Â
Loser, I Am A Loser
Hari sabtu itu, matahari bersinar terik di atas langit Jakarta. Terik dan panasnya, seakan tidak terasa di sebuah kafe kecil di selatan ibukota. Sebuah ruko seluas 3 x 7 meter berlantai tiga, dirias sedemikian rupa sehingga terasa begitu nyaman. Di lantai dasar kafe tersebut, dua buah mesin AC bekerja keras melawan panasnya Jakarta. Sudah hampir 3 jam, seorang laki-laki duduk di ruangan tersebut. Terlihat berkali-kali ia memeriksa handphonenya, kemudian menaruhnya kembali. Sesekali juga ia terlihat menggigit kuku jari tangannya. Lelaki itu terlihat begitu resah.
Ia mencoba mengingat-ingat percakapannya dengan Bella, seorang wanita yang ia kenal lewat dating app selama lebih dari 5 bulan. Setelah sekian lama menolak untuk bertemu langsung di dunia nyata, Bella akhirnya menyetujui untuk bertemu dengannya beberapa hari lalu. Sudah beberapa kali ia mencoba menanyakan dimana keberadaan Bella, via chat, tetapi pesan tersebut terlihat tidak terkirim. Apa janjiannya hari minggu ya bukan hari sabtu, batin lelaki itu bertanya-tanya sambil mengecek lagi chat di antara mereka berdua.
Tiba-tiba lelaki itu tertawa sendiri, seakan sesorang menimpukan batu ke kepalanya sehingga meyadari kebodohannya. Bella bukanlah Bella, mungkin Bella hanya seseorang di internet yang bosan dengan hidupnya sendiri dan menyibukan diri dengan orang-orang yang kesepian di dating app. Bahkan Bella mungkin bukan seorang wanita. Lelaki itu kembali tertawa menyadari kebodohannya.
"How pathetic I am, such a loser" pikir lelaki itu sambil bangkit dari kursi tempat ia duduk. Satu gelas kopi lagi, kemudian balik pulang, pikir lelaki itu, seakan masih berharap Bella akan datang. "Long Black Coffee, pake es sama gulanya 15 milli ya mbak" kata lelaki itu. "Atas nama siapa kak?" tanya sang barista. "Bambang" jawab lelaki itu singkat.
Sambil membawa pesanannya, Bambang kembali ke kursinya. "Hey.... Sendiri?" tanya seorang wanita dengan rambut highlight pendek berwarna biru, yang duduk di sebelah meja Bambang. Sambil menolehkan kepalanya kanan-kiri, Bambang memastikan bahwa ia lah yang dipanggil si wanita tersebut, "Saya?... iya sendiri" Jawab Bambang bingung. Wanita itu pun berdiri dari tempat duduknya, menuju lemari di pojok caf, tempat disimpannya berbagai papan permainan, "Bisa main catur?" tanya wanita itu. Bambang pun mengangguk pelan, masih terlihat bingung. Sambil membawa papan catur kecil, sang wanita menuju tempat duduk Bambang. Sambil menarik kursi di depan Bambang, wanita itu berkata ringan "Gua bosen, main catur yuk".
Luck, Game of Luck
Setelah lebih dari satu setengah jam bermain catur dengan wanita yang tidak ia kenal itu, Bambang hampir yakin bahwa wanita di depannya itu bukanlah Bella. Paling tidak, wanita itu tidak seperti foto Bella yang ia tahu di dating app. Tapi ia sepenuhnya yakin, catur yang mereka berdua mainkan bukan catur yang biasa dimainkan. Catur suit, kata wanita itu. Kalau biasanya pemain catur memainkan bidak caturnya bergantian, catur suit dimainkan berdasarkan hasil dari suit. Jika salah satu pemain sudah menjalankan bidak caturnya dan dia memenangkan hasil suit, dia berhak menjalankan bidaknya lagi.
