Mohon tunggu...
Ata Fudholi
Ata Fudholi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie

Do it yourself

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Suatu Analisis Dekonstruksi dalam Lagu "Oke-Gas" Kubu Prabowo-Gibran

7 Januari 2025   18:36 Diperbarui: 7 Januari 2025   18:36 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam setiap perhelatan politik, kampanye selalu menjadi ajang unjuk kreativitas. Dari baliho raksasa hingga postingan media sosial, strategi kampanye terus berkembang mengikuti zaman. Dengan berkembangnya politik modern, salah satu bentuk kampanye yang semakin populer adalah penggunaan musik, yang konon telah menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan pesan dan membangun citra kandidat. Sejak lama, musik telah menjadi bagian integral dari kampanye politik di berbagai belahan dunia. Lagu-lagu seperti; "Yes We Can" oleh William, yang terinspirasi dari pidato Obama, lagu ini melibatkan sejumlah artis terkenal dan menjadi ikon kampanye "Hope and Change", atau seperti lagu "Happy" oleh Pharrell Williams yang digunakan oleh Clinton untuk mencerminkan optimisme kampanye, meskipun tanpa izin dari artisnya dalam kampanye nya, sampai lagu "You Can't Always Get What You Want" nya Rolling Stones yang sering dimainkan di acara kampanye Trump meskipun artisnya menentang penggunaannya. 

Di Indonesia sendiri, penggunaan lagu dalam konteks politik semakin populer, tidak hanya sebagai bentuk hiburan, tetapi juga sebagai alat mobilisasi massa yang sangat efektif. Pada Pemilu 2024, fenomena ini kembali mencuat melalui lagu seperti "Oke Gas" yang dipopulerkan oleh salah satu kubu kandidat presiden, yaitu kubu Prabowo Subianto. Dengan melodi yang mudah diingat dan lirik yang penuh semangat, lagu ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga alat politik untuk memobilisasi emosi dan mendekatkan kandidat kepada masyarakat. Dalam politik, penggunaan jingle hingga lagu sangatlah lumrah untuk dipakai sebagai strategi kampanye, selain bisa menjadi media yang efektif untuk membangun identitas politik seorang kandidat, lagu pun juga bisa memfasilitasi koneksi yang lebih dalam dengan para pemilih; baik kalangan tua, muda, hingga anak-anak, walaupun kalangan muda adalah sasaran empuk, yang secara behaviour lebih senang mengkonsumsi hal-hal yang menurut mereka menarik dan asyik. Ketika anak muda dirangkul dengan pendekatan musik yang asyik, besar peluang pasangan calon akan meraup banyak suara dari kalangan muda.

Sebelum bicara jauh tentang lagu Oke Gas dan bagaimana lagu ini menjadi strategi kampanye politik, ada baiknya kita mengenal siapa sosok dibalik lagu itu, adalah Richard Jersey, pemuda 27 tahun asal Talaud, Manado, Sulawesi Utara, yang berhasil mengenalkan dirinya dalam perhelatan politik kemarin dengan lagu Oke Gas. Sebelum akhirnya Richard bergabung dan berkolaborasi menjadi Tim Kampanye Nasional (TKN) kubu Prabowo, lagu Oke Gas versi pertama, sebenarnya dipertunjukan untuk lagu bagi para rapper-rapper diluar sana yang merasa dikucilkan, hingga dianggap kampungan, agar kedepannya bisa "Gas!". Kejelian TKN kubu Prabowo dalam mengamati linimasa perlu diapresiasi, setelah mereka mengetahui lagu Oke Gas versi pertama ini viral, mereka langsung bergerak cepat untuk menghubungi Richard, dan kini menjadi lagu resmi kampanye Prabowo. Richard kemudian membuat lagu berjudul "Oke Gas Prabowo Gibran Paling Pas", versi kedua, yang sesuai dengan perjuangan kubu Prabowo.  

