Sambil meneguk Long Black kopi ketiga miliknya, yang dibelikan oleh si wanita, "Skak mat" kata Bambang singkat sambil menjalankan bidak kudanya. "Keberuntungan ternyata gak cukup buat menang" lanjut Bambang, setelah dipaksa tidak menjalankan bidaknya karena 3 kali kalah suit di awal permainan. "Menang bukan intinya, tapi the beauty of randomness, itu intinya" kata wanita itu sambil tersenyum. "Kita gak pernah tahu, siapa yang punya hak untuk melangkah setelah ini" lanjut si wanita sambil membereskan bidak-bidak catur.
"Jadi, saya harus manggil kamu apa?" tanya Bambang memberanikan diri menanyakan nama wanita itu. Setelah bermain catur dan berbincang-bincang lebih dari dua jam, Bambang tidak tahu nama wanita itu. Â
"Aku benci nama" kata wanita itu singkat. "Tau gak? Manusia cenderung lebih sopan kepada orang yang tidak mereka kenal. lets not share each other our phone number or name, lets remain stranger, biar kita tetap santun" tambah wanita itu. "Lah trus gimana kalo saya pengen main catur aneh kayak gini lagi" tanya Bambang setengah protes. "Nope, kita gak akan main catur suit lagi, ever" kata wanita itu. "Ke Dufan aja yuk, aku lagi pengen banget naik roller coaster trus teriak sekeras-kerasnya" ajak wanita itu.
"Kapan? Nomor telephone kamu, aku gak tahu, nama kamu aja aku gak tau" tanya Bambang tiga perempat protes.
Sambil tersenyum, wanita itu memanggil pelayan kafe yang sedang membereskan meja sebelah, "Mbak tanya dong, mbak pilih salah satu ya, bulan atau minggu" tanya si wanita. "Bulan" jawab mbak pelayan bingung. "Trus dari nomor 1 sampai 9, nomor kesukaan mbak apa?" wanita itu melanjutkan pertanyaannya. "3" kata mbak pelayan singkat, masih bingung. "Ok, makasih mbak, sorry ganggu" kata wanita itu.
"Tiga bulan ke depan, di depan pintu masuk dufan jam 10.00 pagi" kata wanita itu sambil membereskan tasnya. "Seriusan ini?" tanya Bambang bingung. Si wanita hanya tersenyum. "Tapi kamu bener-bener bakal ada di sana kan? Bener-bener no name, no phone ini?" tanya Bambang benar-benar protes.
Sambil berdiri dari tempat duduknya, sang wanita berkata "Menurut kamu, aku bakal di sana gak nanti?" tanya balik wanita itu sambil tersenyum. "See you there" kata wanita itu sambil berjalan keluar kafe menuju mobil yang ia kendarai. Bambang masih terdiam di dalam kafe, bingung.
Lady, Call Me Lady
Matahari di Jakarta bagian utara, di pertengahan Agustus, terasa sangat panas, udara yang berhembus sepoi-sepoi tidak bisa menghilangkan suasana panasnya. Â Jam baru menunjukan pukul 9 lewat beberapa menit, seorang wanita duduk di belakang kemudi mobilnya yang terparkir di dekat sebuah taman hiburan di pantai utara Jakarta. Hatinya terasa berdebar-debar karena hari yang ia tunggu-tunggu sejak beberapa bulan lalu akhirnya tiba.
Wanita itu pun teringat percakapannya dengan Indah, teman baiknya. "Lu udah gila Ma" kata Indah sambil melongo mendengar cerita pertemuan Emma dengan seorang laki-laki yang tidak ia kenal di sebuah kafe beberapa bulan lalu. "Lu gak tahu kalo dia cowok baik-baik atau gak, atau bahkan mungkin dia udah punya pacar, atau malah istri" kata Indah agak marah. "Dan jangan sekali-kali lu bilang the beauty of randomness lagi" tambah Indah terlihat kesal.
"Gua agak yakin kok dia cowok baik-baik, trus, dia juga duduk sendiri di kafe itu lebih dari 3 jam, sambil bolak-balik liat handphonenya. Gua yakin dia single. Dan lagi, gua sempet ngobrol panjang sama dia, selain itu ada hal dari dia yang langsung buat gua tertarik buat ngobrol". Kata Emma, tidak hanya mencoba meyakinkan sahabatnya tapi juga dirinya sendiri.