Ketika aku kecil ayah selalu mengajakku menggembalakan sapi di padang sabana Ma'u Sui, Waelengga, Manggarai Timur. Padang rumput yang luas ini menjadi gudang makanan seperti bagi hewan ternak seperti sapi, kuda, kerbau, kambing dan lain sebagainya. Hewan ternak dibiarkan berkeliaran tanpa dikandangkan.
Bentuk penggembalaan seperti ini selalu menggelisahkan hatiku ketika menjadi penggembala sapi. Banyak pengalaman menarik yang kualami, salah satunya ketika harus melindungi diri dari kejaran sapi liar. Cara terbaik untuk melindungi diri adalah berlari secepat mungkin ke arah pohon dan memanjatnya.
Pada musim kemarau rumput di padang sabana Ma'u Sui mulai kering. Ternak peliharaan bertahan hidup dengan melindungi diri di bawah kaki gunung Komba. Dedaunan pohon menjadi sumber makanan dan mata air Wae Motu yang berada persis di bawah kaki gunung Komba menjadi sumber minuman mereka.Â
Fenomena alam seperti ini menimbulkan kegelisahan di hati para gembala. Ayah selalu mengajak aku menyusuri hutan untuk mencari ternak peliharaan yang bertahan hidup di bawah kaki gunung Komba. Jarak tempuh yang jauh cukup menguras waktu dan tenaga. Namun, keadaan alam yang asri serta bunyi burung yang bersahutan menjadi penghibur hati di saat letih dan lelah mulai menghampiri.
Dalam pencarian itu, kami selalu beristirahat di bawah dua batu yang berukuran besar dan tinggi. Tanpa kusadari, sepasang batu itu memiliki sejarah masa lalu yang sangat berarti bagi salah satu suku yang berada di Waelengga, yakni suku Rongga. Kedua batu itu bagi orang Rongga dinamakan Watu Susu Rongga.Â
Asal-usul
Secara harfiah Watu Susu Rongga memiliki arti Batu Susu Orang Rongga. Keduanya dinamakan demikian karena bentuknya seperti "payudara perempuan". Tinggi kedua batu berkisar tiga sampai empat meter.
Watu Susu Rongga dikelilingi oleh beberapa suku, yakni suku Lowa, Kewi, Motu dan Ndeli. Suku Lowa berada di puncak gunung Komba sedangkan suku Kewi, Motu dan Ndeli berada persis di kakinya. Suku-suku yang berada di sekitar gunung Komba menjaga kedua batu ini sebagai warisan peninggalan nenek moyang yang sangat berarti.
Masyarakat suku Rongga memiliki cerita mengenai asal-usul Watu Susu Rongga. Konon, pada masa lalu terjadi peperangan antara suku Rongga melawan Raja Todo. Ketika berad dalam tekanan, suku Rongga berlindung di atas gunung Komba. Raja Todo sudah menguasai sebagian besar wilayah Rongga dan ingin menyerang suku Rongga yang mendirikan benteng pertahanan di atas gunung Komba.
Suku Rongga mengutus tiga orang untuk mengambil dua batu dari Watu Lajar, Iteng, Manggarai. DUa orang bertugas mengangkat batu dan satu orang bertugas membawa bekal selama perjalanan. Fungsi kedua batu itu untuk menutup pintu masuk ke gunung Komba.Â
Namun, ada syarat yang harus dipenuhi oleh ketiga orang yang bertugas mengambil batu-batu itu. Mereka harus berjalan pada malam hari dan tidak boleh kesiangan. Ketika hendak memasuki gunung Komba, seorang yang membawa bekal secara tidak sengaja menyenggol sebuah bere (tas yang terbuat dari daun lontar) yang berisi seekor anjing.Â
Akibatnya, anjing mengeluarkan suara dan kedua batu itu perlahan menjadi berat. Di saat anjing menggonggong dengan keras, matahari telah terbit dan kedua batu tidak dapat diangkat lagi. Ketiga orang tadi tidak mampu membawa batu itu menuju pintu masuk ke gunung Komba. Kedua batu tertanam hingga saat ini dan tidak sampai di puncak gunung Komba.
