Mata kami semua tertuju pada sosok di atas ranjang. Mata itu tampak ketakutan. Rasa bersalah terbayang jelas. Perawat itu mendekat.
“Benar namamu bukan Firman Awwaddin?”
Kepalanya menggeleng. Pertahananku jebol. Aku kembali terisak. Jika dia bukan Firman, lalu di mana Firman? Kuedarkan pandangan ke tiga ranjang lainnya. Ada yang gemuk, ada yang masih anak-anak, dan seorang perempuan.
“Korban selamatnya kan ada enam, Dek perawat. Dua orang lagi mana?” Sebersit harapan muncul di benakku. Ya Allah, semoga jawaban perawat ini sesuai dengan harapanku.
“Yang dua lagi sudah dibawa pulang keluarganya, Bu. Lukanya nggak terlalu parah.”
“Ya Allah!” Kembali aku meratap. Mendadak sebuah pikiran melintas di kepalaku. Aku bangkit menuju ranjang. Kutatap mata lelaki muda di itu lekat.
“Kenapa KTP anakku ada sama kamu? Hapenya juga?” Suaraku tajam merobek hening malam.
“Bu, dia masih sakit. Jangan dipaksa bicara dulu.” Perawat menegurku. Aku tak peduli. Tanpa menoleh ke arah perawat aku kembali bertanya.
“Jawab! Kenapa KTP Firman ada sama kamu?!” Mata pemuda itu membelalak. Dia menggeleng.
“Bu!” Perawat menyergah.
Midah bergegas menarik perawat itu menjauh. “Kak, tolonglah mengerti sikit. Anak ibu itu jadi korban kecelakaan. Udah jauh-jauh dia datang dari Langsa. Awalnya dia pikir anaknya selamat, ternyata malah bukan anaknya. Kan kasian dia kak.”