Prayura di waktu kecil sangat bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, ia selalu ingin belajar dan mengetahui tentang hal-hal yang menurutnya sangat menarik untuk dipelajari. Seiring bertambahnya usia, minat Prayura semakin berkembang. Selain tetap bermain game, ia mulai menyukai berbagai olahraga seperti bermain tennis, baseball, dan badminton. Bermain alat musik seperti bass, drum dan gitar juga menjadi salah satu cara baginya untuk mengekspresikan diri. Aktivitas ini tidak hanya membuatnya menjadi lebih produktif, tetapi juga membantu membangun kepercayaan dirinya yang sempat terkikis oleh pengalaman masa kecilnya.
Namun, kehidupan tidak berhenti memberikan tantangan. Pendidikan formal Prayura dimulai di SD Badan Perguruan Indonesia (BPI) Bandung, dilanjutkan ke SMP Negeri 13 Bandung, dan SMA Negeri 8 Bandung. Meski dua sekolah terakhirnya bukan termasuk sekolah yang favorit, Prayura tetap berusaha keras. Keinginannya untuk bersekolah di SMA Negeri 5 Bandung harus kandas karena nilainya yang tidak memenuhi atau belum mencapai syarat.
Hal ini membuatnya memasuki SMA Negeri 8 Bandung. Di masa SMA, Prayura aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Ia bergabung dengan ekstrakurikuler seperti Softball dan Aplikasi Teknologi, sebuah klub yang memperkenalkan konsep desain dan arsitektur. Akibat terlalu aktif di ekstrakurikulernya, ia mendapatkan kepercayaan dari pembimbing ekstrakurikulernya untuk megikuti berbagai turnamen, salah satunya yaitu turnamen softball nasional bulungan cup di Jakarta.
Aktivitas ini tak hanya memberikannya pengalaman baru, tetapi juga mengobatinya dari fase antisosial, membangun relasi pertemanan di masa SMA dan mengajarkan kerja tim serta keterampilan manajemen waktu yang baik. Setelah lulus di SMA, Prayura melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Ia diterima di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung dengan jurusan Hubungan Internasional melalui jalur tes atau ujian mandiri.
Ketika kuliah di UNPAR, ia membangun pertemanan yang luas. Namun, perjalanan kuliahnya tak selalu berjalan mulus. Prayura merasa kesulitan dalam mendapatkan nilai yang baik, sehingga ia memutuskan untuk pindah ke Universitas lain. Ia mengikuti ujian SBMPTN di tahun berikutnya lalu ia lolos di dua Universitas, yakni Universitas Padjajaran (UNPAD) di Sumedang dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta.
Karena rumahnya terlalu jauh dari UNPAD, akhirnya ia memilih untuk kost di Yogyakarta dan melanjutkan studinya di UGM lalu beralih ke jurusan Hukum. Perpindahan ini membawa tantangan baru pada Prayura, tak hanya mengalami homesick dan harus meninggalkan keluarganya yang ada di Bandung, Prayura juga harus mempelajari perbedaan budaya yang ada di Yogyakarta termasuk harus beradaptasi dengan lingkungannya.
Dengan sistem pendidikan yang berbeda, ia menghadapi kesulitan di UGM. Prayura juga memiliki masalah internal atau masalah pribadi yang berasal dari dirinya sendiri. Ketika kuliah di UGM, Prayura mengikuti organisasi seni dan aktif di organisasi seni tersebut. Ia pernah menjabat sebagai ketua divisi logistik di organisasinya. Ia juga pernah mengikuti project di organisasinya yaitu pentas theater musikal di TBY. Tak hanya mengikuti organisasi, ketika kuliah di UGM ia juga bekerja sebagai part timer barista di Caf "Teman Teduh" dan part timer penjaga perpustakaan UGM yang membuat masa kuliahnya sangat produktif.
Masa-masa di UGM diwarnai dengan berbagai cobaan seperti mulainya bermunculan masalah keluarga yang mengganggu fokusnya dalam belajar. Di tengah kesulitan akademis, Prayura juga menghadapi tantangan dalam mengelola waktu dan prioritas. Kesalahan dalam pengambilan Kartu Rencana Studi (KRS) membuatnya memperpanjang masa studi hingga 14 semester lamanya. Hal ini menjadi pukulan berat baginya, terutama karena banyak teman seangkatannya yang telah lebih dulu lulus.
Tekanan ini diperparah dengan munculnya pandemi COVID-19 yang mengakibatkan lockdown dan memaksanya untuk kembali ke Kota Bandung serta menjalani kuliah secara daring atau online. Namun, di balik situasi yang penuh tekanan ini, Prayura menemukan cara untuk tetap produktif. Pada tahun 2020, ia mendirikan sebuah Coffee shop bernama "Raals Coffee" yang berlokasi di Lengkong Besar, Kecamatan Turangga, Kota Bandung.
Usaha ini didirikan dengan modal dari tabungan pribadi dan bantuan dana investor. Awalnya Raals Coffee didirikan di garasi halaman rumahnya, namun kini semakin sukses dan menjadi toko coffee shop yang memiliki 2 lantai. Selain menjadi mahasiswa, Prayura juga berperan sebagai barista, kasir, waiter sekaligus pemilik bisnis. Langkah ini menunjukkan semangatnya untuk terus berkembang dan mencari peluang di tengah adanya hambatan. Namun, perjalanan Prayura sebagai mahasiswa dan pengusaha tidaklah mudah. Ketika sedang menyusun skripsi, ia mengalami tantangan besar. Dosen pembimbingnya pergi ke Australia untuk melanjutkan studi dan meninggalkannya dalam kebingungan.
Teman-temannya yang lebih dulu lulus juga sempat membuatnya merasa sendirian. Akibatnya, Prayura mengalami berbagai masalah pada kesehatan mentalnya seperti mental breakdown, depresi, dan mental block yang membuatnya sulit untuk menyelesaikan skripsi. Dalam kondisi ini, dukungan dari keluarga dan teman-temannya menjadi penyelamat.