GELAP TAK LENYAP TERANG TAK DATANG
Catur Puisi
Pengantar
Setiap mendengar nama RA. Kartini, mau tidak mau imajinasi kita pasti terbang ke sebuah zaman gelap, bodoh dan terbelakang para kaum hawa Nusantara.
Sejarah kemudian mencatat, kebodohan dan keterbelakangan itu tercerahkan dengan lahirnya pemikiran dan jiwa pemberontak seorang anak Bupati cantik anggun bernama RA Kartini .
Gegap gempita rasa senang hingga kini masih terus diperingati pada tanggal 21 April setiap tahun oleh bangsa ini dengan berbagai cara penghormatan kepada pendekar bangsa itu.
Tak sedikit kemudian generasi setelah beliau memberikan nama yang sama kepada anak-anaknya dengan harapan supaya anaknya kelak berjiwa dan berwawasan cemerlang seperti pendahulunya.
Namun sayang, peringatan hari kelahiran RA. Kartini, yang lebih kita kenal dengan Hari Kartini dewasa ini terkesan sekedar seremoni biasa, adem bahkan garing.
Yang sangat terlihat sibuk tentu saja Ibu-ibu yang mempunyai anak TK atau SD, karena biasanya pada hari itu sekolah mengadakan Karnaval, kalau tidak mau dikatakan “pameran” Baju Adat Nusantara.
Mengenai hal ini sungguh sangat positif, mengajarkan generasi supaya kenal dengan kekayaan adat istiadat negeri ini. Namun menurut hemat penulis jadi kurang pas, jika peringatan Hari Kartini hanya cukup keliling kampung menggenakan Baju Adat, lalu bubar ….!
Tentu saja hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi banyak pihak, tidak terkecuali penulis. Maka dengan rangkaian kata sederhana mencoba memotret hal tersebut menjadi Empat Judul puisi sederhana yang menceritakan penggalan Peringatan Hari Kartini dengan menjelmakan berbagai tokoh:
Abdul Somad misalnya, pada puisi Ke-1 Gelap Tak Lenyap Terang Tak Datang, meskipun cita-cita Abdul Somad dan Kartini kecilnya tenggelam bersama sawahnya, paling tidak ia sudah mempunyai cita-cita.
Lain lagi dengan Puisi Ke -2Konde 21 April, ini merupakan parodi satire untuk kita renungkan, bahwa kebanyakan kita sekarang telah terjebak dengan berbagai seremoni peringatannya tanpa memberikan ruang kepada cita-cita luhur beliau.
Konde, kebaya, kain batik merupakan lambang harfiah keibuan Kartini, maka itulah yang ditonjolkan bahkan untuk mendapatkannya pun harus berebut, saling sikut, saling injak, saling maki.
Ada lagi parodi lain tentang kartini yang menggelitik pada Puisi Ke-3 Ema-ku bernama Kartini. Si Ema bangga nian dengan nama yang disandangnya karena namanya sama dengan Pendekar Bangsa itu, tanpa mengetahui kenapa dia harus bangga menggunakan nama itu.
Puisi Ke-4 Perempuan, merupakan kerinduan yang terdalam akan sosok Kartini di hati wanita yang sudah beranjak dewasa. Ia hanyut pada masa kecil nan indah waktu bersama teman kecilnya memperingati Hari Kartini. Kerinduan itu ia bawa sampai kini.
Semoga dengan penghayatan yang dalam, kita merenung kembali untuk memuntahkan ide-ide cemerlang dan kreatif agar peringatan Hari Kartini ke depan bisa lebih bermakna, Amin.
1.
Gelap tak lenyap Terang tak datang (Kartini Binti Abdul Somad)
Siapa namamu hai perumpuan?! Bentak lelaki berkumis baplang Si perempuan gemetar, menatap takut, menunduk pun takut
Siapa namamu hai perempuan ! Bentaknya kini makin keras, menembus sumsum yang paling dalam Si perempuan makin menggigil – ngilu tulang – jantung meledak Diam Wajahnya sembunyi dibalik lipatan lutut yang penuh koreng
Lelaki berkumis baplang membentak lagi sambil menggebrak meja Siapa namamu hai perempuan ... Dengan terbata ia menjawab: Saya Kartini, juragan ... Kartini binti Abdul Somad
*** Kartini Binti Abdul Somad lahir .... Dua puluh satu april – sembilan belas tahun yang lalu
Abdul Somad sang ayah girang alang kepalang Tanggal lahir anaknya sama persis dengan tanggal kelahiran pendekar bangsa Pendekar kaum wanita untuk merdeka Maka dinamailah anaknya; Kartini Binti Abdul Somad Abdul Somad Ia berharap kelak sang anak menjadi penerus cita-cita Kartini sang pendekar itu
Kartini Binti Abdul Somad Wajahnya kurus – pucat – matanya seperti sumur
Badannya tinggal tulang – beraroma kentut *** Cita-cita jadi barang mewah Ketika sebuah bencana penimpah Sawah sepetak tenggelam sudah Abdul Somad jadi serba salah Kartini kecil pergi ke kota bukan untuk cita-cita Sekedar menyambung hidup dengan meminta-minta
Dari kecil sampai remaja Tanganya selalu tengadah Ketika hampir menginjak dewasa Seorang cukong memberangus semua jiwa
Kartini Binti Abdul Somad Dipaksa memakai bedak – gincu Demi pemuas nafsu