Hingga ketika aku mengalah, tubuh Fatma kembali aku tarik dalam pelukan. Berusaha menenangkan, aku berkata, "Kau tidak sendiri. Aku ada di sini, Fatma."
Sesaat bisa aku lihat jika Fatma membulatkan mata, terkejut dengan apa yang barusan aku katakan. "Farhan. Apa kau baru saja bilang jika kau akan bersamaku di sini?"
Aku tahu, itu adalah pertanyaan yang sangat ambigu. Bersama seperti apa yang Fatma maksud, aku bahkan tidak bisa mengerti.Â
Namun entah bagaimana, aku justru hanya tersenyum dan mengiyakan. Apakah itu cukup untuk membuat wanita ini merasa sedikit tenang?
Kemudian saat semua terlihat baik, kami menghabiskan malam dalam dekapan. Sayangnya saat itu aku sama sekali tidak tahu, jika janji yang tak sengaja aku buat justru membawa Fatma dalam akhir yang sangat buruk.
Satu tahun belum genap sejak hari itu.Â
Saat bulan menggantung suram di langit. Aku yang tidak sempat mengisi daya ponsel berlari secepat mungkin saat melihat garis polisi melingkari kamar satu petak yang sering aku datangi. Benar, itu adalah kamar milik Fatma.
"Apa yang terjadi di sini?" Pertanyaan yang bahkan belum sempat terjawab karena aku sudah lebih dulu menerobos di antara kerumunan.
Lalu ketika aku tiba di depan kamar, dua petugas polisi keluar dengan kantong mayat yang dibawa. Aku syok, kakiku lemas, jantungku berhenti berdetak. Aku tidak ingin memikirkan hal buruk. Tetapi melihatnya keluar dari kamar Fatma, siapa yang tetap bisa berprasangka baik setelahnya?
"Fatma ...." Tenagaku hilang, tulang di kaki melunak. Bahkan makan malam yang ingin aku habiskan dengan Fatma terjatuh begitu saja.
Telingaku tersumbat, kepalaku tiba-tiba penuh. Aku bahkan tidak bisa mendengar dengan jelas apa saja yang dibicarakan orang-orang di sana.