Watu Susu Rongga
Sebagaimana telah dikisahkan sebelumnya, keberadaan Watu Susu Rongga mampu menjaga kelestarian mata air Wae Motu bagi ternak peliharaan masyarakat Rongga. Memelihara hewan merupakan salah satu mata pencaharian bagi masyarakat Rongga.Â
Hasil penjualan ternak biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka termasuk membiayai sekolah. Hal ini mau menegaskan bahwa kehidupan orang Rongga tidak bisa dipisahkan dari alam ciptaan Tuhan.Â
Keberadaan Watu Susu Rongga sangatlah penting bagi kehidupan orang Rongga. Watu Susu Rongga seperti "dua loh batu" yang diberikan Tuhan utntuk menjaga kehidupan bersama orang Rongga. Keberadaannya mampu menjaga kelestarian sumber mata air di sekitar gunung Komba.Â
Air yang mengalir dari gunung Komba mengandung cinta dan mengundang setiap ciptaan Tuhan untuk berbagi kasih dan kisah kehidupan. Banyak binatang dan tumbuhan yang datang merasakan kesegaran dari sumber mata air di sekitar Watu Susu Rongga.Â
Makna Watu Susu RonggaÂ
Watu Susu Rongga adalah "Air Susu" Orang Rongga. Air susu adalah produksi cinta yang dihasilkan oleh seorang ibu. Melaluinya mengalirlah kehidupan yang didasarkan pada cinta keibuan. Bumi selalu dipandang sebagai ibu. Merawat bumi berarti merawat ibu yang memiliki air susu kehidupan.
Tindakan merusak bumi adalah sebuah kekeliruan menangkap cinta seorang ibu. Maka, merusak Watu Susu Rongga artinya secara langsung menyayat "buah dada" seorang ibu yang selalu memberi air susu kehidupan.Â
Apakah kita rela menyakiti hati seorang ibu yang telah memberikan air susunya? Watu Susu Rongga sekarang ini mengalami duka seorang ibu. Banyak pohon ditebang dan banyak binatang diburu. Jika tindakan ini dilakukan maka harmoni cinta yang dilagukan oleh alam dari suara binatang, pohon, dan bunyi aliran air akan kembali pada malam gelap dan sepi bersama tiga pemuda Rongga yang menggotong dua batu menuju gunung Komba.
Ada ketakutan di masa depan bahwa Watu Susu Rongga tidak akan menjadi "Air Susu" Orang Rongga terutama ketika ada tangan yang merusak bukan merawat dan menjaganya.
Ibu selalu menangis karena perbuatan kita saat ini. Dia takut bahwa air susunya akan kering ketika anak dan cucunya dilahirkan. Demikian juga Watu Susu Rongga akan hilang jika kita sekarang dan saat ini tidak mampu menjaga dan melestarikannya secara bijak.Â
Keberadaan Watu Susu Rongga menjadi benteng perkasa yang mampu menangkis arus perkembangan zaman yang semakin pesat agar generasi kita tidak tercerabut dari akar kebudayaan peninggalan nenek moyang.
Semuanya menjadi mungkin jika generasi zaman ini mampu menunjukkan rasa kepemilikan yang besar akan alam ciptaan Tuhan. Kita semua adalah ibu yang akan memberikan "air susu" bagi anak cucu di masa depan.
* Informasi seputar sejarah dan asal-usul dalam tulisan ini adalah hasil wawancara penulis dengan Bapak Blasius Jehamat yang saat ini menjadi staf pengajar di SMP Katolik Wae Mokel, Waelengga, Manggarai Timur. Tulisan ini sudah diterbitkan di Majalah Skolastikat Claretian Yogyakarta, CANDELA, No. 33, Th XXI, Ags-Des 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H