"Mengapa mereka tidak percaya dengan kakek?" tanyaku penasaran.
"Pian, dulu pernah ada orang yang menyebarkan berita bohong di kampung. Katanya pondok adat di bawah kaki gunung Komba terbakar. Seluruh warga kampung memercayainya. Sejak berita itu beredar, semua orang beramai-ramai menuju pondok adat itu. Setelah tiba di sana mereka sangat marah," kakek menarik napasnya.Â
"Apa yang terjadi?" kejarku sambil mengarahkan kepala kepadanya.
"Mereka telah ditipu. Sejak saat itu, setiap berita yang datang selalu dicermati, dilihat, dan diteliti dengan baik. Mereka tidak percaya pada kakek karena takut ditipu lagi. Mereka tahu kakek masih kecil. Seorang anak kecil tidak mungkin membawa berita besar apalagi berita tentang kapal yang tenggelam. Mustahil bagi mereka untuk percaya," ungkap kakek dengan sedikit marah," ungkapnya datar.
Berita bohong yang sering beredar akan mengaburkan sebuah peristiwa nyata. Kakek merasa bahwa peristiwa yang dia saksikan adalah sebuah khayalan semata. Kakek tidak sedang menonton film Titanic yang memiliki kemiripan kisah dengan kapal Bendera.Â
Warga kampung tidak percaya dengan berita yang dia berikan. Belum lagi yang memberi informasi seorang anak kecil. Namun, warga kampung tidak berpikir bahwa seorang anak kecil sangat polos dalam memberi kesaksian. Kejujuran masih terjaga dalam diri seorang anak kecil. Sayangnya, kakek tidak merasakan hal itu.
"Lalu, bagaimana dengan nasib kapal Bendera, kek?" kesalku dalam hati.
"Pian. Aku marah namun kepada siapa. Semua orang tidak percaya. Aku merasa senang ketika seorang tua datang dari padang Ma'u Sui. Dia tidak banyak berbicara. Orang bisa mengerti dari benda yang dibawanya. Dia membawa perkakas rumah tangga. Ada sendok, piring, gelas, periuk dan beberapa mangkok," kisahnya dengan tenang.
"Apa reaksi orang-orang kampung?" aku semakin penasaran.
"Mereka bertanya kepada orang itu," kakek melanjutkan.
"Terus apa jawabannya?" kataku.
"Luka dan senja di Tanjung Bendera Waelenggaku," senyum kakek selepas melontarkan kata-kata itu.
Sekian!