Dalam analisis dekonstruksi Derrida, lirik ini mengandung ambiguitas makna dan membangun oposisi biner antara "yang layak" dan "yang tidak layak." Frasa tersebut secara tidak langsung memperkuat hierarki sosial dengan mengesankan bahwa hanya mereka yang mampu menghadapi tantanganlah yang berhak menjadi bagian dari "masa depan emas." Sebaliknya, mereka yang kesulitan dianggap tidak layak atau bahkan tidak relevan dalam narasi ini, yang dapat memperkuat marginalisasi sosial (Anderson, 1991). Selain itu, pesan ini seolah-olah menyiratkan kemalasan dalam mencari solusi. Dengan kata lain, bukannya menawarkan strategi untuk mengatasi kesulitan, lirik ini justru menghindarinya dengan cara mengeluarkan mereka yang dianggap tidak mampu dari wacana politik. Hal ini membuka ruang kritik bahwa narasi tersebut tidak hanya mengandung eksklusi sosial, tetapi juga gagal memberikan visi yang inklusif dan merangkul semua lapisan masyarakat.
Dan lirik lain nya yaitu: "Pasangan dua tuh kebal serangan" mencerminkan strategi narasi yang menciptakan oposisi biner antara pasangan calon sebagai pihak yang "kebal" dan lawan politik sebagai "penyerang." Dalam konteks ini, pasangan Prabowo-Gibran diposisikan sebagai sosok yang tahan terhadap berbagai bentuk serangan, baik kritik maupun isu politik lainnya. Namun, konstruksi ini mengaburkan realitas politik yang lebih kompleks, dimana dinamika antar aktor politik seringkali melibatkan dialog, negosiasi, serta adu argumen yang substansial, bukan sekadar tindakan menyerang atau bertahan. Lebih jauh, frasa ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya melegitimasi narasi kekebalan mutlak pasangan calon, seolah-olah mereka mampu menangkal segala serangan dengan "menghalalkan" berbagai cara. Ini membuka ruang bagi kritik bahwa narasi semacam ini berpotensi mengesampingkan transparansi dan akuntabilitas politik. Dalam perspektif dekonstruksi Derrida, oposisi biner antara "kebal" dan "penyerang" ini mengandung ambiguitas makna. Ketika pasangan Prabowo-Gibran diklaim kebal, apakah ini menunjukkan kekuatan sejati atau hanya sekedar ilusi retorika yang dirancang untuk membangun citra kuat di mata publik? Selain itu, klaim "kebal serangan" juga berpotensi menggambarkan superioritas yang kontradiktif. Di satu sisi, mereka memposisikan diri sebagai pihak yang tidak tersentuh; di sisi lain, pernyataan ini justru mengindikasikan kerentanan terhadap kritik dan serangan jika narasi ini gagal diimplementasikan dalam kenyataan. Dengan demikian, narasi ini tidak hanya mengaburkan realitas politik tetapi juga membuka celah untuk mempertanyakan keaslian citra yang dibangun melalui lirik tersebut.