Lebih luas, penggunaan musik dalam politik bukan tanpa kritik. Pendekatan seperti ini seringkali mengorbankan substansi politik demi popularitas semata, yang dapat menimbulkan risiko terhadap kualitas demokrasi (Ellul, 1965). Lagu seperti "Oke Gas" memunculkan pertanyaan penting: apakah musik ini sekadar propaganda emosional tanpa substansi, ataukah benar-benar mencerminkan visi dan misi kandidat? Apakah pesan yang disampaikan melalui liriknya relevan dengan kebutuhan masyarakat, atau hanya menciptakan narasi semu untuk menarik simpati? Tak hanya itu, lagu ini juga menggarisbawahi bagaimana budaya populer---termasuk musik---dipolitisasi di era digital. Dengan penyebaran melalui platform seperti TikTok dan YouTube, lagu politik tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan pesan, tetapi juga menciptakan branding dan viralitas. Hal ini menempatkan musik politik dalam posisi unik sebagai alat kampanye yang menggabungkan hiburan dan persuasi politik. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis bagaimana lagu ini membangun narasi politiknya, serta sejauh mana ia menciptakan legitimasi atau justru menjadi propaganda dangkal. 

Ketika musik bertemu politik, pesan yang disampaikan sering kali lebih dari sekadar hiburan, selalu dan lagi-lagi punya kepentingan di baliknya. Lagu "Oke Gas" yang menjadi bagian dari kampanye politik pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, adalah bukti bagaimana seni menjadi alat pembentukan wacana. Melalui pendekatan dekonstruksi Jacques Derrida, kita dapat menggali lebih dalam tentang makna di balik lirik tersebut, terutama mengenai ambiguitas makna dan oposisi biner yang mungkin tersembunyi. Musik, sebagai produk budaya, memiliki kekuatan besar dalam membangun imajinasi sosial dan politik. Namun, Derrida dalam konsep dekonstruksinya berpendapat bahwa teks tidak pernah memiliki makna tunggal karena sifat bahasa yang cair dan sarat kontradiksi (Derrida, 1976). Hal ini membuat lirik lagu seperti "Oke Gas" menjadi subjek yang menarik untuk di-dekonstruksi, guna mengungkap ambiguitas dan pertentangan tersembunyi di dalamnya. Dekonstruksi adalah metode filosofis yang mempertanyakan interpretasi teks atau sejarah yang bersifat dominan atau konvensional, serta menolak gagasan tentang kebenaran yang absolut atau tunggal. 

Selain sebagai perspektif filosofis, dekonstruksi juga mencakup gerakan akademis dan politik yang pada prakteknya menambah kerumitan dalam membedakan berbagai alternatif yang tersedia (Benjamin, 2013). Proses ini berfokus pada membongkar suatu hal ke dalam komponen-komponennya untuk memahami maknanya secara mendalam, terutama ketika terdapat perbedaan atau penyimpangan dari penafsiran yang telah ada sebelumnya. Singkatnya, Dekonstruksi oleh Derrida, adalah metode untuk membedah teks, membongkar struktur dan hierarki maknanya. 

Dalam konteks lagu kampanye politik, pendekatan ini relevan karena bahasa dalam politik sering kali digunakan untuk menciptakan narasi tertentu yang mendukung kekuasaan atau tujuan ideologis. Pemikiran Derrida berpusat pada gagasan bahwa bahasa bersifat tidak teratur dan maknanya selalu berubah, sehingga tidak mungkin untuk menetapkannya secara pasti. Dengan demikian, makna dianggap tidak stabil, tidak pasti, sementara, dan terus mengalami penundaan. Dekonstruksi sendiri adalah pendekatan intelektual yang berakar dari pandangan postmodern (Mendie and Udofia, 2020). Bahasa, menurut Derrida, memiliki sifat diferensial---selalu menunda makna final. Hal ini karena kata-kata dalam teks bergantung pada konteks yang terus berubah (Derrida, 1976). Dalam kasus lagu "Oke Gas," lirik yang tampaknya sederhana dapat menyimpan berbagai lapisan makna dan kontradiksi, yang mencerminkan realitas sosial dan politik yang kompleks.

