"Susah Mbak. Masyarakat di sini biasanya menggunakan mobil pribadi. Taxi dan angkutan kota dilarang masuk di kompleks ini. Jika ingin menghubungi angkot harus berjalan lima kilo menuju pinggiran," terangku seadanya.
Aku melihat ada yang lain di matanya. Harapannya sirna saat mendengar penjelasanku. Dia seperti putus harapan. Aku menaruh iba padanya. Dia sepertinya menginginkan bantuan. Aku lalu menjadi tak tenang melihat tingkahnya.
"Ada apa Mbak? Apakah ada yang bisa dibantu?" aku kembali bertanya.
"Gak apa-apa Mas. Aku hanya butuh angkotan kok," terangnya sambil sedikit tersenyum.
"Mbak, jika memang Mbak tak keberatan aku bisa membantu. Kebetulan vespa tuaku lagi kosong. Mbak bisa menggunakannya. Atau jika Mbak mau aku bisa menghantar hingga keluar kompleks ini. Nanti akan ada angkot yang bisa ditumpangi," terangku sembari menawarkan bantuan.
Aku melihat dia sedikit tersenyum. Ada harapan di matanya. Dia kembali dan mengiakan apa yang aku tawarkan. Kami menuju rumahnya. Dia tinggal jauh di dekat masjid. Saat memasuki rumahnya aku merasakan sesuatu yang berbeda. Firasatku mengitari kelapa dan hatiku.
"Mari Mas. Silahkan masuk," tawarnya.
Aku masuk dan menduduki sebuah kursi empuk. Aku dikagetkan dengan sebuah foto. Gadis muslim yang mengambil sebagian hidupku beberapa bulan lalu berdiri berjejeran bersama seisi rumah ini. Gadis muslim yang bersamaku adalah kakak dari wanita itu. Jantungku berdetak cepat. Hatiku kembali merasakan sesuatu yang berbeda.
"Begini Mas. Adikku mengalami kecelakaan saat hendak berkumpul bersama keluarga. Dia kuliah di Jakarta. Saat itu dia diserempet oleh bus transjakarta. Dia kini seperti kehilangan hidup. Dia tidak ingin dirawat oleh siapa pun. Kami kehilangan cara untuk membawanya ke rumah sakit. Untuk keluar dari kamarnya sangat susah. Dia mengalami dilema dan stres yang akut," terangnya sambil meletakkan minuman di atas meja.
Aku hanya bisa mendengar kisah kakak sang gadis muslim itu. Dia mengalami peristiwa yang membuatnya kehilangan harapan. Inilah situasi yang sulit baginya dan secara khusus bagiku. Jika dengan keluarga dia menolak apalagi dengan aku?
"Terus apa yang akan aku lakukan, Mbak?" aku bertanya dalam kebingungan.