"Kursus ketiga adalah menulis cerpen. Tutor yang mendampingi adalah Bapak Budi Sardjono. Beliau adalah seorang penulis terkenal. Bagi yang punya minat menulis boleh mendaftarkan diri," ungkap Romo.Â
Hatiku jatuh pada kursus ketiga. Aku mengangkat tangan mendaftarkan diri. Menulis adalah kelemahanku. Aku harus menanam kaki demi menutupi kelemahan itu. Setelah melihat seisi ruangan ternyata aku tidak sendirian mengikuti kursus ini. Lima saudaraku juga mendaftarkan diri. Hal ini menambah kebahagiaanku.Â
"Inilah saatnya menggali mutiara terpendam yang ada dalam diri ini," ungkapku penuh komitmen seraya mencatat di buku pertemuan umum.Â
***
Ruang konferensi pastoran terlihat rapi. Tujuh kursi disusun mengelilingi meja. Waktu menunjukkan pukul 08.00. Sebuah motor masuk ke seminari. Setelah memarkirkan motor, tampak pria paruh baya menekan bell seminari.
"Angga, cepat bukakan pintu," pintaku padanya yang memilih posisi duduk dekat pintu.Â
Ada sedikit ragu dengan sosok Bapak Budi. Saat datang dia tidak membawa sesuatu sebagai bahan untuk memulai kursus. Aku tidak yakin dengan pribadinya.Â
"Selamat pagi semuanya. Apa kabar? Maaf telat dikit," sapa Pak Budi.Â
"Pagi Pak," balasku.Â
Bapak Budi mulai menjelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat cerpen. Hal pertama adalah tulisan sederhana dan mudah dimengerti. Lalu, dalam satu kalimat hanya memuat tiga belas hingga empat belas kata. Dalam satu paragraf hanya berisi tujuh kalimat. Konfliknya harus jelas. Terakhir, pembaca harus mampu menemukan pesan yang disampaikan dalam cerpen.Â
Setelah menjelaskan beberapa hal penting dalam menulis cerpen, dia mempersilahkan kami memilih tempat observasi. Dua saudara memilih pasar Kaliurang. Lalu, dua yang lain memilih untuk mengamati terminal Condong Catur. Sedangkan seorang saudara dan aku mengamati aktivitas di perempatan lampu merah Condong Catur.Â