Hari itu Kamis pertama. Biasanya ada pertemuan umum di komunitas. Tepat pukul 15.00 lonceng berdering. Petugas membunyikan lonceng mengitari seluruh ruangan, kecuali lorong formator. Bising sekali. Ingin rasanya berteriak minta agar lonceng segera diakhiri.Â
Beberapa kamar mandi sudah berbunyi. Kran air dibuka. Bunyi air kian membahana. Kudekati cermin. Tampak wajahku lusuh dan berantakan. Di atas meja, weker menunjukkan pukul 15.25. Lima menit lagi pertemuan komunitas dimulai. Aku berlari secepat angin ke kamar mandi. Dalam satu menit aku sudah kembali ke kamar.Â
"Selamat sore Romo," jawab teman-teman.Â
Dengan penuh malu aku masuk ruangan. Kursi bagian belakang semuanya sudah terisi. Aku terpaksa duduk di kursi paling depan. Karena masuk paling akhir, aku diminta untuk memimpin doa. Selesai berdoa, Superior Komunitas membacakan agenda-agenda pertemuan.Â
"Enak ni, ada agenda baru," bisikku kepada teman di samping tempat duduk.Â
Pertemuan komunitas terus berlangsung. Satu per satu agenda pertemuan dibicarakan. Ide, masukan dan pendapat anggota komunitas dikomunikasi secara bersama-sama. Tibalah pada agenda terakhir tentang rencana kursus liburan.Â
"Sekarang kita memasuki agenda terakhir. Kita diminta untuk memilih kursus yang sesuai dengan minat, bakat dan hobi masing-masing. Pertama, kursus public speaking. Tutor yang akan mendampingi adalah team dari Universitas Sanata Dharma. Bagi siapa saja yang berminat silahkan menghunjukkan jari," ungkap Romo Rektor.Â
Beberapa teman dengan penuh semangat memilih kursus public speaking ini. Mereka memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Aku senang melihat antuasias teman-teman.Â
Setelah mencatat jumlah peserta kursus public speaking, Romo Rektor melanjutkan, "Kursus kedua adalah mekanik komputer dan printer. Bagi yang berminat silahkan mendaftar. Kalian akan mengadakan kursus di Warnet Kaliurang."
Hampir seluruh peserta mendaftarkan diri. Aku menanti kursus ketiga. Dua kursus yang sudah disebutkan belum sesuai dengan bakat dan minatku. Aku diam dan mendengar masukan serta arahan dari Romo mengenai apa yang akan dilakukan ketika kursus.Â
"Jangan sampai hanya aku saja yang mendaftar di kursus ketiga," ungkapku ragu dalam hati.Â
"Kursus ketiga adalah menulis cerpen. Tutor yang mendampingi adalah Bapak Budi Sardjono. Beliau adalah seorang penulis terkenal. Bagi yang punya minat menulis boleh mendaftarkan diri," ungkap Romo.Â
Hatiku jatuh pada kursus ketiga. Aku mengangkat tangan mendaftarkan diri. Menulis adalah kelemahanku. Aku harus menanam kaki demi menutupi kelemahan itu. Setelah melihat seisi ruangan ternyata aku tidak sendirian mengikuti kursus ini. Lima saudaraku juga mendaftarkan diri. Hal ini menambah kebahagiaanku.Â
"Inilah saatnya menggali mutiara terpendam yang ada dalam diri ini," ungkapku penuh komitmen seraya mencatat di buku pertemuan umum.Â
***
Ruang konferensi pastoran terlihat rapi. Tujuh kursi disusun mengelilingi meja. Waktu menunjukkan pukul 08.00. Sebuah motor masuk ke seminari. Setelah memarkirkan motor, tampak pria paruh baya menekan bell seminari.
"Angga, cepat bukakan pintu," pintaku padanya yang memilih posisi duduk dekat pintu.Â
Ada sedikit ragu dengan sosok Bapak Budi. Saat datang dia tidak membawa sesuatu sebagai bahan untuk memulai kursus. Aku tidak yakin dengan pribadinya.Â
"Selamat pagi semuanya. Apa kabar? Maaf telat dikit," sapa Pak Budi.Â
"Pagi Pak," balasku.Â
Bapak Budi mulai menjelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat cerpen. Hal pertama adalah tulisan sederhana dan mudah dimengerti. Lalu, dalam satu kalimat hanya memuat tiga belas hingga empat belas kata. Dalam satu paragraf hanya berisi tujuh kalimat. Konfliknya harus jelas. Terakhir, pembaca harus mampu menemukan pesan yang disampaikan dalam cerpen.Â
Setelah menjelaskan beberapa hal penting dalam menulis cerpen, dia mempersilahkan kami memilih tempat observasi. Dua saudara memilih pasar Kaliurang. Lalu, dua yang lain memilih untuk mengamati terminal Condong Catur. Sedangkan seorang saudara dan aku mengamati aktivitas di perempatan lampu merah Condong Catur.Â
Aku mengamati dengan penuh perhatian di perempatan lampu merah. Berbekal pena dan kertas aku menarasikan aktivitas penjual dan pengendara motor. Aku merasa bangga ketika mampu membuat cerpen dari hasil pengamatan di perempatan tersebut.Â
(Inilah hasil tulisanku ketika pertama kali belajar menulis bersama Bapak Budi Sardjono di Wisma Claretian Yogyakarta: https://www.kompasiana.com/.../5c357704677ff.../lelaki-misterius)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H