"Dunia ini begitu gelap, Han. Matahari memang terik, tapi seperti ada tirai besar yang menutupi mataku. Tidak ada yang berjalan baik, bukankah itu sudah cukup menjadi alasan untukku mengakhiri semuanya?"
Kalimat yang harusnya sudah buram dalam ingatan kini semakin terdengar keras. Kata demi kata, bahkan bagaimana payahnya ia saat mengambil napas masih aku ingat dengan jelas. Seorang wanita yang lima tahun lalu tiba-tiba datang entah dari mana, memporak-porandakan isi kepalaku lalu pergi begitu saja.
Masih lima tahun lalu. Ketika petir di luar sama sekali tidak terasa mengerikan untuk pertama kali. Rumah lembab dengan pencahayaan minim menjadi saksi betapa keadaan di dalamnya lebih terlihat menyeramkan. Seorang wanita dengan rambut kusut hampir menyayat pergelangan tangan dengan silet, setelah beberapa obat yang ditelan tidak mempan.
Aku mematung sesaat setelah mendobrak pintu. Memproses apa yang terjadi, padahal seharusnya aku bergegas merebut silet dari tangannya. Jantungku seperti berhenti berdetak, obat-obatan yang aku lihat berserak seolah menahan napasku agar tidak keluar.
"Fatma!"
Pada akhirnya aku hanya bisa meneriakkan namanya. Wanita yang beberapa jam lalu masih mengirim pesan seperti biasa, kini terlihat sangat rapuh di hadapanku. Matanya sembab, bibirnya gemetar seperti hujan di luar pindah kepadanya.
"Apa yang ingin kau lakukan dengan benda ini?"Â Aku merebut dengan asal, tak peduli bahkan jika tajamnya silet mengenai tanganku yang telanjang. Segera setelahnya aku mendekap erat tubuh kurusnya, hanya itu yang bisa aku pikirkan. "Apa yang kau lakukan?"
Tak ada jawaban yang benar-benar ingin aku dengar. Wanita yang getaran tubuhnya bisa aku rasakan hanya menangis semakin kencang. Sama sekali tidak ada kata yang keluar, bahkan saat namaku dipanggil seperti sebuah kata yang belum pernah aku dengar.
"Aku di sini. Tenanglah, Fatma." Pelukan semakin erat. Untuk alasan yang tidak aku tahu, sekarang aku hanya ingin mengulurkan bahu untuknya merasa nyaman.
Suara jantung dari jam di dinding terdengar seperti pukulan drum. Sangat keras, memecah hening yang sudah terjadi beberapa menit setelah aku mendudukan Fatma di tepi ranjang.
Wanita di sampingku masih belum banyak bicara. Hanya satu dua kata yang aku sendiri tidak begitu mengerti maksudnya. Hingga saat aroma di udara tiba-tiba memberat, Fatma akhirnya membuka bibir.