Menurut wanita itu, catur punya aspek yang hampir sama seperti hidup kecuali satu aspek, keberuntungan. Â Di catur, terkadang ada banyak pilihan untuk menjalankan bidak, terkadang tidak, ketika sudah menjalankan bidak dan tersadar bahwa itu adalah kesalahan, tidak bisa diulang. Seperti hidup, kadang banyak pilihan, kadang mentok, dan pilihan yang sudah dibuat, tidak bisa diulang lagi.
Aspek yang kurang dari catur adalah aspek keberuntungan. Menurut wanita itu, pemenang suit sebagai syarat untuk menjalankan bidak, akan menambah aspek keburutungan dalam catur, jadi yang lebih mahir tidak akan selalu menang. Sama seperti hidup, yang lebih kompeten juga tidak mesti menjadi berhasil.
Sambil meneguk Long Black kopi ketiga miliknya, yang dibelikan oleh si wanita, "Skak mat" kata Bambang singkat sambil menjalankan bidak kudanya. "Keberuntungan ternyata gak cukup buat menang" lanjut Bambang, setelah dipaksa tidak menjalankan bidaknya karena 3 kali kalah suit di awal permainan. "Menang bukan intinya, tapi the beauty of randomness, itu intinya" kata wanita itu sambil tersenyum. "Kita gak pernah tahu, siapa yang punya hak untuk melangkah setelah ini" lanjut si wanita sambil membereskan bidak-bidak catur.
"Jadi, saya harus manggil kamu apa?" tanya Bambang memberanikan diri menanyakan nama wanita itu. Setelah bermain catur dan berbincang-bincang lebih dari dua jam, Bambang tidak tahu nama wanita itu. Â
"Aku benci nama" kata wanita itu singkat. "Tau gak? Manusia cenderung lebih sopan kepada orang yang tidak mereka kenal. lets not share each other our phone number or name, lets remain stranger, biar kita tetap santun" tambah wanita itu. "Lah trus gimana kalo saya pengen main catur aneh kayak gini lagi" tanya Bambang setengah protes. "Nope, kita gak akan main catur suit lagi, ever" kata wanita itu. "Ke Dufan aja yuk, aku lagi pengen banget naik roller coaster trus teriak sekeras-kerasnya" ajak wanita itu.
"Kapan? Nomor telephone kamu, aku gak tahu, nama kamu aja aku gak tau" tanya Bambang tiga perempat protes.
Sambil tersenyum, wanita itu memanggil pelayan kafe yang sedang membereskan meja sebelah, "Mbak tanya dong, mbak pilih salah satu ya, bulan atau minggu" tanya si wanita. "Bulan" jawab mbak pelayan bingung. "Trus dari nomor 1 sampai 9, nomor kesukaan mbak apa?" wanita itu melanjutkan pertanyaannya. "3" kata mbak pelayan singkat, masih bingung. "Ok, makasih mbak, sorry ganggu" kata wanita itu.
"Tiga bulan ke depan, di depan pintu masuk dufan jam 10.00 pagi" kata wanita itu sambil membereskan tasnya. "Seriusan ini?" tanya Bambang bingung. Si wanita hanya tersenyum. "Tapi kamu bener-bener bakal ada di sana kan? Bener-bener no name, no phone ini?" tanya Bambang benar-benar protes.
Sambil berdiri dari tempat duduknya, sang wanita berkata "Menurut kamu, aku bakal di sana gak nanti?" tanya balik wanita itu sambil tersenyum. "See you there" kata wanita itu sambil berjalan keluar kafe menuju mobil yang ia kendarai. Bambang masih terdiam di dalam kafe, bingung.
Lady, Call Me Lady
Matahari di Jakarta bagian utara, di pertengahan Agustus, terasa sangat panas, udara yang berhembus sepoi-sepoi tidak bisa menghilangkan suasana panasnya. Â Jam baru menunjukan pukul 9 lewat beberapa menit, seorang wanita duduk di belakang kemudi mobilnya yang terparkir di dekat sebuah taman hiburan di pantai utara Jakarta. Hatinya terasa berdebar-debar karena hari yang ia tunggu-tunggu sejak beberapa bulan lalu akhirnya tiba.
Wanita itu pun teringat percakapannya dengan Indah, teman baiknya. "Lu udah gila Ma" kata Indah sambil melongo mendengar cerita pertemuan Emma dengan seorang laki-laki yang tidak ia kenal di sebuah kafe beberapa bulan lalu. "Lu gak tahu kalo dia cowok baik-baik atau gak, atau bahkan mungkin dia udah punya pacar, atau malah istri" kata Indah agak marah. "Dan jangan sekali-kali lu bilang the beauty of randomness lagi" tambah Indah terlihat kesal.
"Gua agak yakin kok dia cowok baik-baik, trus, dia juga duduk sendiri di kafe itu lebih dari 3 jam, sambil bolak-balik liat handphonenya. Gua yakin dia single. Dan lagi, gua sempet ngobrol panjang sama dia, selain itu ada hal dari dia yang langsung buat gua tertarik buat ngobrol". Kata Emma, tidak hanya mencoba meyakinkan sahabatnya tapi juga dirinya sendiri.
"Itu kan asumsi lu aja Ma, dan berdasarkan fakta yang bener-bener kurang" kata Indah sambil menghela nafas. "Itu lagi, yang sebelum lu pergi, pake bilang see you there segala. Too flirty itu" tambah Indah. "Tenang aja seeh, dia gak tahu nama gua kok, gak tahu apapun tentang gua, kalau ada hal yang gua gak sreg, tinggal shut it down" kata Emma mencoba menenangkan Indah. "Dan lagi gua juga lagi gak pengen berhubungan romantis sama siapa pun, capek" tambah Emma.
"Trus kalo lu gak lagi berencana untuk punya pasangan atau pacar, ngapain ngerencanain ketemu lagi?" tanya Indah.
Sudah beberapa bulan sejak percakapannya dengan Indah. Tetapi sampai saat ini, dia belum bisa menjawab, untuk apa ia merencanakan bertemu lagi dengan pria itu padahal ia benar-benar sedang tidak ingin berpasangan?
Sampai kemarin malam Indah masih saja mewanti-wanti dirinya untuk berhati-hati, membawa kendaraan sendiri dan jangan masuk ke kendaraan laki-laki itu. Dan lagi, belum tentu juga kok laki-laki itu datang, pikir Emma sambil mematikan mesin mobil.
Emma pun berjalan meninggalkan parkiran mobil menuju pintu masuk Dufan. Dari kejauhan, Emma melihat seorang laki-laki ramping dengan tinggi sekitar 176 cm, berpakaian kaos bergaris horizontal lengan panjang, bercelana khaki dan berkaca mata sedang berdiri. Itu dia, batin Emma, setelah melihat laki-laki yang ia kenal tapi tidak tahu namanya itu sedang menunggu. Emma berusaha keras menyembunyikan senyumnya, "Don't look to excited Emma" kata Emma berulang-ulang dalam hati.
"Hey..." kata laki-laki itu menyapa, "rambut baru?..." tanya laki-laki itu. "Hey juga" jawab Emma, yang akhirnya tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Emma tidak merubah gaya rambutnya, hanya warna highlight rambutnya sedikit berubah, yang semula biru muda ia rubah menjadi biru turquoise. Entah kenapa pertanyaan simple 'rambut baru?' bisa meruntuhkan pertahanannya untuk tidak tersenyum.
"Kayaknya kita butuh panggilan. Bukan nama, hanya panggilan" kata si laki-laki. "Ok" jawab Emma yang masih saja tersenyum. "Aku panggil kamu 'G' dari gentleman karena kamu laki-laki, dan kamu bisa panggil aku 'L' dari Lady karena aku perempuan, Call me lady" lanjut Emma. "Ok, deal" jawab si laki-laki singkat, keduanya pun berjalan menuju pintu masuk Dufan.
Love, I Think I'm In Love with You
"Dia suka lu tau itu mas" Kata Mira kepada Bambang, kakaknya, sambil mengelus Koko, kucing peliharaan mereka. "Dan itu, senyum sambil bilang 'see you there' itu, itu flirting kelas 101 banget" kata Mira. "Ah kebanyakan nonton filmnya Sandra Bulock lu Ra" kata Bambang. Tapi memang, sudah hampir dua bulan yang lalu pertemuan Bambang dengan wanita yang tidak dia kenal itu dan senyuman wanita itu sebelum pergi, masih saja menjajah seluruh isi otak Bambang. "Mas Bembeng, seriusan neh, senyuman itu bisa jadi modal, mas harus ketemu dia lagi nanti" Kata Mira sambil pasang wajah serius. "Seriusan deh, don't fucked it up, Rio udah mulai ngomongin mau ketemu Babeh, jangan buat gua nikah ngelangkahin lu" kata Mira bercanda.
Tetapi candaan setengah serius adiknya itu sudah tidak lagi didengar Bambang. Pikirannya sudah kembali dijajah oleh senyuman wanita yang bahkan namanya tidak ia tahu.
Hari ini, senyuman yang sebelumnya hanya ada di pikirannya, kini bisa ia liat dengan mata kepalanya sendiri. Sudah kali ketiga mereka berdua menaiki roller coaster, dan senyuman wanita itu terlihat begitu bahagia. Setelah beberapa jam menaiki wahana-wahana lainnya, hari sudah mulai sore. Keduanya keluar dari Dufan dan menuju sebuah kafe di pinggir pantai Ancol.
"Aku seneng banget hari ini, ngopi ini aku yang traktir, masih Long Black Ice Coffee with 15 mill sugar?" tanya wanita itu. Bambang tersenyum mengiyakan, sudah lewat 3 bulan tapi dia masih ingat minuman yang aku pesan, pikir Bambang. Si wanita kembali membawa minuman, kemudian keduanya duduk di teras kafe menghadap pantai, memandang matahari terbenam. "L" panggil Bambang singkat. Wanita itu menoleh sambil tersenyum ke arah Bambang. "Sunrise or sunset?" tanya Bambang.
"Sunset, soalnya pas sunset, kebanyakan, kita bakal ketemu orang-orang yang real, hubungan real, bukan hubungan kerja. Kalo sunrise, waktunya kita siap-siap pasang topeng buat berhubungan dengan orang-orang tempat kerja" kata wanita itu panjang lebar. "Benci banget sama kerjaan?" tanya Bambang. Wanita itu mengangguk lemah. "Aku pengen banget ngelakuin sesuatu yang bisa buat diri sendiri bangga, kerjaanku sekarang, gak buat aku bangga, cuma buat bayar tagihan ini-itu" terang wanita itu.
Keduanya pun terdiam, menikmati matahari yang hampir tenggelam. "L?" kata Bambang, si wanita kembali menoleh, lagi-lagi sambil tersenyum. "Tiga bulan lalu, di kafe, kenapa kamu sapa aku?" tanya Bambang. Si Wanita tersenyum, sambil menunjuk handphone milik Bambang. Handphone itu sangat biasa, tapi dibalut oleh phone case bergambar female symbol dengan tangan mengepal dan tulisan 'equality' di bagian strip dari symbol.
"Aku pernah hidup dengan lingkungan yang sangat misoginis, orang tuaku, dengan terang-terangan lebih sayang kepada adik dan kakak laki-lakiku. Aku juga pernah menjalin hubungan lama dengan pria misoginis. Kalau dipikir-pikir, setelah hidup bertahun-tahun dengan orang tua yang terang-terangan lebih menyayangi anak laki-lakinya dibanding anak perempuannya, mestinya aku cepet sadar kalau pasanganku itu dulu seorang misoginis. Entahlah, terlalu bodoh kali aku" jelas si wanita panjang lebar.
