Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luka dan Senja di Tanjung Bendera Waelenggaku

18 Mei 2019   09:18 Diperbarui: 18 Mei 2019   09:39 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara kakek terus berkisah, "Di ujung tanjung itu, kukibarkan bendera harapan. Tempat yang sangat bersejarah bagiku. Mata ini melihat peristiwa kelam yang mengubur duka. Mataku tidak sebesar dan sekuat saat ini untuk melihatnya. 

Kala itu kapal bertuliskan "Bendera" tenggelam persis di ujung tanjung itu. Perlahan dia terkubur arus lautan. Laut menjadi rahim tanpa kasih. Suara tangis minta tolong dihempas ombak di bibir pantai."

Kejadiaan itu persis di depan aku. Tak ada orang selain aku yang menyaksikan peristiwa itu. Laut memang kejam. Kapal besar itu seketika hilang disapu gelombang. Tragis dan tak bisa dipercaya. Aku menyaksikan lambaian tangan dari orang terakhir di kapal itu. Aku hanya terpaku pada ketakutan. Tiang pengibar bendera menjadi penanda jejak dari persemayaman terakhir kapal Bendera. 

Kerbau gembalaan, kubiarkan berkeliaran. Aku bergegas memacu laju kuda. Padang sabana Ma'u Sui yang indah menjadi mimpi burukku. Kusapu bentangan alam dengan tetesan air mata. Jejak kaki kuda menikam jiwaku. Desahan nafasnya menggetarkan jatungku. 

"Alam engkau begitu kejam. Apakah engkau lebih besar dari pada Allah? Allah yang menghidupkan manusia, mengapa engkau mengambil kehidupan itu? Tuhan, apakah engkau takut pada alam sehingga mereka merebut hakmu atas hidup dan mati manusia? Ah, Tuhan untuk saat ini, maaf aku tak berpikir bahwa engkau ada," kisah nenek sambil meneteskan air mata.

Jarak sepuluh kilo ditembuh dalam durasi lima belas menit. Bruno, kuda kesayanganku merasakan pukulan yang sama. Dia merasakan duka yang tertanam di jiwaku. Bukit, rimba, bebatuan tidak mampu melunturkan semangatnya. Sejuta langkah kakinya tidak mampu memindahkan pikiranku tentang kapal Bendera itu. 

Aku meneteskan air mata bersama luir kuda kesayangan yang menyaksikan peristiwa itu.

"Kapal Bendera, mengapa engkau mati di tanahku? Engkau menjadi tumbal dari kutuk nenek moyangku. Dalam upacara adat di kampungku, terbingkis dalam kata tua adat bahwa akan ada musibah. Apakah engkau memenuhi nubuat itu? Tidak. Engkau bukan bagian dari suku kami. 

Nenek moyangku tidak adil jika kutuk dijatuhkan kepada orang yang tidak bersalah. Peristiwa ini meragukan kepercayaanku akan peristiwa adat nenek moyang," gulatnya dalam hati.

Air matanya semakin menganak sungai. Aku berusaha untuk tidak larut dalam kesedihan.

"Pian, terkadang peristiwa adat di kampung mengikis kepercayaan kita pada Tuhan. Kalau memang percaya Tuhan, mengapa ritual adat di kampung membuka sebuah aib yang tak bisa dihindari. Mana yang lebih berkuasa atas hidup ini, Tuhan atau nenek moyang? Percuma kakek beriman Katolik dari kecil jika adat yang menentukan akhir hidup kita. Namun, dalam keraguan ini imanku pada Tuhan semakin kuat. Kakek meyakini di balik peristiwa, ada pesan yang disampaikan Tuhan," ungkapnya yakin. 

"Pian, apakah kamu masih ingin mendengar?" tanya kakek.

Sambil tersenyum aku menjawad, "Masih kek. Aku masuk dalam suasana hati kakek. Teruskan ceritanya, kek."

Tangan keriput menghapus air mata sejarah yang keluar dari pelupuk matanya. Aku merasakan kengerian yang mendalam di hatinya. Sekujur tubuhnya gemetar. Mulutnya tidak dapat melantunkan lagi litani sedih di masa kecilnya. 

