"Kami hanya ingin memastikan bahwa adikku bisa keluar dan kembali berobat di rumah sakit," dia berharap.
"Aku bukan dokter. Aku buka psikolog. Jurusanku filsafat dan teologi. Aku Katolik. Aku Flores, NTT. Aku hitam dan keriting. Apa yang bisa diharapkan dariku? Dia cantik. Muslim. Jawa. Putih dan rambut halu. Dia seorang yang sangat sempurna," protesku dalam hati.
Saat tengah berbincang bersama sang kakak, aku mendengar bunyi kunci di kamar gadis muslim itu. Kakaknya kaget melihat hal itu. Ada tanda-tanda baik. Dalam hati aku berpikir inilah tanda penolakan yang paling nyata. Aku sedikit gugup dan perasaanku tidak tenang.
"Mas, maaf sebelumnya. Namanya siapa ya?" tanya sang kakak.
"Aku Aten, Mbak. Asalku Flores, NTT," jelasku.
"Oh, aku Nova," jawabnya.
***
Suasana rumah semakin sepi. Nova mengajak aku untuk mendekati gadis muslim itu. Saat hendak membuka pintu kamarnya, Nova berpesan untuk bersikap tenang. Aku gugup bukan main. Saat pintunya terbuka, aroma parfum menghiasi seisi ruangan. Semuanya tampak rapi. Aku dan Nova serentak kaget. Apakah ini pertanda baik? Aku tak tahu.
Gadis muslim itu tengah duduk di meja belajarnya. Dia menghadap jendela melihat pemandangan indah area persawahan. Dia sepertinya sudah pulih dan sehat.
"Rahma, ini Mas Aten. Dia yang akan membawa kamu ke rumah sakit," ungkap Nova.
Dia tak memalingkan wajahnya. Aku merasa gugup. Apakah dia menolak aku? Pertanyaan demi pertanyaan kembali mengotori otakku. Aku harus kuat menghadapi seorang yang sedang sakit. Ada sesuatu yang disembunyikan Nova dan Rahma. Hal itu terlihat dari senyum manis mereka. Aku takut mereka hanya akan mempermalukanku.