Ambiguitas Makna dalam Lirik "Oke Gas" 

Mari kita lihat beberapa lirik kunci dalam lagu ini: "Kerja nyata paling jelas, berjuang tanpa batas." Sekilas, frasa ini menonjolkan optimisme dan kepercayaan diri pasangan calon, dengan klaim tentang "kerja nyata." Namun, jika kita dekonstruksi, makna dari "kerja nyata" sendiri menjadi sangat ambigu. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan "kerja nyata"? Apakah istilah ini merujuk pada proyek pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, atau pencapaian kebijakan tertentu? Ataukah, seperti banyak slogan politik lainnya, ia hanya menjadi ungkapan retoris tanpa ukuran konkret atau bukti substansial? Ambiguitas makna ini membuka ruang untuk berbagai interpretasi. Bisa jadi, lirik ini sengaja dirancang untuk memberikan kesan bahwa kubu Prabowo-Gibran adalah satu-satunya pihak yang mampu melakukan "kerja nyata." Dalam konteks politik kompetitif, narasi semacam ini berfungsi membangun oposisi biner: pasangan calon mereka digambarkan sebagai pihak yang "nyata," sementara pihak lain diasosiasikan dengan janji kosong atau tindakan yang tidak signifikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah klaim "kerja nyata" ini berdasar pada pencapaian faktual atau sekadar strategi komunikasi politik untuk mengukuhkan citra? Selain itu, klaim "berjuang tanpa batas" juga memiliki elemen retorika yang mengaburkan realitas politik. Dalam praktiknya, batas-batas perjuangan selalu ada, baik itu dalam bentuk kendala anggaran, hambatan birokrasi, atau dinamika politik yang kompleks. 

Dengan mengklaim "tanpa batas," lirik ini mengangkat ekspektasi yang mungkin sulit diwujudkan, sehingga berpotensi menciptakan kekecewaan di kemudian hari ketika batasan-batasan tersebut mulai terlihat. Dalam konteks politik Indonesia, istilah seperti "kerja nyata" sering kali menjadi jargon yang sulit diverifikasi dan cenderung digunakan untuk membangun citra positif tanpa substansi mendalam (Sulistyo, 2020). Pendekatan ini memperkuat kritik bahwa politik elektoral di Indonesia masih sangat retoris, dengan fokus pada membangun persepsi publik ketimbang menawarkan solusi konkret. Dalam dekonstruksi Derrida, keambiguan semacam ini mencerminkan bagaimana makna tidak pernah final dan terus berubah sesuai dengan konteks dan interpretasi audiens. Hal ini membuka ruang bagi kritik terhadap strategi komunikasi politik yang lebih berfokus pada membangun ilusi kesempurnaan ketimbang menghadirkan kejujuran.

Lirik selanjutnya ialah; "Hidup yang sulit, silakan pamit" Kalimat ini secara eksplisit memproyeksikan optimisme, tetapi sekaligus mengandung eksklusi sosial. Siapa yang dimaksud dengan "hidup yang sulit"? Dan mengapa mereka harus "pamit"? Dalam realitas sosial, tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap "masa depan emas" yang dijanjikan. Dari lirik ini juga, dengan sadar, berhasil menyepelekan suatu hal tertentu, apa sebenarnya tujuan "yang sulit silahkan pamit", apa ini tanda bahwa kedepan nya, kesulitan-kesulitan hanya mempunyai satu solusi yaitu "pamit"? ada kesan yang ditinggalkan bahwa, hal-hal yang akan dirasa "sulit", sebaiknya, dan mending pamit saja. Terdengar seperti kemalasan dalam mencari solusi. Ambiguitas makna dalam lirik ini menguatkan gagasan tentang oposisi antara "yang layak" dan "yang tidak layak," memperkuat hierarki sosial yang implisit (Anderson, 1991). 

Dalam analisis dekonstruksi Derrida, lirik ini mengandung ambiguitas makna dan membangun oposisi biner antara "yang layak" dan "yang tidak layak." Frasa tersebut secara tidak langsung memperkuat hierarki sosial dengan mengesankan bahwa hanya mereka yang mampu menghadapi tantanganlah yang berhak menjadi bagian dari "masa depan emas." Sebaliknya, mereka yang kesulitan dianggap tidak layak atau bahkan tidak relevan dalam narasi ini, yang dapat memperkuat marginalisasi sosial (Anderson, 1991). Selain itu, pesan ini seolah-olah menyiratkan kemalasan dalam mencari solusi. Dengan kata lain, bukannya menawarkan strategi untuk mengatasi kesulitan, lirik ini justru menghindarinya dengan cara mengeluarkan mereka yang dianggap tidak mampu dari wacana politik. Hal ini membuka ruang kritik bahwa narasi tersebut tidak hanya mengandung eksklusi sosial, tetapi juga gagal memberikan visi yang inklusif dan merangkul semua lapisan masyarakat.

Dan lirik lain nya yaitu: "Pasangan dua tuh kebal serangan" mencerminkan strategi narasi yang menciptakan oposisi biner antara pasangan calon sebagai pihak yang "kebal" dan lawan politik sebagai "penyerang." Dalam konteks ini, pasangan Prabowo-Gibran diposisikan sebagai sosok yang tahan terhadap berbagai bentuk serangan, baik kritik maupun isu politik lainnya. Namun, konstruksi ini mengaburkan realitas politik yang lebih kompleks, dimana dinamika antar aktor politik seringkali melibatkan dialog, negosiasi, serta adu argumen yang substansial, bukan sekadar tindakan menyerang atau bertahan. Lebih jauh, frasa ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya melegitimasi narasi kekebalan mutlak pasangan calon, seolah-olah mereka mampu menangkal segala serangan dengan "menghalalkan" berbagai cara. Ini membuka ruang bagi kritik bahwa narasi semacam ini berpotensi mengesampingkan transparansi dan akuntabilitas politik. Dalam perspektif dekonstruksi Derrida, oposisi biner antara "kebal" dan "penyerang" ini mengandung ambiguitas makna. Ketika pasangan Prabowo-Gibran diklaim kebal, apakah ini menunjukkan kekuatan sejati atau hanya sekedar ilusi retorika yang dirancang untuk membangun citra kuat di mata publik? Selain itu, klaim "kebal serangan" juga berpotensi menggambarkan superioritas yang kontradiktif. Di satu sisi, mereka memposisikan diri sebagai pihak yang tidak tersentuh; di sisi lain, pernyataan ini justru mengindikasikan kerentanan terhadap kritik dan serangan jika narasi ini gagal diimplementasikan dalam kenyataan. Dengan demikian, narasi ini tidak hanya mengaburkan realitas politik tetapi juga membuka celah untuk mempertanyakan keaslian citra yang dibangun melalui lirik tersebut.

Oposisi Biner dalam Narasi Kampanye

Derrida mengajarkan bahwa oposisi biner dalam teks menciptakan hierarki makna yang tidak selalu terlihat jelas. Dalam lagu "Oke Gas," kita menemukan beberapa oposisi biner yang menarik: 

