"Welehh, welehhh, andai ayahku sama seperti ayah Raden. Sudah pasti enak hidupku sekarang." Kata Anas sambil berandai-andai jika ia memiliki ayah seperti Pak Agus.
"Husttt, tidak baik seperti itu, Nas. Apapun keadaan orangtua kita hari ini, kita itu harus selalu bersyukur." Balas Amiru
Bukannya mengiyakan perkataan Amiru, Anas justru terlihat mengejek apa yang sudah dikatakan oleh temannya itu.
"Daripada banyak ceramah mending kamu sekarang mandi dulu, Mir. Bajumu itu loh lusuh banget, hahahahahaha"
"Maklum saja, Nas. Baju Amiru kan cuma satu. Hahahahaha." Ucapan yang baru saja datang dari lisan Raden tersebut justru membuat hati Amiru murung.
"Sudah-sudah, nggak usah bertengkar. Mending sekarang kita masuk ke dalam surau. Sepertinya ustadz Muhajir sudah ada di dalam nunggu kita" Ujar Vito ketika berusaha menengahi keributan kecil yang terjadi pada teman-temannya. Â Â
Kemudian mereka pun berlomba-lomba masuk menuju ke dalam surau untuk memulai aktifitas mengaji. Ustadz Muhajir dengan cukup sabar mengajari anak-anak itu satu per satu. Beliau mengajar mulai dari tingkatan iqra' hingga Al-Qur'an tanpa membeda-bedakan asal usul keluarga dari anak yang diajarnya. Baginya, latar belakang setiap anak yang diajarnya itu sama saja, yang membedakan hanyalah adab perilaku yang mereka miliki.
"Amiru, kamu tadi bawa payung ke sini ?" Tanyanya kepada Amiru setelah menyadari jika di luar sudah mulai turun hujan.
Amiru lalu menjawabnya dengan beberapa kali gelengan kepala.
"Ya sudah, nanti kamu tunggu di sini saja sampai hujannya selesai. Nggak perlu takut, nanti saya temani." Ujar Ustadz Muhajir dengan satu senyuman simpul di akhir kalimatnya.
Amiru kemudian tersenyum sumringah setelah mendengar hal tersebut, "Terima kasih Pak Ustadz...."