan. Rasa bersalah terbayang jelas. Perawat itu mendekat.
“Benar namamu bukan Firman Awwaddin?”
Kepalanya menggeleng. Pertahananku jebol. Aku kembali terisak. Jika dia bukan Firman, lalu di mana Firman? Kuedarkan pandangan ke tiga ranjang lainnya. Ada yang gemuk, ada yang masih anak-anak, dan seorang perempuan.
“Korban selamatnya kan ada enam, Dek perawat. Dua orang lagi mana?” Sebersit harapan muncul di benakku. Ya Allah, semoga jawaban perawat ini sesuai dengan harapanku.
“Yang dua lagi sudah dibawa pulang keluarganya, Bu. Lukanya nggak terlalu parah.”
“Ya Allah!” Kembali aku meratap. Mendadak sebuah pikiran melintas di kepalaku. Aku bangkit menuju ranjang. Kutatap mata lelaki muda di itu lekat.
“Kenapa KTP anakku ada sama kamu? Hapenya juga?” Suaraku tajam merobek hening malam.
“Bu, dia masih sakit. Jangan dipaksa bicara dulu.” Perawat menegurku. Aku tak peduli. Tanpa menoleh ke arah perawat aku kembali bertanya.
“Jawab! Kenapa KTP Firman ada sama kamu?!” Mata pemuda itu membelalak. Dia menggeleng.
“Bu!” Perawat menyergah.
Midah bergegas menarik perawat itu menjauh. “Kak, tolonglah mengerti sikit. Anak ibu itu jadi korban kecelakaan. Udah jauh-jauh dia datang dari Langsa. Awalnya dia pikir anaknya selamat, ternyata malah bukan anaknya. Kan kasian dia kak.”
“Tapi....”
“Saya yang jamin, ibu itu nggak akan bikin ribut. Janji, kak.”
Perawat mengalah. Kembali mendekat ke arah ranjang.
Bibir yang terluka itu perlahan membuka. Suaranya serak dan patah-patah. “Saya nggak tahu. Saya nggak tahu. Aduuuhh....” Dia memegangi kepalanya.
Kali ini perawat tak memberi toleransi. “Maaf, Kak, Bu, kalian mesti ke luar kamar. Jangan lagi menanyai dia.” Tangannya memberi isyarat ke arah pintu. Aku masih enggan beranjak jika Midah tak menari tanganku.
“Kita keluar dulu, Mak.”
Dengan dipapah oleh Midah, aku berjalan terseok menuju teras rumah sakit. Setelah sampai di mobil milik Rahmad, Midah bertanya.
“Gimana sekarang, Mak?” Matanya masih basah. “Apa kita nggak liat dulu di kamar jenazah?”
Aku menggelengkan kepala. “Aku nggak tahu. Aku mau pulang, Dah. Aku mau pulang!”
Tanpa tertahankan lagi kutumpahkan semua airmata yang tadi tersendat. Kukeluarkan semua duka hati karena kehilangan anak lelaki satu-satunya. Aku tak sanggup kalau harus melihat jenazah Firman saat ini. Benar-benar tak sanggup. Midah memberi perintah pada Rahmad. Rahmad tak menjawab, hanya sigap memasukkan kunci dan mulai menyalakan mobil.
Sepanjang perjalanan pulang ke Langsa, aku hanya diam sambil menangis. Midah kelelahan tertidur di sampingku. Hatiku hampa. Kulirik jam digital di dashboard mobil : 03.00 dinihari. Ingin rasanya aku tidur, tapi mata seakan enggan menutup. Di pelupukku bermain bayangan Firman, sejak dia bayi, anak-anak, remaja, sampai hari terakhir aku melihatnya: kemarin. Kembali aku menangis tanpa suara.
Selepas subuh, kami sampai di Langsa. Rahmad mengantarku sampai ke depan pagar. Dibantu Midah, aku berjalan gontai menuju rumah. Mobil Rahmad segera berlalu. Baru berjalan sepuluh langkah, aku tercekat.
“Dah...ada orang.”
Midah yang masih mengantuk seketika waspada. “Mana, Mak?” Dia mengedarkan pandangan ke sekitar rumah yang masih gelap. Saat berangkat kemarin sore aku lupa menyalakan lampu.
“Itu...di atas balai bambu. “ Aku menunjuk. Darahku berdesir.
Midah memungut sebuah mangga yang jatuh. Penuh perhitungan dia melempar sosok yang tengah tertidur. Terdengar suara mengaduh.
Eh!
Midah berteriak. “Siapa kau? Ngapain pagi-pagi tidur di rumah orang?”
Sosok di balai bambu itu segera duduk, mengucek matanya.
“Bunda dari mana aja sih?” Terdengar gerutuannya. Aku teramat kaget. Telingaku seolah tak percaya. Cuma ada satu orang di dunia ini yang memanggilku Bunda. Midah tak kalah kagetnya.
“Firman?”
“Iyalah! Bunda kemana aja sih? Dipanggil-panggil nggak ada yang nyahut. Kirain tidur, rupanya sedang pergi.”
Aku tak menjawab. Bergegas menghambur ke arah anak kesayanganku itu. Di sela tangisku masih sempat kudengar gerutuannya. “Udah dompet dicopet, hape juga dicopet, nggak punya duit buat pulang sampai mesti minta-minta sama orang, belum makan, eh dikerubuti nyamuk pula.”
Aku tak peduli.
cerita lain bisa dibaca di SINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H