Mohon tunggu...
atanera de gonsi
atanera de gonsi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Bertani dengan Spirit Dempul Wuku Tela Tuni

3 April 2023   21:47 Diperbarui: 3 April 2023   22:18 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dengan bekerja, manusia menyadari diri sebagai makhluk yang mampu mengembangkan diri, mampu membawa perubahan, baik pada skala kecil maupun pada dunia yang lebih luas. Melalui bekerja, orang mempertahankan hidupnya, melayani kebutuhan sesama dan dirinya.

Dempul wuku tela tuni adalah falsafah yang mampu memberikan perintah dalam proses pengembangan diri manusia dalam aktus bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa Kerja merupakan salah satu bentuk pengaktualisasian diri manusia. Dengan bekerja manusia berusaha untuk menggunakan segal potensi yang ada dalam dirinya. 

Melalui kerja manusia menggunakan segala kemampuan dan kekuatannya demi meningkatkan harkat dan martabat dan lebih jauh demi memenuhi nafkah hidup sehari-hari. Kerja dilihat sebagai sesuatu yang melekat dalam diri manusia. 

Falsafah dempul wuku tela tuni (kerja keras/rajin), manusia akan mampu memperoleh harta yang berharga dan bisa menimbun kekayaan. Dempul wuku tela tuni adalah semboyan yang mengajarkan manusia untuk bekerja keras untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan.  

Spirit dempul wuku tela tuni sudah melekat dalam tradisi bertani orang manggarai. Falsafah dempul wuku tela tuni  menjadikan orang manggarai menjadi pekerja Karas yang tangguh, ulet dan rajin, serta bertanggung jawab dalam bekerja. Model kerja keras ini sepertinya mencontohi cara kerja laba-laba yang tekun dan ulet membangun jaring-jaringnya.  

Spirit kerja sama dalam dodo, untuk mengolah tanah pertanian yang berbentuk lodok menjadikan petani manggarai tekun dalam bekerja. Pembagian moho (jatah/bagian yang didapatkan setiap warga) dalam lingko (tanah ulayat)  yang berbentuk lodok (pembagian tanah menyerupai jaring Laba-laba) merupakan bentuk tradisi pertanian yang menarik dan unik. 

Lodok merupakan titik pusat dari lingko. Secara sederhanyanya, lodok dipahami sebagai pusat lingko, yaitu areal kebun ataupun sawah yang bentuknya sebuah bundaran.

Tanah-tanah adat di Manggarai disebut lingko, yang dibagi kepada warga dengan sistim lodok atau juga dikenal dengan pembagian sawah dengan sistem jaring laba-laba. 

Dari sisi sosial dan budaya, lodok berarti persatuan dalam satu kampung dalam hal pembagian tanah yang berdasarkan status sosial warganya. Lodok adalah sistem pembagian tanah lingko (lahan komunal milik sebuah kampung) yang dibuat menyerupai jaring laba-laba raksasa.

Menurut Adi M. Nggoro dalam bukunya Budaya Manggarai Selayang Pandang mengatakan bahwa di Manggarai untuk tanah ulayat itu digunakan istilah lingko. Menggarap tanah ulayat (lingko) dikenal dengan istilah tente teno. Tente Teno dari kata tente dan teno. 

Tente artinya tanam, menanam dan teno artinya nama sejenis kayu yaitu kayu teno. Tente teno artinya membuka kebun bundar/kebun ulayat baru oleh sekelompok masyarakat atau suatu warga kampung yang dipimpin oleh tua teno (kepala pembagian tanah ulayat). Sinonim  kata tente teno adalah lodok uma weru (membuka kebun bundar baru/membuka tanah ulayat baru).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun