Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luka dan Senja di Tanjung Bendera Waelenggaku

18 Mei 2019   09:18 Diperbarui: 18 Mei 2019   09:39 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pian, terkadang peristiwa adat di kampung mengikis kepercayaan kita pada Tuhan. Kalau memang percaya Tuhan, mengapa ritual adat di kampung membuka sebuah aib yang tak bisa dihindari. Mana yang lebih berkuasa atas hidup ini, Tuhan atau nenek moyang? Percuma kakek beriman Katolik dari kecil jika adat yang menentukan akhir hidup kita. Namun, dalam keraguan ini imanku pada Tuhan semakin kuat. Kakek meyakini di balik peristiwa, ada pesan yang disampaikan Tuhan," ungkapnya yakin. 

"Pian, apakah kamu masih ingin mendengar?" tanya kakek.

Sambil tersenyum aku menjawad, "Masih kek. Aku masuk dalam suasana hati kakek. Teruskan ceritanya, kek."

Tangan keriput menghapus air mata sejarah yang keluar dari pelupuk matanya. Aku merasakan kengerian yang mendalam di hatinya. Sekujur tubuhnya gemetar. Mulutnya tidak dapat melantunkan lagi litani sedih di masa kecilnya. 

Aku sadar pundaknya yang kian keropos telah memikul sejarah besar di kampungku, Waelengga. Dia seorang saksi sejarah yang hidup dari kisah orang mati di Tanjung Bendera. Matanya yang rabun terpancar cahaya terang dari jiwa yang bangkit. 

Kakek menarik bantal kepalaku. Dia meletangkan badan persis di sampingku. Mataku memandang dalam wajahnya yang keriput. Kupenggang tangannya penuh cinta. Membekas di telapak tangannya sebuah tali kekang kuda. Aku tahu kakekku seorang joki kuda yang handal di kampungku. Dari tangan inilah pacuan lari kuda menghebohkan warga kampung. 

"Bagaimana kisah selanjutnya, kek?" tanyaku mengejar.

"Hmm...sampai di mana tadi, ya?" dia balik bertanya.

Aku sadar ingatan kakek mulai melemah. Kini, dia berusia sembilan puluh dua tahun. Usianya boleh bertambah, namun potongan kisahnya tentang kapal Bendera itu, tetap membekas. Aku mengerti bahwa kisah itu telah menjadi bagian dari hidupnya. Dialah saksi sejarah yang menyimpan duka. Potongan-potongan kisah yang keluar dari mulutnya adalah nafas yang mengekang jantung tuk berdetak. 

Kakek kembali melanjutkan ceritanya. Tangan kanannya melingkar di kepalaku. Dia menyentuh rambutku dengan lembut.

Kakek melanjutkan kisahnya, "Setelah tiba di kampung kakek menuju tua adat. Di hadapannya aku menyampaikan peristiwa yang baru saja terjadi. Karena hasutan beberapa orang dekat, tua adat tidak percaya dengan berita yang kusampaikan. Aku berusaha keras memberi kesaksian yang benar. Namun, semua orang yang berada di sekitarnya menatapku geram." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun