“Bunda, tolonglah kali ini aja berkorban buat Firman. Jual tanah punya Bunda itu.”
Anak lelakiku meminta dengan sedikit memaksa.
“Bunda nggak bisa, Fir. Cuma itu harta yang Bunda masih punya, selain rumah yang kita tempati sekarang.” Aku berusaha bertahan.
“Kalau Bunda nggak mau berkorban, kayak mana nasib Firman, Bun? Jadi tentara itu cita-cita Firman sejak kecil. Sekarang umur Firman udah dua puluh. Kesempatan buat masuk tinggal sedikit lagi. Lihat itu si Popon, udah jadi tentara dia sekarang.”
“Fir...”
“Kenapa sih Bunda nggak mau lihat anaknya senang?” Firman memalingkan wajahnya, menatap halaman yang gelap sebab lampu belum dinyalakan. Dadanya naik turun menahan emosi.
“Bukan Bunda nggak mau, Firman. Tapi kamu kan tahu sendiri, kalau tanah itu dijual, kita nggak bisa nanam lagi. Lalu Bunda nyari duitnya dari mana? Kita mau makan apa?”
Firman tak menjawab. Aku melanjutkan kalimatku.
“Dan lagi kalau dijual paling laku cuma berapa? Sementara buat masuk jadi tentara biayanya berapa? Kamu tahu kan berapa puluh juta yang udah dikeluarin bapaknya si Popon biar dia jadi tentara? Tahu kan?”
Aku berusaha menekan emosiku. Anak bungsuku ini memang manja. Jika keinginannya tidak dipenuhi, dia akan merajuk. Padahal sekarang dia bukan anak-anak lagi.
“Aaaaah! Firman benci kayak gini! Punya cita-cita tapi nggak didukung orangtua. Coba kalau Ayah sama Bunda nggak pisah, pasti Firman nggak jadi kayak gini.”