Aku sadar pundaknya yang kian keropos telah memikul sejarah besar di kampungku, Waelengga. Dia seorang saksi sejarah yang hidup dari kisah orang mati di Tanjung Bendera. Matanya yang rabun terpancar cahaya terang dari jiwa yang bangkit. 

Kakek menarik bantal kepalaku. Dia meletangkan badan persis di sampingku. Mataku memandang dalam wajahnya yang keriput. Kupenggang tangannya penuh cinta. Membekas di telapak tangannya sebuah tali kekang kuda. Aku tahu kakekku seorang joki kuda yang handal di kampungku. Dari tangan inilah pacuan lari kuda menghebohkan warga kampung. 

"Bagaimana kisah selanjutnya, kek?" tanyaku mengejar.

"Hmm...sampai di mana tadi, ya?" dia balik bertanya.

Aku sadar ingatan kakek mulai melemah. Kini, dia berusia sembilan puluh dua tahun. Usianya boleh bertambah, namun potongan kisahnya tentang kapal Bendera itu, tetap membekas. Aku mengerti bahwa kisah itu telah menjadi bagian dari hidupnya. Dialah saksi sejarah yang menyimpan duka. Potongan-potongan kisah yang keluar dari mulutnya adalah nafas yang mengekang jantung tuk berdetak. 

Kakek kembali melanjutkan ceritanya. Tangan kanannya melingkar di kepalaku. Dia menyentuh rambutku dengan lembut.

Kakek melanjutkan kisahnya, "Setelah tiba di kampung kakek menuju tua adat. Di hadapannya aku menyampaikan peristiwa yang baru saja terjadi. Karena hasutan beberapa orang dekat, tua adat tidak percaya dengan berita yang kusampaikan. Aku berusaha keras memberi kesaksian yang benar. Namun, semua orang yang berada di sekitarnya menatapku geram." 

"Mengapa mereka tidak percaya dengan kakek?" tanyaku penasaran.

"Pian, dulu pernah ada orang yang menyebarkan berita bohong di kampung. Katanya pondok adat di bawah kaki gunung Komba terbakar. Seluruh warga kampung memercayainya. Sejak berita itu beredar, semua orang beramai-ramai menuju pondok adat itu. Setelah tiba di sana mereka sangat marah," kakek menarik napasnya. 

"Apa yang terjadi?" kejarku sambil mengarahkan kepala kepadanya.

"Mereka telah ditipu. Sejak saat itu, setiap berita yang datang selalu dicermati, dilihat, dan diteliti dengan baik. Mereka tidak percaya pada kakek karena takut ditipu lagi. Mereka tahu kakek masih kecil. Seorang anak kecil tidak mungkin membawa berita besar apalagi berita tentang kapal yang tenggelam. Mustahil bagi mereka untuk percaya," ungkap kakek dengan sedikit marah," ungkapnya datar.

Berita bohong yang sering beredar akan mengaburkan sebuah peristiwa nyata. Kakek merasa bahwa peristiwa yang dia saksikan adalah sebuah khayalan semata. Kakek tidak sedang menonton film Titanic yang memiliki kemiripan kisah dengan kapal Bendera. 

Warga kampung tidak percaya dengan berita yang dia berikan. Belum lagi yang memberi informasi seorang anak kecil. Namun, warga kampung tidak berpikir bahwa seorang anak kecil sangat polos dalam memberi kesaksian. Kejujuran masih terjaga dalam diri seorang anak kecil. Sayangnya, kakek tidak merasakan hal itu.

"Lalu, bagaimana dengan nasib kapal Bendera, kek?" kesalku dalam hati.

"Pian. Aku marah namun kepada siapa. Semua orang tidak percaya. Aku merasa senang ketika seorang tua datang dari padang Ma'u Sui. Dia tidak banyak berbicara. Orang bisa mengerti dari benda yang dibawanya. Dia membawa perkakas rumah tangga. Ada sendok, piring, gelas, periuk dan beberapa mangkok," kisahnya dengan tenang.

"Apa reaksi orang-orang kampung?" aku semakin penasaran.

"Mereka bertanya kepada orang itu," kakek melanjutkan.

"Terus apa jawabannya?" kataku.

"Luka dan senja di Tanjung Bendera Waelenggaku," senyum kakek selepas melontarkan kata-kata itu.

Sekian!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun