Tindakan merusak bumi adalah sebuah kekeliruan menangkap cinta seorang ibu. Maka, merusak Watu Susu Rongga artinya secara langsung menyayat "buah dada" seorang ibu yang selalu memberi air susu kehidupan.Â
Apakah kita rela menyakiti hati seorang ibu yang telah memberikan air susunya? Watu Susu Rongga sekarang ini mengalami duka seorang ibu. Banyak pohon ditebang dan banyak binatang diburu. Jika tindakan ini dilakukan maka harmoni cinta yang dilagukan oleh alam dari suara binatang, pohon, dan bunyi aliran air akan kembali pada malam gelap dan sepi bersama tiga pemuda Rongga yang menggotong dua batu menuju gunung Komba.
Ada ketakutan di masa depan bahwa Watu Susu Rongga tidak akan menjadi "Air Susu" Orang Rongga terutama ketika ada tangan yang merusak bukan merawat dan menjaganya.
Ibu selalu menangis karena perbuatan kita saat ini. Dia takut bahwa air susunya akan kering ketika anak dan cucunya dilahirkan. Demikian juga Watu Susu Rongga akan hilang jika kita sekarang dan saat ini tidak mampu menjaga dan melestarikannya secara bijak.Â
Keberadaan Watu Susu Rongga menjadi benteng perkasa yang mampu menangkis arus perkembangan zaman yang semakin pesat agar generasi kita tidak tercerabut dari akar kebudayaan peninggalan nenek moyang.
Semuanya menjadi mungkin jika generasi zaman ini mampu menunjukkan rasa kepemilikan yang besar akan alam ciptaan Tuhan. Kita semua adalah ibu yang akan memberikan "air susu" bagi anak cucu di masa depan.
* Informasi seputar sejarah dan asal-usul dalam tulisan ini adalah hasil wawancara penulis dengan Bapak Blasius Jehamat yang saat ini menjadi staf pengajar di SMP Katolik Wae Mokel, Waelengga, Manggarai Timur. Tulisan ini sudah diterbitkan di Majalah Skolastikat Claretian Yogyakarta, CANDELA, No. 33, Th XXI, Ags-Des 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H