Oposisi Biner dalam Narasi Kampanye
Derrida mengajarkan bahwa oposisi biner dalam teks menciptakan hierarki makna yang tidak selalu terlihat jelas. Dalam lagu "Oke Gas," kita menemukan beberapa oposisi biner yang menarik:Â
1)Â Optimisme vs Pesimisme: Lagu ini jelas memihak optimisme, tetapi mengabaikan kompleksitas kritik atau tantangan yang dihadapi masyarakat. Siapa pun yang tidak sejalan dengan narasi ini dianggap bagian dari masalah, bukan solusi.Dalam lirik seperti "Kita pastikan pilihan menuju masa depan," ada semangat kepercayaan diri yang mengesankan. Namun, optimisme ini bersifat satu arah, tidak membuka ruang bagi refleksi kritis. Misalnya, apa yang terjadi jika masa depan tidak sebaik yang diharapkan? Bagaimana pasangan calon ini akan menghadapi tantangan sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks? Oposisi biner ini menciptakan ilusi bahwa hanya ada dua pilihan: mendukung visi mereka atau dianggap sebagai penghalang perubahan. Dalam dekonstruksi, Derrida menyoroti bahwa oposisi semacam ini sering kali menutupi kekayaan makna di balik teks, membuat audiens melihat dunia dalam kerangka hitam putih yang sederhana. Selain itu, dengan memusatkan narasi pada optimisme, lagu ini secara efektif menutupi atau mengabaikan kritik. Padahal, kritik bukanlah bentuk pesimisme, melainkan bagian dari dinamika demokrasi yang sehat. Dalam hal ini, oposisi biner Optimisme vs Pesimisme memperlihatkan kecenderungan wacana politik untuk menghapus ruang dialog. Mereka yang mempertanyakan klaim atau kebijakan pasangan calon ini dapat dengan mudah dilabeli sebagai "pihak pesimis," sehingga suara kritis kehilangan legitimasi.Â
Bagi audiens, oposisi ini menciptakan tekanan sosial untuk memihak optimisme. Mereka yang bersikap kritis mungkin merasa teralienasi atau bahkan disalahkan atas ketidakmampuan untuk melihat "masa depan emas." Padahal, optimisme semacam ini sering kali bersifat abstrak dan tidak terukur. Menurut Derrida, hierarki makna dalam oposisi ini memperkuat dominasi salah satu pihak sambil merendahkan yang lain, yang pada akhirnya memperkuat kekuasaan narasi dominan dalam teks. Dalam dekonstruksi Derrida, tugas kita bukan hanya mengungkap hierarki ini, tetapi juga membuka ruang bagi makna alternatif yang lebih inklusif. Dalam konteks lagu "Oke Gas," hal ini berarti mengakui bahwa optimisme tanpa refleksi kritis berpotensi menutupi realitas yang lebih kompleks dan menyulitkan masyarakat untuk melihat tantangan serta solusi secara menyeluruh.
2) Kerja Nyata vs Janji Manis: Lirik ini menempatkan pasangan calon sebagai pihak yang "bekerja nyata" sementara lawan mereka hanya memberikan "janji manis." Oposisi ini bermasalah karena tidak ada parameter konkret yang mendefinisikan kerja nyata maupun janji manis. Derrida mengajarkan bahwa oposisi biner tidak hanya menciptakan perbedaan, tetapi juga hierarki. Dalam hal ini, "kerja nyata" diposisikan lebih tinggi daripada "janji manis," sehingga pasangan calon otomatis dianggap lebih kredibel daripada lawan mereka. Padahal, tanpa bukti nyata atau evaluasi kritis, hierarki ini hanyalah konstruksi retorika yang memperkuat dominasi satu narasi atas narasi lain. Oposisi biner ini mempersempit ruang diskusi politik.Â
Dengan menyudutkan lawan politik sebagai pengumbar janji manis, lirik ini mengabaikan kemungkinan adanya kebijakan atau rencana dari pihak lain yang sebenarnya bermanfaat. Di sisi lain, tanpa bukti konkret, klaim "kerja nyata" pasangan calon juga rentan terhadap kritik. Oposisi ini mengarahkan audiens untuk menerima klaim secara pasif tanpa mempertanyakan validitasnya. Dekonstruksi Derrida mengajarkan kita untuk membongkar hierarki ini dan melihat kemungkinan makna yang tersembunyi. Dalam konteks lagu "Oke Gas," ini berarti mengakui bahwa kerja nyata dan janji manis sebenarnya saling terkait. Kerja nyata tidak mungkin terjadi tanpa janji awal, sementara janji politik hanya bermakna jika diiringi dengan realisasi. Dekonstruksi ini membuka ruang untuk melihat politik secara lebih holistik, di mana semua pihak dapat dimintai pertanggungjawaban atas klaim mereka. Dengan mendekonstruksi oposisi ini, kita tidak hanya memahami bagaimana retorika politik bekerja, tetapi juga mengingatkan bahwa istilah-istilah semacam ini perlu dilihat secara kritis. Seperti kata Derrida, makna tidak pernah tunggal atau tetap; ia selalu berubah-ubah tergantung pada konteks dan siapa yang menggunakannya.
3) Masa Depan Emas vs Hidup Sulit: Lirik ini menciptakan dualisme antara visi masa depan yang cerah dan kehidupan yang sulit. Namun, dalam realitas sosial, transisi dari "hidup sulit" ke "masa depan emas" tidaklah sederhana dan sering kali membutuhkan kebijakan yang lebih inklusif. Frasa "masa depan emas" memproyeksikan visi optimis tentang kemajuan dan kemakmuran. Namun, visi ini sering kali bersifat abstrak dan tidak memberikan gambaran konkret tentang apa yang dimaksud dengan "emas." Apakah ini merujuk pada pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, atau keberlanjutan lingkungan? Ambiguitas ini membuka ruang bagi interpretasi yang luas, sekaligus menutupi tantangan besar yang harus dihadapi untuk mencapainya. Dalam konteks politik, istilah seperti "masa depan emas" seringkali digunakan untuk membangun harapan tanpa menawarkan peta jalan yang jelas. Derrida akan menyebut ini sebagai permainan tanda (play of signifiers), di mana makna terus bergeser tanpa pernah mencapai kepastian. Dalam hal ini, "masa depan emas" menjadi semacam janji kosong yang sulit untuk diverifikasi atau diukur keberhasilannya.Â
Di sisi lain, "hidup sulit" digunakan sebagai antitesis dari "masa depan emas." Frasa ini secara implisit mengacu pada kondisi kehidupan yang kurang ideal, tetapi tidak ada penjelasan tentang siapa yang dimaksud dengan "hidup sulit." Apakah ini merujuk pada kelompok miskin, kelas pekerja, atau masyarakat marginal? Lebih jauh, lirik "hidup yang sulit silakan pamit" membawa nuansa eksklusi sosial. Frasa ini menyiratkan bahwa mereka yang hidup dalam kesulitan dianggap tidak layak atau tidak relevan dalam visi masa depan pasangan calon. Sebuah pertanyaan penting muncul: Apakah hidup yang sulit dapat begitu saja "pamit" tanpa kebijakan yang inklusif, seperti peningkatan akses pendidikan, perbaikan layanan kesehatan, atau kebijakan redistribusi ekonomi? Dalam realitas sosial, transisi dari "hidup sulit" ke "masa depan emas" tidak pernah linier. Perubahan tersebut membutuhkan perencanaan strategis yang mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Lirik ini, dengan menyederhanakan proses tersebut, cenderung mengabaikan dinamika kompleks yang terjadi di masyarakat.
Derrida mengajarkan bahwa oposisi biner tidak hanya membagi dunia menjadi dua kutub yang berlawanan, tetapi juga menciptakan hierarki. Dalam hal ini, "masa depan emas" diposisikan sebagai superior, sedangkan "hidup sulit" dianggap inferior. Hierarki ini memperkuat narasi dominan bahwa pasangan calon adalah solusi tunggal untuk keluar dari kesulitan, sekaligus mengabaikan peran masyarakat dalam menciptakan perubahan. Lebih jauh, oposisi ini mengaburkan kenyataan bahwa "masa depan emas" tidak bisa berdiri sendiri tanpa mengatasi masalah "hidup sulit." Derrida akan menyarankan untuk membongkar hierarki ini dan melihat hubungan timbal balik antara kedua konsep. Dalam hal ini, kita perlu bertanya: Bagaimana visi "masa depan emas" dapat dicapai jika masalah "hidup sulit" tidak diatasi terlebih dahulu?