1) Optimisme vs Pesimisme: Lagu ini jelas memihak optimisme, tetapi mengabaikan kompleksitas kritik atau tantangan yang dihadapi masyarakat. Siapa pun yang tidak sejalan dengan narasi ini dianggap bagian dari masalah, bukan solusi.Dalam lirik seperti "Kita pastikan pilihan menuju masa depan," ada semangat kepercayaan diri yang mengesankan. Namun, optimisme ini bersifat satu arah, tidak membuka ruang bagi refleksi kritis. Misalnya, apa yang terjadi jika masa depan tidak sebaik yang diharapkan? Bagaimana pasangan calon ini akan menghadapi tantangan sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks? Oposisi biner ini menciptakan ilusi bahwa hanya ada dua pilihan: mendukung visi mereka atau dianggap sebagai penghalang perubahan. Dalam dekonstruksi, Derrida menyoroti bahwa oposisi semacam ini sering kali menutupi kekayaan makna di balik teks, membuat audiens melihat dunia dalam kerangka hitam putih yang sederhana. Selain itu, dengan memusatkan narasi pada optimisme, lagu ini secara efektif menutupi atau mengabaikan kritik. Padahal, kritik bukanlah bentuk pesimisme, melainkan bagian dari dinamika demokrasi yang sehat. Dalam hal ini, oposisi biner Optimisme vs Pesimisme memperlihatkan kecenderungan wacana politik untuk menghapus ruang dialog. Mereka yang mempertanyakan klaim atau kebijakan pasangan calon ini dapat dengan mudah dilabeli sebagai "pihak pesimis," sehingga suara kritis kehilangan legitimasi. 

Bagi audiens, oposisi ini menciptakan tekanan sosial untuk memihak optimisme. Mereka yang bersikap kritis mungkin merasa teralienasi atau bahkan disalahkan atas ketidakmampuan untuk melihat "masa depan emas." Padahal, optimisme semacam ini sering kali bersifat abstrak dan tidak terukur. Menurut Derrida, hierarki makna dalam oposisi ini memperkuat dominasi salah satu pihak sambil merendahkan yang lain, yang pada akhirnya memperkuat kekuasaan narasi dominan dalam teks. Dalam dekonstruksi Derrida, tugas kita bukan hanya mengungkap hierarki ini, tetapi juga membuka ruang bagi makna alternatif yang lebih inklusif. Dalam konteks lagu "Oke Gas," hal ini berarti mengakui bahwa optimisme tanpa refleksi kritis berpotensi menutupi realitas yang lebih kompleks dan menyulitkan masyarakat untuk melihat tantangan serta solusi secara menyeluruh.

2) Kerja Nyata vs Janji Manis: Lirik ini menempatkan pasangan calon sebagai pihak yang "bekerja nyata" sementara lawan mereka hanya memberikan "janji manis." Oposisi ini bermasalah karena tidak ada parameter konkret yang mendefinisikan kerja nyata maupun janji manis. Derrida mengajarkan bahwa oposisi biner tidak hanya menciptakan perbedaan, tetapi juga hierarki. Dalam hal ini, "kerja nyata" diposisikan lebih tinggi daripada "janji manis," sehingga pasangan calon otomatis dianggap lebih kredibel daripada lawan mereka. Padahal, tanpa bukti nyata atau evaluasi kritis, hierarki ini hanyalah konstruksi retorika yang memperkuat dominasi satu narasi atas narasi lain. Oposisi biner ini mempersempit ruang diskusi politik. 

Dengan menyudutkan lawan politik sebagai pengumbar janji manis, lirik ini mengabaikan kemungkinan adanya kebijakan atau rencana dari pihak lain yang sebenarnya bermanfaat. Di sisi lain, tanpa bukti konkret, klaim "kerja nyata" pasangan calon juga rentan terhadap kritik. Oposisi ini mengarahkan audiens untuk menerima klaim secara pasif tanpa mempertanyakan validitasnya. Dekonstruksi Derrida mengajarkan kita untuk membongkar hierarki ini dan melihat kemungkinan makna yang tersembunyi. Dalam konteks lagu "Oke Gas," ini berarti mengakui bahwa kerja nyata dan janji manis sebenarnya saling terkait. Kerja nyata tidak mungkin terjadi tanpa janji awal, sementara janji politik hanya bermakna jika diiringi dengan realisasi. Dekonstruksi ini membuka ruang untuk melihat politik secara lebih holistik, di mana semua pihak dapat dimintai pertanggungjawaban atas klaim mereka. Dengan mendekonstruksi oposisi ini, kita tidak hanya memahami bagaimana retorika politik bekerja, tetapi juga mengingatkan bahwa istilah-istilah semacam ini perlu dilihat secara kritis. Seperti kata Derrida, makna tidak pernah tunggal atau tetap; ia selalu berubah-ubah tergantung pada konteks dan siapa yang menggunakannya.

