"Kadangkala, apa yang terlihat begitu mewah di mata kita belum tentu memiliki nilai yang sama dengan apa yang telah kita saksikan sebelumnya."
Angin berhembus kencang sore itu. Mendorong kawanan awan yang kemudian memilih singgah sejenak di desa kecil bernama Sidomukti. Anak-anak kecil nampak berlarian menuju tempat mengaji. Ada yang berjalan beriringan dengan teman-temannya, bersepeda dengan riuh gembira, juga ada yang dengan nyamannya diantar oleh kedua orang tuanya.
Manis sekali anak lelaki itu. Dipakainya baju muslim berkancing tujuh dengan peci hitam menutup rambutnya. Dia nampak elok duduk manis di jok belakang ketika ayahnya mengantar menuju surau tempatnya belajar mengaji.
"Uang jajan, Yah" Kata Raden sambil menengadahkan kedua telapak tangannya
Pak Agus kemudian terlihat merogoh dompet di saku celananya, kemudian mengambil beberapa lembar uang dari sana.
"Ini. Jangan lupa nanti kalau kamu jajan, ajak temen-temenmu yang lain juga. Ayah sudah kasih uang jajan lebih untuk kamu hari ini."
"Yeayyyy asikkkkk !!!!" Tanpa menjawab permintaan sang ayah, Raden justru memilih untuk berlari menghamburkan diri menuju teman-temannya yang sudah menunggunya di depan surau.
Melihat hal ini, Pak Agus hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia kecewa atas perilaku yang dihadirkan oleh buah hatinya tadi.
"Raden, kamu dikasih uang banyak banget sama ayahmu" Kata Amiru ketika melihat Raden menghampirinya dengan beberapa lembar uang kertas di tangannya.
Raden tersenyum miring, "Woiya jelasss. Ayahku itu juragan beras paling terkenal di Sidomukti, jadi sudah jelas kalau ayah kasih aku uang jajan banyak kayak gini" Ujarnya sambil memamerkan uang miliknya kepada Amiru dan beberapa teman lainnya.
"Welehh, welehhh, andai ayahku sama seperti ayah Raden. Sudah pasti enak hidupku sekarang." Kata Anas sambil berandai-andai jika ia memiliki ayah seperti Pak Agus.
"Husttt, tidak baik seperti itu, Nas. Apapun keadaan orangtua kita hari ini, kita itu harus selalu bersyukur." Balas Amiru
Bukannya mengiyakan perkataan Amiru, Anas justru terlihat mengejek apa yang sudah dikatakan oleh temannya itu.
"Daripada banyak ceramah mending kamu sekarang mandi dulu, Mir. Bajumu itu loh lusuh banget, hahahahahaha"
"Maklum saja, Nas. Baju Amiru kan cuma satu. Hahahahaha." Ucapan yang baru saja datang dari lisan Raden tersebut justru membuat hati Amiru murung.
"Sudah-sudah, nggak usah bertengkar. Mending sekarang kita masuk ke dalam surau. Sepertinya ustadz Muhajir sudah ada di dalam nunggu kita" Ujar Vito ketika berusaha menengahi keributan kecil yang terjadi pada teman-temannya. Â Â
Kemudian mereka pun berlomba-lomba masuk menuju ke dalam surau untuk memulai aktifitas mengaji. Ustadz Muhajir dengan cukup sabar mengajari anak-anak itu satu per satu. Beliau mengajar mulai dari tingkatan iqra' hingga Al-Qur'an tanpa membeda-bedakan asal usul keluarga dari anak yang diajarnya. Baginya, latar belakang setiap anak yang diajarnya itu sama saja, yang membedakan hanyalah adab perilaku yang mereka miliki.
"Amiru, kamu tadi bawa payung ke sini ?" Tanyanya kepada Amiru setelah menyadari jika di luar sudah mulai turun hujan.
Amiru lalu menjawabnya dengan beberapa kali gelengan kepala.
"Ya sudah, nanti kamu tunggu di sini saja sampai hujannya selesai. Nggak perlu takut, nanti saya temani." Ujar Ustadz Muhajir dengan satu senyuman simpul di akhir kalimatnya.
Amiru kemudian tersenyum sumringah setelah mendengar hal tersebut, "Terima kasih Pak Ustadz...."
Setelah kegiatan mengaji selesai, anak-anak kini mulai terlihat untuk meninggalkan surau. Tak terkecuali dengan Raden, sang ayah terlihat begitu perhatian memakaikan jas hujan berwarna kuning untuk buah hatinya itu.
Di dalam surau, Amiru hanya duduk terdiam sambil mengamati aktivitas yang dilakukan oleh Pak Agus tadi.
"Wajahmu kenapa kok terlihat murung gitu ?" Kata Ustadz Muhajir kepada Amiru
"Andai ayah saya seperti ayah Raden, pasti hidup saya akan enak kan pak ustadz ?"
Ustadz Muhajir lalu terkekeh pelan, "Memangnya kamu tidak sayang dengan ayahmu yang sekarang ?"
"Sayang, tapi ayahku nggak bisa jadi seperti ayah Raden yang selalu memberi banyak barang mewah untuk dia." Balas Amiru
Ustadz Muhajir lalu memandang Amiru dengan tatapan penuh kasih, "Amiru, jangan sampai kamu melupakan kasih sayang ayahmu hanya karena kamu telah melihat berlian di hadapanmu. Berlian memang terlihat begitu mewah, tetapi jika ia tidak dirawat dengan baik, maka ia juga akan berlaku sama seperti batu yang ada di pinggir sungai."
"Batu koral" Amiru lalu tertawa renyah setelah mendengar nasihat dari Ustadz Muhajir
"Nah, itu tau" Keduanya lalu tertawa bersama-sama di sela-sela rintikan hujan yang kini mulai mereda.
Lalu dari kejauhan nampak seorang lelaki berjalan perlahan menuju surau tempat keduanya berada.
"Lihat ! Ayahmu rela datang jauh-jauh kemari. Ayahmu mungkin tidak bisa membelikanmu jas hujan seperti ayah Raden, tapi kasih sayangnya untuk dirimu sepertinya nampak lebih besar daripada ayah Raden." Ujar Ustadz Muhajir sambil melirik ayah Amiru yang kini sudah semakin dekat di bibir pintu surau.
"Ustadz benar, kalau begitu Amiru pulang dulu ustadz, Assalamualaikum" Amiru lalu pergi berpamitan dengan ustadz Muhajir sembari mencium punggung tangan gurunya itu.
Kemudian nampak dari surau, keduanya mulai berjalan beriringan meninggalkan surau. Daun sukun yang tadi dibawa oleh sang ayah kini sepenuhnya menjadi milik Amiru. Bukan Amiru yang meminta sang ayah hanya untuk memayungi dirinya, namun itu semua adalah inisiatif dari sang ayah. Ayah Amiru ingin buah hatinya itu bisa terlindung dari rintik hujan yang masih belum mau berhenti, dan ia rela berbasah kuyup hanya demi memastikan jika tubuh Amiru berada tepat di bawah lindungan daun sukun yang dibawanya tadi. Â Â
Jombang, 20 Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H