"anyway, melihat symbol equality di phone case kamu, juga di gantungan kunci yang kamu bawa, buat aku tertarik buat ngobrol sama kamu" tutur wanita itu sambil memandang Bambang, tersenyum.
Entah karena suasana matahari terbenam yang begitu romantis atau keterusterangan wanita disampingnya mengenai dirinya atau hanya karena senyuman manis wanita itu, Bambang merasakan perasaannya membuncah. Perasaan ingin melindungi wanita di sampingnya, memeluk dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
"L" kata Bambang lirih, "Kayaknya, aku sayang sama kamu". Si Wanita kembali menoleh kearah Bambang, matanya terbelak kaget, kali ini tidak dengan tersenyum.
Logical, Logical Answer
Emma masih memandang terbelak laki-laki disampingnya, terkejut, tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Bagi mereka berdua, waktu seakan berhenti, tapi tidak di sekitarnya. Matahari tetap tenggelam dan lampu-lampu sudah dinyalakan. Mereka berdua terdiam, canggung.
"Kamu sayang aku G? tapi kita baru ketemu dua kali?" tanya Emma. "Gak, gak, gak, gak, gak bisa, gak G, kamu gak bisa bilang kalimat itu begitu aja" kata Emma panik. "Gak, gak, gak, enggak, kamu kayak nodong kepalaku dengan pistol G kalo kamu bilang gitu" lanjut Emma, masih terdengar panik. "Kamu bahkan gak tau nama asliku G, kita bahkan gak tau nama kita masing-masing" kata Emma. Laki-laki itu, sambil tertunduk, mengatakan lirih "Aku cuma ngutarain apa yang aku rasa". Emma memandang pria di sampingnya, pandangannya tajam.
"Kamu gak sayang aku G, kamu cuma suka ide kamu tentang aku, kamu belum kenal aku, aku yang rusak, aku yang messed up, aku yang pernah hancur sehancur-hancurnya. Kamu belum tahu itu, yang kamu suka cuma ide kamu, penggambaran kamu tentang aku, bukan aku".
"Kamu gak bisa bilang kalimat itu, ketika aku, seorang wanita, sedang mengutarakan vulnerability-nya, itu namanya kamu berusaha mengambil kesempatan, apa itu maksud kamu G?" todong Emma.
"Gak, bukan begitu maksudku, sumpah aku gak ada maksud apapun untuk ambil kesempatan. Mungkin, aku cuma terbawa suasana, atau entah apa" kata lelaki itu mencoba menjelaskan. "Aku minta maaf" lanjut lelaki itu, lirih.
"Trus, apa yang kamu harapkan pas kamu bilang kalimat itu? Kamu berharap jawaban apa dari aku?" tanya Emma. "Kamu laki-laki pintar G, kamu tau jawaban logis dari pertanyaan itu. Aku gak perlu jawab" kata Emma lembut, sambil membereskan tasnya. "Aku pulang duluan" kata Emma sambil berdiri dari tempat duduknya, kemudian keluar dari kafe menuju mobilnya. Dari kejauhan di dalam mobilnya, Emma masih melihat laki-laki itu terdiam. Ada perasaan bersalah di hati Emma, tapi ia tetap pergi meninggalkan pantai Ancol.
Longing, Longing For Someone You Don't Even Know
 "Wish you luck, buddy" kata seorang lelaki berkulit putih, di depan bandara John F Kennedy di Kota New York. "Yeah, you too, Matthew" balas seorang laki-laki berkulit sawo matang singkat, sambil saling berjabat tangan. Sudah setahun Bambang ditugaskan perusahaannya, sebuah perusahaan multinasional dibidang konsultasi finansial dan perpajakan, untuk bekerja di pusat perusahaan di Kota New York. Sebenarnya, penugasannya baru selesai bulan depan, tapi Mira, adik Bambang, akan menikah minggu depan.
"Awas aja kalo Mas Bembeng gak dateng, gua gak akan bolehin gendong anak gua entar" Ancam Mira via video call beberapa bulan lalu. "Belum juga nikah udah ngomongin anak" batin Bambang tidak berani mengucapkannya langsung kepada Mira.
Tiket pesawat penerbangan All Nippon Airways NH-109, miliknya sudah di tangan. Pesawat akan berangkat pukul 16.55 waktu setempat. Masih sekitar satu jam sebelum Bambang harus duduk di pesawat selama 14 jam sampai Tokyo kemudian ditambah 8 jam ke Jakarta. Dua puluh dua jam ke Jakarta, hitung Bambang tidak antusias membayangkan masa depannya yang akan terkurung di kabin pesawat hampir seharian penuh.
Sambil duduk, Bambang melihat jendela-jendela besar bandara John F Kennedy. Sinar matahari terbenam terlihat begitu jingga di bulan Agustus itu. Tiba-tiba sebuah ingatan kelam singgah di pikiran Bambang. Ya, warna matahari sore ini sama seperti warna matahari sore itu ketika dengan bodohnya ia mengatakan sayang secara premature. Dua kali bertemu dan dengan bodohnya ia langsung bilang sayang, kepada wanita yang bahkan namanya saja tidak ia kenal.
Sebenarnya, kalau boleh juur, Bambang tidak merasa bersalah mengatakan kalimat itu, toh ketika itu, itulah yang ia rasa. Tapi terkadang ia selalu berpikir 'what if' kalau dia lebih bersabar dan tidak bilang sayang secara terburu-buru.
Setengah mati Bambang sudah mencoba melupakan kenangan itu, tapi kenangan itu kadang tiba-tiba datang begitu saja. Biasanya ketika matahari terbenam, ketika dia tidak sengaja melihat orang-orang tua bermain catur di Central Park atau bahkan ketika melihat papan advertising pasta gigi. Bahkan sempat beberapa bulan ia sempat tidak bisa minum kopi yang biasa ia minum.
Panggilan pesawatnya terdengar diumumkan. Bambang segera menuju gate tempat pesawatnya berada. Kembali menuju Jakarta.
***
 "Long black coffee dengan es sama sedikit gula ya mbak" kata seorang wanita memesan minumannya di sebuah kafe di selatan Jakarta, "Iya mbak Emma" kata sang barista, sudah mengenal baik customer langgananya tersebut. Sudah setahun lebih Emma selalu minum kopi di kafe ini sambil menyelesaikan buku yang ia tulis. Di kafe ini jugalah Emma bertemu dengan laki-laki yang tidak sengaja ia sakiti setahun lalu. Emma selalu tersenyum bila mengingat laki-laki yang tidak ia tahu namanya tersebut. Bilang sayang di pertemuan kedua, Emma kembali tersenyum mengingatnya kembali.
Ketika ia mendengar laki-laki itu tiba-tiba bilang sayang, ia merasa sangat takut. Siapa manusia yang bilang sayang pada pertemuan kedua? Padahal tidak pernah berkomunikasi sama sekali? Pengalamanya dengan mantannya yang terdahulu, juga yang membuat ia takut. Emma takut diperalat dengan mind game, seperti mantannya selalu memanfaatkan vulnerability-nya di masa lalu.
Sebenarnya tidak lama setelah ia meninggalkan Pantai Ancol sore itu, ia sadar bahwa keterusterangan dia kepada laki-laki itu, terkait masa lalunya, juga memunculkan vulnerability kepada laki-laki itu. Mestinya, aku beri dia kesempatan kata Emma.
Oleh karena itu, sekitar setengah jam kemudian, ia kembali untuk mencari laki-laki itu di sekitar pantai Ancol. Tapi ia sudah tidak ada. Kemudian berhari-hari ia minum kopi di kafe ini, tempat pertama kali mereka bertemu. Laki-laki itu tidak pernah kelihatan lagi. Â
Life, Lesson Learned but Life Must Go On
Di sebuah toko buku ternama yang berada di sebuah mall di pusat Jakarta, Emma sedang menghadiri acara jumpa fan buku pertamanya "L is for Life". Buku yang ia tulis dengan susah payah selama hampir selama 2 tahun itu akhirnya terbit beberapa bulan lalu, diterima dengan antusias yang sangat tinggi.
Jumpa fans kali ini pun bukan jumpa fans yang pertama bagi Emma. Tidak ia sangka, buku yang sebenarnya terinspirasi dari kisah pertemuannya dengan laki-laki yang namanya tidak pernah ia tahu, hampir 4 tahun lalu itu, disukai khayalak banyak.
Emma duduk di sebuah kursi dengan meja panjang yang ditempatkan di panggung kecil di tengah-tengah loby mall. Emma duduk di tengah, diapit oleh moderator di sisi kanan, dan publisher bukunya di sisi kiri. Banyaknya fans yang hadir, membuat acara tidak bisa dilaksanakan di dalam toko buku. Fans tidak hanya memadati loby mall di lantai dasar, tetapi juga ada yang melihat dari lantai dua mall. Emma, karena duduk di kursi yang ditempatkan di atas panggung, dapat melihat fansnya, yang mayoritas perempuan, dengan leluasa. Â
Acara pun dimulai dan berjalan dengan tertib. Ketika dalam sesi tanya jawab, Emma tidak sengaja memandang ke lantai dua mall tersebut. Sosok yang tidak asing terlihat oleh Emma, laki-laki ramping dengan tinggi sekitar 176 cm, berpakaian kaos bergaris horizontal lengan panjang, bercelana khaki dan berkaca mata. Lelaki itu menggendong seorang bayi. Di samping lelaki itu berdiri seorang perempuan yang mendorong kereta bayi.
Detak jantung Emma tiba-tiba berdetak cepat, tangannya berkeringat. Apakah dia bisa mempercayai pandangannya sendiri? Sesekali Emma mencoba melirik kembali ke lantai dua mall, sambil mencoba fokus menjawab pertanyaan fans-fans nya. Iya benar, pikirnya, laki-laki itu, adalah tokoh utama dalam bukunya. Emma mencoba melirik kembali ke lantai dua, memastikan apakah lelaki itu masih berada di sana. Sudah tidak ada. Sambil menoleh ke kanan dan kiri, Emma mencoba mencari laki-laki itu. Â
Apakah sudah terlambat? Pikir Emma. Apakah dia sudah berkeluarga? Apa pantas kalau aku datang menemuinya? Berbagai pikiran berseliweran di benak Emma. Kalaupun ia sudah berkeluarga, paling tidak aku hanya ingin meminta maaf, tidak lebih, putus Emma.
Emma mendekatkan kepalanya ke moderator di samping kananya. Ia meminta izin untuk undur diri dengan alasan ke kamar mandi. Segera Emma menuruni panggung, mencari laki-laki yang pernah ia temui hampir 4 tahun lalu.
***
"Pakde Bembeng, gendong Raya dong sebentar" bujuk Mira kepada Bambang. "Mana seeh Rio" tanya Bambang kepada Mira, "Katanya cepet beli susunya" kata Bambang agak kesal. "Iya bentar ah" kata Mira singkat, sedikit kesal, sambil menggendong anak kedua Mira, Arya. Pandangan tajam Mira yang membuat Bambang terdiam. Kadang Bambang salut, bagaimana Rio bisa tahan dengan pandangan seram adiknya itu setiap hari.
Bukannya Bambang tidak suka menggendong keponakan-keponakannya itu, tetapi ada hal yang mengganggunya semenjak masuk mall tadi.
Rencananya hari ini, Bambang dan Rio akan membelikan treadmill untuk bapak, supaya bapak tetap bisa beraktifitas setelah baru saja pensiun, akan tetapi Mira memaksa ikut. Akhirnya borongan lah mereka berlima ke mall. Ketika masuk mall, Bambang tidak sengaja melihat banner berdiri di loby mall, dan ia sangat mengenali foto yang terpampang di banner itu. Foto yang begitu familiar, walaupun ia tidak pernah tahu nama wanita di dalam foto itu.
Rio akhirnya datang membawa belanjaan buat anak-anaknya. Bambang mengambil belanjaan tersebut dan menyerahkan Raya ke gendongan bapaknya. "Gua keluar dulu ya, belanjaan gua bawa ke mobil" kata Bambang kepada Mira dan Rio.
Dengan membawa belanjaan dua keponakannya, Bambang setengah berlari menuju loby mall. Tetapi wanita yang tadi ia lihat duduk di tengah sudah tidak ada lagi di tempatnya. Sambil menghela nafas, Bambang melangkah gontai, menuju sebuah kafe di mall tersebut, sambil membawa belanjaannya. Paling tidak, dari banner berdiri tersebut, sekarang Bambang tahu nama wanita itu, Emma Purnama, mungkin akan ada kesempatan lainnya, batin Bambang menghibur dirinya sendiri.
Long Black Ice Coffee, with 15 Mill Sugar
Emma masih setengah berlari mencari laki-laki yang ia kenal 4 tahun lalu itu. Seketika sesuatu terbesit dalam pikirannya, ia tahu, dimana ia bisa menemukan laki-laki itu. Ia menuju sebuah kafe di lantai dasar mall, seorang laki-laki yang ia kenal sedang memesan di depan barista. "Long Black Ice Coffee...." Kata laki-laki itu. "With 15 mill sugar" sela Emma. Laki-laki itu menoleh ke arah Emma. "Hey..." sapa laki-laki itu nampak agak terkejut. "Hey juga..." balas Emma dengan senyuman yang menjajah isi pikiran laki-laki itu selama 4 tahun lamanya.
Keduanya duduk berhadapan di kafe tersebut. "Gimana anak-anak? Sehat?" tanya Emma canggung. "Anak-anak?" tanya laki-laki itu heran. Emma kemudian menunjukan belanjaan berbagai kebutuhan bayi yang dibawa laki-laki itu. "Owh... ini buat keponakan, ini ke mall bareng adek sama anak dan suaminya" jelas laki-laki itu. Emma pun tersenyum mendengar jawaban laki-laki itu.
"Aku mau minta maaf, mungkin sudah terlambat 4 tahun, tapi aku minta maaf" kata Emma. "Aku yang minta maaf, sudah nodong kamu dengan kalimat itu, aku benar-benar gak ada maksud buruk sore itu" jawab lelaki itu.
Keduanya pun terdiam lagi, canggung. "Masih tanpa nama?" tanya lelaki itu sambil meminum kopinya. Sambil tersenyum, Emma menjawab "Aku Emma, Emma Purnama". "Aku Bambang Permadi" balas Bambang.
Sambil menunduk, Bambang berkata lirih "Aku gak ada maksud buruk, dan aku minta maaf kalau perkataanku selanjutnya mungkin akan buat kamu tidak nyaman atau merasa ketakutan lagi, but I really really miss you".
"Me too" jawab Emma singkat
"Apa aku terlambat" tanya Bambang. "Nope" jawab Emma sambil menunjukan kesepuluh jarinya tanpa cincin. "Apa aku terlambat?" kata Emma balik bertanya. Bambang hanya menggelengkan kepalanya sambil menunjukan jari-jarinya yang juga tidak bercincin.
Keduanya pun tersenyum, tapi tetap terdiam. Seakan ada aura kebahagiaan dan kelegaan dibalik saling canggungnya sikap keduanya. Tetapi perlahan, kecanggungan pasti akan mencair, seperti es di dalam kopi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H