Artikel ditulis oleh Sirilus Gonsi
Tradisi bertani berkaitan dengan mata pencaharian hidup. Tradisi bertani dari kata tradisi dan bertani. Tradisi dalam kamus besar bahasa indonesia berarti adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.Â
Tradisi juga diartikan  penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Sedangkan bertani berarti bercocok tanam; mengusahakan tanah dengan tanam-menanam. Tradisi bertani maksudnya kebiasaan bercocok tanam yang dilakukan secara turun temurun.
Sistem mata pencaharian hidup merupakan salah satu unsur dalam budaya yang mengupas tentang kebiasaan hidup sebuah masyarakat budaya. Sistem mata pencaharian hidup merupakan Cara yang dilakukan sekelompok masyarakat sebagai kegiatan keseharian guna mengupayakan pemenuhan kebutuhan hidup dan menjadi pokok penghidupan baginya.
Manggarai merupakan salah satu daerah yang didiami oleh orang-orang dengan berbagai jenis mata pencaharian hidup masyarakatnya. Pertanian adalah salah satu mata pencaharian yang banyak digeluti oleh orang-orang Manggarai.Â
Pertanian merupakan usaha pengolahan tanah untuk pembudidayaan tanaman pangan. Pertanian yang ada di Manggarai seperti pengolahan persawahan, perladangan dan perkebunan. Perkebunan berkaitan dengan penanaman tanaman  seperti cengkeh, kopi, vanili, kemiri, kakao dan berbagai jenis tanaman perdagangan lainnya.
Sebagai sebuah masyarakat berkebudayaan, Manggarai memiliki sistem pertanian yang unik dan menarik. Tradisi bertani yang unik ini tergambar dalam model pembagian tanah dengan sistem lodok dan cara kerja dodo.Â
Dodo merupakan cara kerja secara gotong royong. Dodo merupakan tradisi bertani sebagai bentuk kerja sama yang dilakukan secara bersama-sama dan juga merupakan strategi dalam pola hidup bersama yang saling meringankan beban masing-masing pekerjaan.
Gotong royong bagi orang manggarai disebut dodo. Dodo adalah cara bekerja yang dilakukan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama. Dodo dalam mengerjakan sawah, kebun merupakan cara kerja yang sifatnya sukarela agar kegiatan yang dikerjakan mudah dan ringan.
Proses kerja dodo seperti berikut ini. Alo, Bone, Markuh, dan Rikuh adalah masyarakat petani yang mengerjakan sawah. Hari senin misalnya Alo, Bone, Markuh dan Rikuh bekerja di sawah milik Alo. Mereka berempat bekerja  sama untuk meringankan kerja sawahnya Alo.Â
Hari selasa atau juga hari lainnya, mereka berempat secara bersama-sama juga bekerja di sawah milik Bone. Begitu juga dengan sawah milik Markuh dan Rikuh, mereka mengerjakannya secara sama-sama. Proses kerja dodo ini melalui kesepakatan bersama antara para pekerja. Kesepakatan terkait hari kerja dan jumlah hari untuk bekerja.
Proses kerja dodo merupakan buah kesadaran akan pentingnya kehadiran orang lain dalam hidup bersama. Proses kerja dodo adalah proses kerja dalam kebersamaan dan selalu berhubungan dengan cara kerja petani. Karena itu, dodo selalu berhubungan dengan masyarakat agraris. Gotong royong atau dodo dalam masyarakat manggarai adalah proses kerja sama yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat  sebagai petani pada masyarakat agraris.
Dodo adalah tradisi bertani pada masyarakat manggarai yang sifatnya gotong royong. Tradisi bertani ini  mesti memiliki spirit dempul wuku tela tuni. Dempul (tumpul), wuku (kuku), tela (terbelah-belah), tuni (punggung).Â
Jadi, secara harafiah ungkapan dempul wuku tela tuni  berarti tumpul kuku, terbelah-belah punggung, atau kukumu menjadi tumpul, punggungmu terbelah/kulitmu pecah.  Tumpul kukunya karena kerja keras, terbelah-belah punggungnya karena panas terik matahari.
Dumpul wuku tela tuni adalah falsafah hidup bagi seorang petani dalam tradisi bertani. Dempul wuku tela tuni merupakan falsafah yang memberi motivasi kerja untuk seorang petani, sehingga ia rajin bekerja.Â
Bagi orang manggarai bekerja  mesti menggunakan tangan dan berjemur di bawah terik matahari. Dempul wuku tela tuni merupakan falsafah yang menjadi spirit dalam bekerja keras untuk mencapai hidup yang baik.
Istilah dempul wuku sering digunakan oleh masyarakat manggarai  untuk pekerja wanita. Dalam tradisi bertani di manggarai, wanita sering identik dengan kerja menyiang rumput di sawah dan ladang, menanam padi di sawah dan menanam serta memelihara sayur.Â
Sudah barang pasti bahwa dalam melakukan pekerjaan ini jemari tangan dan kuku jari akan bersentuhan langsung dengan tanah. Akibatnya adalah kuku akan kotor dan patah. Apabila kuku tangan seorang perempuan yang kerjanya bertani bersih dan panjang, berarti perempuan itu dianggap tidak bisa bekerja dan malas bekerja.
Istilah tela tuni digunakan masyarakat manggarai untuk memggambarkan kerja keras dan rajin bekerja bagi seorang petani lelaki. Tradisi bertani di manggarai membagikan kerja yang sifatnya kasar dan membutuhkan banyak tenaga dan energi mesti dilakukan oleh laki-laki. Â
Lelaki yang mengerjakan kebun, baik sejak membuka hutan, menanam maupun saat memetik hasilnya dan memikul hasil kerja ke rumah. Pelaksanaan membuka hutan untuk dijadikan kebun biasanya dilakukan pada bulan-bulan panas sehingga punggung seperti terbakar, kehitam-hitaman dan terbelah-belah. Telapak tangan biasanya terbelah-belah dan kasar.Â
Kerja yang sifatnya kasar seperti membajak sawah, mengangkat dan mengangkut dilakukan laki-laki. Bahkan kerja menjadi pengrajin dan penyadap nira dan tuak dilakukan laki-laki.
Dempul wuku tela tuni merupakan falsafah hidup yang memberikan gambaran betapa pentingnya bekerja untuk bisa hidup. Ajaran sosial gereja lebih memusatkan perhatiannya tentang makna kerja manusia. Kerja merupakan tindakan khas manusia.Â
Dengan bekerja, manusia menyadari diri sebagai makhluk yang mampu mengembangkan diri, mampu membawa perubahan, baik pada skala kecil maupun pada dunia yang lebih luas. Melalui bekerja, orang mempertahankan hidupnya, melayani kebutuhan sesama dan dirinya.
Dempul wuku tela tuni adalah falsafah yang mampu memberikan perintah dalam proses pengembangan diri manusia dalam aktus bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa Kerja merupakan salah satu bentuk pengaktualisasian diri manusia. Dengan bekerja manusia berusaha untuk menggunakan segal potensi yang ada dalam dirinya.Â
Melalui kerja manusia menggunakan segala kemampuan dan kekuatannya demi meningkatkan harkat dan martabat dan lebih jauh demi memenuhi nafkah hidup sehari-hari. Kerja dilihat sebagai sesuatu yang melekat dalam diri manusia.Â
Falsafah dempul wuku tela tuni (kerja keras/rajin), manusia akan mampu memperoleh harta yang berharga dan bisa menimbun kekayaan. Dempul wuku tela tuni adalah semboyan yang mengajarkan manusia untuk bekerja keras untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan. Â
Spirit dempul wuku tela tuni sudah melekat dalam tradisi bertani orang manggarai. Falsafah dempul wuku tela tuni  menjadikan orang manggarai menjadi pekerja Karas yang tangguh, ulet dan rajin, serta bertanggung jawab dalam bekerja. Model kerja keras ini sepertinya mencontohi cara kerja laba-laba yang tekun dan ulet membangun jaring-jaringnya. Â
Spirit kerja sama dalam dodo, untuk mengolah tanah pertanian yang berbentuk lodok menjadikan petani manggarai tekun dalam bekerja. Pembagian moho (jatah/bagian yang didapatkan setiap warga) dalam lingko (tanah ulayat) Â yang berbentuk lodok (pembagian tanah menyerupai jaring Laba-laba) merupakan bentuk tradisi pertanian yang menarik dan unik.Â
Lodok merupakan titik pusat dari lingko. Secara sederhanyanya, lodok dipahami sebagai pusat lingko, yaitu areal kebun ataupun sawah yang bentuknya sebuah bundaran.
Tanah-tanah adat di Manggarai disebut lingko, yang dibagi kepada warga dengan sistim lodok atau juga dikenal dengan pembagian sawah dengan sistem jaring laba-laba.Â
Dari sisi sosial dan budaya, lodok berarti persatuan dalam satu kampung dalam hal pembagian tanah yang berdasarkan status sosial warganya. Lodok adalah sistem pembagian tanah lingko (lahan komunal milik sebuah kampung) yang dibuat menyerupai jaring laba-laba raksasa.