3) Masa Depan Emas vs Hidup Sulit: Lirik ini menciptakan dualisme antara visi masa depan yang cerah dan kehidupan yang sulit. Namun, dalam realitas sosial, transisi dari "hidup sulit" ke "masa depan emas" tidaklah sederhana dan sering kali membutuhkan kebijakan yang lebih inklusif. Frasa "masa depan emas" memproyeksikan visi optimis tentang kemajuan dan kemakmuran. Namun, visi ini sering kali bersifat abstrak dan tidak memberikan gambaran konkret tentang apa yang dimaksud dengan "emas." Apakah ini merujuk pada pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, atau keberlanjutan lingkungan? Ambiguitas ini membuka ruang bagi interpretasi yang luas, sekaligus menutupi tantangan besar yang harus dihadapi untuk mencapainya. Dalam konteks politik, istilah seperti "masa depan emas" seringkali digunakan untuk membangun harapan tanpa menawarkan peta jalan yang jelas. Derrida akan menyebut ini sebagai permainan tanda (play of signifiers), di mana makna terus bergeser tanpa pernah mencapai kepastian. Dalam hal ini, "masa depan emas" menjadi semacam janji kosong yang sulit untuk diverifikasi atau diukur keberhasilannya. 

Di sisi lain, "hidup sulit" digunakan sebagai antitesis dari "masa depan emas." Frasa ini secara implisit mengacu pada kondisi kehidupan yang kurang ideal, tetapi tidak ada penjelasan tentang siapa yang dimaksud dengan "hidup sulit." Apakah ini merujuk pada kelompok miskin, kelas pekerja, atau masyarakat marginal? Lebih jauh, lirik "hidup yang sulit silakan pamit" membawa nuansa eksklusi sosial. Frasa ini menyiratkan bahwa mereka yang hidup dalam kesulitan dianggap tidak layak atau tidak relevan dalam visi masa depan pasangan calon. Sebuah pertanyaan penting muncul: Apakah hidup yang sulit dapat begitu saja "pamit" tanpa kebijakan yang inklusif, seperti peningkatan akses pendidikan, perbaikan layanan kesehatan, atau kebijakan redistribusi ekonomi? Dalam realitas sosial, transisi dari "hidup sulit" ke "masa depan emas" tidak pernah linier. Perubahan tersebut membutuhkan perencanaan strategis yang mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Lirik ini, dengan menyederhanakan proses tersebut, cenderung mengabaikan dinamika kompleks yang terjadi di masyarakat.

Derrida mengajarkan bahwa oposisi biner tidak hanya membagi dunia menjadi dua kutub yang berlawanan, tetapi juga menciptakan hierarki. Dalam hal ini, "masa depan emas" diposisikan sebagai superior, sedangkan "hidup sulit" dianggap inferior. Hierarki ini memperkuat narasi dominan bahwa pasangan calon adalah solusi tunggal untuk keluar dari kesulitan, sekaligus mengabaikan peran masyarakat dalam menciptakan perubahan. Lebih jauh, oposisi ini mengaburkan kenyataan bahwa "masa depan emas" tidak bisa berdiri sendiri tanpa mengatasi masalah "hidup sulit." Derrida akan menyarankan untuk membongkar hierarki ini dan melihat hubungan timbal balik antara kedua konsep. Dalam hal ini, kita perlu bertanya: Bagaimana visi "masa depan emas" dapat dicapai jika masalah "hidup sulit" tidak diatasi terlebih dahulu?

Dalam realitas sosial, banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk keluar dari kesulitan. Misalnya, akses terhadap pendidikan dan pelatihan kerja, stabilitas politik, serta kebijakan ekonomi yang pro-rakyat. Dengan menampilkan narasi yang seolah-olah sederhana, lirik ini mengabaikan fakta bahwa perubahan membutuhkan usaha kolektif yang melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh ketidakmerataan akses terhadap fasilitas dasar seperti air bersih dan listrik. Jika visi "masa depan emas" tidak menyentuh isu-isu ini, maka narasi tersebut hanya akan menjadi slogan kosong yang gagal menghadirkan solusi nyata.

Dekonstruksi Derrida mengingatkan kita bahwa makna selalu bersifat ambigu dan tidak stabil. Dalam konteks lagu Oke Gas, "masa depan emas" dan "hidup sulit" bukanlah dua hal yang sepenuhnya terpisah. Sebaliknya, keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi. Dengan membongkar oposisi biner ini, kita dapat memahami bahwa solusi untuk kesulitan hidup tidak cukup hanya dengan janji masa depan yang cerah, tetapi juga membutuhkan langkah konkret yang dapat diukur dan dievaluasi. Lirik ini, ketika dilihat melalui lensa dekonstruksi, bukan hanya soal membangun harapan, tetapi juga soal bagaimana narasi politik dapat menyederhanakan kompleksitas sosial. Dengan demikian, kritik terhadap oposisi biner ini bukan hanya soal retorika, tetapi juga soal tanggung jawab politik dalam menghadirkan visi yang realistis dan inklusif.

Kesimpulan

Dekonstruksi terhadap lirik "Oke Gas" membuka peluang untuk membaca ambiguitas dan kontradiksi yang tersembunyi. Misalnya, klaim tentang "kerja nyata" dapat dipertanyakan melalui realitas statistik: apakah indikator sosial seperti tingkat pengangguran atau akses pendidikan telah menunjukkan perubahan signifikan di bawah kebijakan pasangan calon ini? Selain itu, lirik seperti "Hidup yang sulit, silakan pamit" dapat dikritik sebagai narasi yang tidak inklusif. Dalam demokrasi yang sehat, visi politik seharusnya mencakup semua kalangan, termasuk mereka yang "hidup sulit." Eksklusi seperti ini justru bertentangan dengan prinsip keadilan sosial (Habermas, 1984).

Dekonstruksi terhadap lagu "Oke Gas" penting karena kampanye politik saat ini semakin memanfaatkan medium budaya populer untuk menyampaikan pesan mereka. Dengan membedah teks melalui pendekatan Derrida, kita dapat mengungkap bagaimana narasi politik dibangun, sekaligus menilai sejauh mana pesan-pesan ini mencerminkan realitas sosial. Pendekatan ini juga menawarkan wawasan baru bagi masyarakat untuk memahami retorika politik secara lebih kritis. Alih-alih menerima pesan kampanye secara harfiah, dekonstruksi mendorong kita untuk mempertanyakan apa yang tersembunyi di balik slogan dan jargon politik.

Lirik lagu "Oke Gas" adalah contoh bagaimana bahasa digunakan untuk menciptakan narasi politik yang tampaknya sederhana, tetapi sebenarnya sarat dengan ambiguitas dan kontradiksi. Dengan pendekatan dekonstruksi Derrida, kita dapat membongkar lapisan-lapisan makna dalam teks ini, mengungkap oposisi biner, dan mempertanyakan klaim yang disampaikan. Dalam konteks kampanye politik Indonesia, analisis semacam ini sangat relevan untuk menciptakan masyarakat yang lebih kritis dan sadar terhadap wacana yang mereka konsumsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun