Bagi Adi M. Nggoro lodok artinya titik star bagi tanah, tempat sentral tanah ulayat (lingko). Di lodok inilah diadakan tente teno. Hanya satu lodok untuk satu tanah ulayat. Lodok merupakan semacam pilar star bagi tanah ulayat. Lodok letaknya di sentral area tanah ulayat, diharapkan panjang/luas ukuran tanah pembagian setiap orang diupayakan sama ukurannya atau hampir sama.
Petani Manggarai bekerja dan menggarap tanah yang menjadi miliknya dan telah dibagikan kepadanya oleh tua teno. Teknik pengolahan lahan pertanian yang diterapkan  bersifat sederhana dengan mekanisme pengolahan terpola sesuai kebiasaan yang sudah menjadi tradisi leluhur. Karakteristik sistem pertanian yang digeluti orang-orang Manggarai  dengan pengolahan sawah, ladang, dan perkebunan.
Dalam laman kotakreatif.kemenparekraf.go.id menjelaskan sejarah awal pertanian Manggarai. Mengutip laman ini bahwa sejarah pertanian Manggarai dimulai sejak kedatangan Kraeng Mashur Nera Beang Bombang Palapa atau lebih dikenal Mashur pada pertengahan abad XVII. Dami N. Toda dalam buku Manggarai Mencari Pencerahan menyebut Mashur sebagai bapak pertanian bagi masyarakat todo yang dikatakan sebagai penduduk asli.Â
Melalui Raja Wunut sistem persawahan mulai diterapkan di Todo setelah dia mempelajari sistem persawahan yang ada di Bima. Sejak sistem persawahan dipraktikkan di Todo, kemudian menyebar ke Manggarai secara luas hingga sekarang.
Pengolahan pertanian dari yang tradisional menuju sistem pengolahan modern sudah berkembang di Manggarai. Untuk konteks Nusa Tenggara Timur (NTT), Manggarai merupakan daerah penyedia beras untuk beberapa kabupaten di NTT. Hasil lain juga berupa tanaman pertanian.
Tradisi pertanian di Manggarai kini menuai persoalan. Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, dunia pertanian kini tidak lagi menarik perhatian generasi muda Manggarai. Laman sunspiritforjusticeandpeace.org memaparkan secara rinci hasil penelitian tentang pertanian dan orang muda di Manggarai, Flores. Â
Secara ringkas hasil penelitian ini menemukan bahwa dunia pertanian tidak sanggup lagi menarik perhatian orang muda dan hanya tersisa petani-petani tua yang bertahan menggarap lahan pertanian. Harga produk pertanian yang tidak stabil, lahan yang semakin terbatas, tenggang waktu panen yang lama merupakan faktor pemicu menurunnya minat orang muda untuk bertani.
Dalam mengaktualisasi potensi dalam bekerja, orang muda mamggarai lebih memilih profesi sebagai tukang ojek, sopir dan pekerjaan lain seperti pelayan toko dan lain sebagainya. Sedikit saja orang muda yang bertani. Fakta lainnya adalah banyak orang muda manggarai yang memilih merantau ketimbang mengolah lahan pertanian. Data menurunnya minat kaum muda dalam bidang pertanian mempengaruhi spirit tradisi  bertani dalam falsafah dempul wuku tela tuni.
Dempul wuku tela tuni hanya sebagai falsafah yang cocok bagi generasi tua, sebab hanya generasi tua yang masih menghidupkan tradisi bertani. Padahal dalam tradisi bertani Manggarai ada keyakinan bahwa untuk mencapai kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan, manusia mesti tekun dalam bekerja. Â Manusia harus bekerja keras dengan semboyan dempul wuku tela tuni.
Falsafah dempul wuku tela tuni kontekstual dalam kaitan dengan etos dan semangat kerja. Karena itu falsafah dempul wuku tela tuni merupakan spirit dan motivasi serta dorongan untuk bekerja keras di bidang apa saja umumnya dan tradisi bertani khususnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H