Menurut Adi M. Nggoro dalam bukunya Budaya Manggarai Selayang Pandang mengatakan bahwa di Manggarai untuk tanah ulayat itu digunakan istilah lingko. Menggarap tanah ulayat (lingko) dikenal dengan istilah tente teno. Tente Teno dari kata tente dan teno.Â
Tente artinya tanam, menanam dan teno artinya nama sejenis kayu yaitu kayu teno. Tente teno artinya membuka kebun bundar/kebun ulayat baru oleh sekelompok masyarakat atau suatu warga kampung yang dipimpin oleh tua teno (kepala pembagian tanah ulayat). Sinonim  kata tente teno adalah lodok uma weru (membuka kebun bundar baru/membuka tanah ulayat baru).
Bagi Adi M. Nggoro lodok artinya titik star bagi tanah, tempat sentral tanah ulayat (lingko). Di lodok inilah diadakan tente teno. Hanya satu lodok untuk satu tanah ulayat. Lodok merupakan semacam pilar star bagi tanah ulayat. Lodok letaknya di sentral area tanah ulayat, diharapkan panjang/luas ukuran tanah pembagian setiap orang diupayakan sama ukurannya atau hampir sama.
Petani Manggarai bekerja dan menggarap tanah yang menjadi miliknya dan telah dibagikan kepadanya oleh tua teno. Teknik pengolahan lahan pertanian yang diterapkan  bersifat sederhana dengan mekanisme pengolahan terpola sesuai kebiasaan yang sudah menjadi tradisi leluhur. Karakteristik sistem pertanian yang digeluti orang-orang Manggarai  dengan pengolahan sawah, ladang, dan perkebunan.
Dalam laman kotakreatif.kemenparekraf.go.id menjelaskan sejarah awal pertanian Manggarai. Mengutip laman ini bahwa sejarah pertanian Manggarai dimulai sejak kedatangan Kraeng Mashur Nera Beang Bombang Palapa atau lebih dikenal Mashur pada pertengahan abad XVII. Dami N. Toda dalam buku Manggarai Mencari Pencerahan menyebut Mashur sebagai bapak pertanian bagi masyarakat todo yang dikatakan sebagai penduduk asli.Â
Melalui Raja Wunut sistem persawahan mulai diterapkan di Todo setelah dia mempelajari sistem persawahan yang ada di Bima. Sejak sistem persawahan dipraktikkan di Todo, kemudian menyebar ke Manggarai secara luas hingga sekarang.
Pengolahan pertanian dari yang tradisional menuju sistem pengolahan modern sudah berkembang di Manggarai. Untuk konteks Nusa Tenggara Timur (NTT), Manggarai merupakan daerah penyedia beras untuk beberapa kabupaten di NTT. Hasil lain juga berupa tanaman pertanian.
Tradisi pertanian di Manggarai kini menuai persoalan. Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, dunia pertanian kini tidak lagi menarik perhatian generasi muda Manggarai. Laman sunspiritforjusticeandpeace.org memaparkan secara rinci hasil penelitian tentang pertanian dan orang muda di Manggarai, Flores. Â
Secara ringkas hasil penelitian ini menemukan bahwa dunia pertanian tidak sanggup lagi menarik perhatian orang muda dan hanya tersisa petani-petani tua yang bertahan menggarap lahan pertanian. Harga produk pertanian yang tidak stabil, lahan yang semakin terbatas, tenggang waktu panen yang lama merupakan faktor pemicu menurunnya minat orang muda untuk bertani.
Dalam mengaktualisasi potensi dalam bekerja, orang muda mamggarai lebih memilih profesi sebagai tukang ojek, sopir dan pekerjaan lain seperti pelayan toko dan lain sebagainya. Sedikit saja orang muda yang bertani. Fakta lainnya adalah banyak orang muda manggarai yang memilih merantau ketimbang mengolah lahan pertanian. Data menurunnya minat kaum muda dalam bidang pertanian mempengaruhi spirit tradisi  bertani dalam falsafah dempul wuku tela tuni.
Dempul wuku tela tuni hanya sebagai falsafah yang cocok bagi generasi tua, sebab hanya generasi tua yang masih menghidupkan tradisi bertani. Padahal dalam tradisi bertani Manggarai ada keyakinan bahwa untuk mencapai kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan, manusia mesti tekun dalam bekerja. Â Manusia harus bekerja keras dengan semboyan dempul wuku tela tuni.
Falsafah dempul wuku tela tuni kontekstual dalam kaitan dengan etos dan semangat kerja. Karena itu falsafah dempul wuku tela tuni merupakan spirit dan motivasi serta dorongan untuk bekerja keras di bidang apa saja umumnya dan tradisi bertani khususnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H