Mohon tunggu...
Asyifa Imanda
Asyifa Imanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - ~

Mahasiswa S3 di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Mencegah Teknologi Pengenalan Emosi Menjasi Pseudo-science

20 Desember 2021   09:34 Diperbarui: 20 Desember 2021   09:40 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Oleh: Asyifa Imanda Septiana, Meza Silvana, Novia Sari, Dimitri Mahayana

Saat ini, teknologi face recognition (pengenalan wajah) sudah banyak dikembangkan, seperti pada lembaga penegak hukum yang menggunakan face recognition untuk menjaga masyarakat lebih aman, bisnis ritel untuk mencegah kejahatan dan kekerasan dan pada bandara untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan wisatawan. Selain itu, perusahaan telepon seluler juga menggunakan face recognition untuk memberikan lapisan keamanan biometrik baru pada konsumen.

Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) dan National Institute of Standards and Technology mulai meluncurkan program Face Recognition Technology (FERET) pada tahun 1990-an untuk mendorong pasar koersial face recognition. Proyek ini melibatkan pembuatan database gambar wajah. Basis data telah diperbarui pada tahun 2003 untuk menyertakan versi gambar berwarna 24-bit beresolusi tinggi. Termasuk dalam set tes adalah 2.413 gambar wajah diam yang mewakili 856 orang. Harapannya adalah database besar gambar uji untuk pengenalan wajah akan dapat menginspirasi inovasi, yang mungkin menghasilkan teknologi pengenalan wajah yang lebih kuat.

Selain itu, emotion recognition (pengenalan emosi) termasuk salah satu dari banyak teknologi pengenalan wajah yang telah berkembang selama bertahun-tahun. Saat ini, perangkat lunak pengenalan emosi wajah digunakan untuk memungkinkan program tertentu memeriksa dan memproses ekspresi wajah manusia. Menggunakan dispensasi gambar tingkat lanjut, software ini berfungsi seperti otak manusia yang membuatnya mampu mengenali emosi juga.

Saat ini, pengenalan emosi digunakan untuk berbagai tujuan yang beberapa orang bahkan tidak menyadarinya setiap hari, seperti security measure di sekolah dan institusi lain karena dapat membantu mencegah kekerasan dan meningkatkan keamanan suatu tempat secara keseluruhan. Asisten HR pada perusahaan untuk membantu dalam menentuan apakah kandidat jujur dan benar-benar tertarik dengan posisi tersebut dengan mengevaluasi intonasi, dan ekspresi wajah. Customer service yaitu memasang kamera dengan AI pada pusat pelayanan pelanggan sehingga emosi pelanggan dapat dibandingkan sebelum dan sesuadah masuk ke dalam pusat layanan untuk menentukan seberapa puas mereka dengan layangan yang mereka terima. Jika ada skor yang rendah, sistem dapat menyarankan karyawan untuk meningkatkan kualitas layanan. Selain itu pada anak disabilitas dengan proyek menggunakan sistem kacamata pintar yang bertujuan untuk membantu anak-anak autis menafsirkan perasaan orang-orang di sekitar mereka. Ketika seorang anak berinteraksi dengan orang lain, petunjuk tentang emosi orang lain diberikan menggunakan grafik dan suara. Pada bidang kesehatan, motion recognition digunakan untuk mengetahui apakah pasien membutuhkan obat atau agar dokter tahu siapa yang harus diprioritaskan untuk dilihat atau diperiksa terlebih dahulu.

Sama seperti teknologi lain yang berkembang, pengenalan emosi tidak sempurna dan memiliki batasan dan tantangan [1]. Salah satu tantangannya adalah bahwa kumpulan data diberi label oleh orang-orang, dan orang yang berbeda dapat membaca dan menafsirkan emosi dengan cara yang berbeda. Juga, beberapa isyarat visual yang terlihat seperti alis berkerut dapat berarti emosi lain selain kemarahan, dan isyarat lain mungkin merupakan petunjuk halus dari kemarahan, meskipun tidak jelas.

Masalah lain yang dihadapi oleh teknologi ini adalah ketika mendeteksi emosi dari orang-orang dengan warna kulit yang berbeda. Ada model yang mendeteksi lebih banyak kemarahan pada orang kulit hitam. Sehingga dibutuhkan set pelatihan yang lebih beragam. Selain tantangan yang ditimbulkannya, pengenalan emosi tampaknya juga menyebabkan masalah moral karena terkadang dapat menyerang hal pribadi. Ada tempat di mana pengenalan emosi dilarang oleh hukum karena orang tidak suka AI menafsirkan emosi mereka. Ada juga tempat, seperti California, di mana penegak hukum dilarang menggunakan teknologi semacam itu karena melanggar hak warga negara dan menimbulkan kewaspadaan terhadap pihak berwenang.

Teknologi pengenalan emosi tidak mendekati sempurna. Meskipun mereka benar-benar dapat mendeteksi emosi, masih ada masalah dan tantangan yang dihadapi. Misalnya, sebuah sistem dapat menganggap emosi dan ekspresi biasa lebih mengkhawatirkan daripada yang sebenarnya. Oleh karena secara otomatis dapat menghubungkan ekspresi wajah dengan emosi tertentu, maka sistem tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang tidak dan dapat ditipu dengan mudah.

AI juga tidak dapat dengan mudah memahami perbedaan budaya saat mengekspresikan emosi dan karenanya membuat sulit untuk menghasilkan kesimpulan yang benar. Secara keseluruhan, bias dalam pendeteksian emosi seperti ini, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan asumsi yang sangat salah dan menyebabkan kesalahpahaman besar dan merujuk kea rah psedoscience. Risiko salah tafsir seperti ini harus dipertimbangkan, dan perbaikan lebih lanjut harus dilakukan.

Revolusi Ilmu Pengetahuan dan Teori Falsifikasi

Thomas Kuhn adalah seorang profesor fisika pada tahun 1949. Dia juga mendalami tentang sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan hingga mendapat gelar professor di bidang sejarah ilmu pengetahuan pada tahun 1961. Thomas Kuhn terkenal dengan bukunya yang terbit pada tahun 1962 yaitu “Structure of the Scientific Revolution” yang mencapai 650.000 cetak ulang hingga tahun 1987. Buku ini merupakan sejarah perubahan citra sains yang diyakini saat sekarang dan termasuk seratus buku paling berpengaruh sejak perang dunia kedua yang dilabeli oleh Times Literary Suplement. Kuhn membuat kata-kata “Paradigm shift”, “Anomaly”, “Normal science as puzzlesolving” menjadi popular.

Fokusnya adalah pembahasan pada ilmu dasar (fisika), tetapi juga dapat diterapkan pada teknologi. Jadi, structure of scientific revolution ini bertujuan untuk menentang pandangan umum terhadap sains dan bagaiaman terjadinya perubahan sain tersebut. Menurut pandangan umum, ilmu atau sains terjadi secara komulatif. Sedangkan menurut Kuhn, ilmu berkembang tidak hanya secara komulatif tetapi juga revolusi. Terjadi pergantian paradigma yang lama karena tidak cocok dengan sistem yang baru.

Dalam krisis terjadi perdebatan untuk hal-hal yang bersifat dasar. Tahap terakhir adalah scientific revolution yaitu muncul paradigma baru yang menggantikan paradigma lama. Paradigma baru harus bisa menyelesaikan masalah sebelumnya. Paradigma baru harus bisa memecahkan anomaly yang terjadi dan masalah-masalah kedepan yang ada dibidang tersebut. Hal yang berevolusi adalah paradigmanya. Jika revolusi sudah terjadi maka bidang itu aka berubah pandangannya terhadap metodologi maupun tujuannya. Sehingga untuk mengelola kelompok data yang sama digunakan kerangka kerja yang baru. Tahap kedua sampai kelima termasuk kedalam history of science.

Dari revolusi sains tersebut dapat disimpulkan bahwa konstribusi dari Kuhn adalah penolakan terhadap logical positivism yang menyatakan sains itu 100% rasional, obyektif dan tergantung pada observasi data. Padahal ada faktor lain dalam sains yaitu pergeseran paradigma dan konsensus sosial. Setiap sains tidak bisa dipisahkan antara subjek dan obyek. Obyek yang diteliti tidak pernah bisa dipisahkan sepenuhnya dari subyek yang meneliti. Oleh karena itu proses sains bukanlah proses mengisi sains dengan sains-sains baru namun proses pergerakan eksistensi komunitas ilmiah yang lebih arif, mendekati kenyataan. Perkembangan sains tidak hanya komulatif kadang juga revolusioner.

Selain itu disebutkan kritik terhadap Kuhn diantaranya tidak menjawab demarkasi antara sains dan pseudo-sains. Sebuah teori sains disebut ilmiah jika komunitas menerimanya. Dalam hal ini dua paradigma yang tidak bisa didamaikan. Jika ada paradigma baru, paradigma lama hilang dan tidak bisa melihat paradigma lama kembali. Kenyataannya, adalah commensurable, paradigma lama tidak dihapus atau hilang secara total seperti mekanika Einstein muncul tanpa menghilangkan mekanika Newton. Terakhir adalah hanya ada satu paradigma dalam sains normal. Sedangkan kenyataannya adalah adanya penerimaan terhadap beberapa paradigma yang dapat menyelesaikan masalah. Hal ini disebut dengan multi paradigm normal science.

Sementara itu, ada juga sosok ilmuwan dan filsuf terkenal yaitu Karl Popper. 

Pemikiran Karl Popper berkaitan dengan masalah filsafat ilmu. Pada pemikiran Popper sering dikelompokkan dalam tiga hal yaitu persoalan induksi, persoalan demarkasi, dan persoalan dunia ketiga [2]. Popper tidak sependapat dengan keyakinan induksi juga verifikasi yang dinyatakan pada lingkaran wina. Ia memberikan pemahaman falsifikasi sebagai batas pemisah antara ilmu dengan yang bukan ilmu.

Bagi praktisi persoalan induksi tidak menjadi maslah namun bagi pengamat teori ilmu metode induksi bersumber dari beberapa kasus terpisah yang kemudian menciptakan hukum umum dan mutlak perlu. Sementara Popper bependapat, bahwa peralihan dari yang particular ke yang universal itu secara logis tidak sah. Adapun beberapa gagasan Popper sehubungan dengan penolakannya terhadap gagasan lingkaran Wina adalah: menentang prinsip pemisahan/ demarkasi antara ilmu yang bermakna dan tidak bermakna berdasarkan metode verifikatif induktif. Dia mengusulkan suatu demarkasi lain, yaitu demarkasi antara ilmu yang ilmiah dan tidak ilmiah berdasarkan tolak ukur pengujian deduktif. Mengganti metode verifikasi induktif dengan metode falsifikasi deduktif. Namun ia tetap meletakkan penalaran induktif pada tataran awal, pra ilmiah dalam rangkah pengujian deduktif. Menurut Popper, teori-teori ilmiah hanyalah bersifat hipotesis (dugaan sementara), tak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tepat. Popper menggunakan istilah hipotesa, atas dasar kesementaraannya. Ini sebut dengan The Thesis of Futability: suatu ungkapan atau hipotesa bersifat ilmiah jika secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menjalankan kritik. Menurutnya ilmuwan sejati tidak akan takut pada kritikan, sebaliknya ia sangat mengharapkan kritikan, sebab hanya melalui kritik, ilmu pengetahuan akan terus mengalami kemajuan. Menurutnya pengembangan ilmu bukanlah dengan jalan akumulasi, dalam arti pengumpulan bukti-bukti positif atau bukti-bukti yang mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neo-positivisme, namun proses pengembangan ilmu adalah dengan melakukan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan (error elimination). Ia menggunakan bukti-bukti sejarah ilmu, dalam hal ini koreksi (error elimination).

Menurut Popper, suatu teori ilmiah tidak pernah benar secara definitif karena kemajuan ilmiah itu dicapai lewat “dugaan dan penyanggahan”, dan semangat kritik diri (self-critical) yang merupakan esensi ilmu. Falsifikasi merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak gagasan dari lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan penolakan Popper ini, dilakukan dalam rangka membedakan ilmu yang bermakna dan tidak bermakna. Beberapa penyanggahan yang dikemukakan Popper yaitu prinsip verifikasi hukum-hukum umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum tidak bermakna, sama seperti metafisika); kemudian Popper menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah setelah diuji. Kemudian diperlukan hipotesa untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ucapan atau teori.

Teknologi Pengenalan Emosi yang Dapat Difalsifikasi

Teknologi pengenalan emosi merupakan suatu sistem yang multidisiplin. Teknologi ini membutuhkan integrasi ilmu setidaknya ilmu computer, psikologi, filosofi, bahkan hingga neuroscience. Meski demikian, hingga saat ini masih banyak anggapan bahwa penelitian maupun ilmu terkait sistem pengenalan emosi merupakan suatu pseudo-science. Beberapa artikel populer mengulas alasan-alasan dibalik asumsi tersebut. Salah satunya (https://www.globalgovernmentforum.com/emotion-recognition-tech-fundamentally-flawed-human-rights-charity/) menyebutkan bahwa sains dibalik teknologi pengenalan emosi hanya berlandaskan asumsi ilmiah yang telah didiskreditkan, seperti mengenai anggapan bahwa ekspresi wajah bersifat universal, keadaan emosional dapat digali darinya, bahkan hingga dapat ditarik kesimpulan yang andal untuk membuat keputusan. Selain itu pada (https://medium.com/age-of-awareness/facial-recognition-is-regurgitating-racist-pseudoscience-from-the-past-76ed0a28747c), beranggapan bahwa pembuat sistem tidak mempertimbangkan adanya perbedaan kultur dalam ekspresi wajah sehingga cenderung rasis dalam menghasilkan analisis. Contohnya sistem pengenalan emosi wajah seringkali mendeteksi emosi negatif pada wajah dari ras kulit hitam. Ekspresi wajah juga dinilai seringkali tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dirasakan dalam hati seseorang, sehingga teknologi untuk mendeteksi emosi seseorang berdasarkan fitur wajah dinilai tidak mungkin dilakukan. Sistem pengawasan tindak kriminalitas bukan hanya sistem pengamatan, tetapi juga melibatkan proses penetapan identitas dimana seseorang tidak terlihat sebagaimana dirinya saja melainkan dilihat sebagai teroris, ancaman, kulit hitam, dll  [4].

Psikologi sebagai salah satu bidang ilmu yang mendasari sistem pengenalan emosi itu sendiri masih banyak menerima kritisasi pada konsep ilmunya dan dianggap sebagai pseudo-science (https://blogs.scientificamerican.com/the-curious-wavefunction/is-psychology-a-e2809creale2809d-science-does-it-really-matter/), bidang psikologi baik klinis hingga psikologi sekolah banyak mendapat kritisasi mengenai kebenaran ilmunya. Seperti banyak domain psikologi profesional, psikologi sekolah terus berjuang dengan masalah membedakan ilmiah dari pseudoscientific dan praktik klinis yang dipertanyakan. Dalam psikologi sekolah misalnya, kesalahan kognitif sangat bermasalah ketika mereka berkontribusi pada adopsi praktik pseudoscientific — yang tampaknya didasarkan pada sains tetapi tidak. Teknik seperti itu mungkin tidak efektif atau bahkan berbahaya bagi anak sekolah dan lebih luas lagi, dapat menyebabkan penilaian, intervensi, atau keduanya yang kurang optimal [5].

Selain dari kekhawatiran mengenai kelemahan dasar ilmu yang melandasi teknologi pengenalan emosi tersebut, kekhawatiran lainnya adalah menyangkut norma etik dan hak asasi manusia. Dengan berlandaskan pada teknologi yang rentan akan kebenarannya, pengambilan keputusan berdasarkan analisis hasil dari teknologi tersebut dinilai rentan akan kebenarannya pula. Sistem pengambilan keputusan yang didasari oleh teknologi pengenalan emosi dinilai dapat menyebabkan perlakuan tidak adil dengan menganalisis lalu mengklasifikasikan manusia dengan mengeneralisasikannya pada kategori-kategori tertentu yang menyentuh aspek paling pribadi dalam hak asasinya. Hal ini diperburuk juga dengan jika teknologi pengenalan emosi tersebut digunakan untuk melakukan pengawasan, pemantauan, pengontrolan akses, hingga pemaksaan kekuasaan [6].

Untuk membuat suatu sistem pengenalan emosi yang terhindar dari pseudoscience, landasan berpikir yang mengacu pada teori falsifikasi Karl Popper dan evolusi ilmu pengetahuan dari Thomas Kuhn perlu selalu dipertimbangkan dalam pengembangannya. Perlu disadari sebagaimana teknologi berbasis kecerdasan artifisial ataupun machine learning lainnya, tidak ada yang sempurna meskipun teknologinya selalu berusaha dikembangkan dan ditingkatkan. Dalam pengembangan teknologi penegnalan emosi perlu adanya vatasan-batasan dan penerimaan falsifikasi. Tingkat kesuksesannya bukan hanya dinilai berdasarkan verifikasi, validasi, serta pembenaran nilai akurasi sistemnya. Perlu kewaspadaan terhadap teknologi pengenalan emosi yang sangat handal dan dapat dipercaya karena dalam [7], pada kondisi yang ekstrem teknologi pengenalan emosi yang digunakan misalnya untuk mendeteksi kepribadian sisyem pengawasan tindak kriminalitas, dan tingkat kepercayaan seseorang hanya berdasarkan penampilan wajah atau fisik luar orang tersebut cenderung kurang akurat dan seringkali dikritik sebagai pseudoscience. Sangat penting untuk diperhatikan dari mana data latih yang digunakan untuk mengembangkan sistem pengenalan emosi itu didapat, bagaimana metodenya, dan apakah ada tendensi khusus yang melatarbelakangi pengembangan data tersebut.

Dalam teknologi pengenalan emosi, definisi dari emosi itu sendiri sangat penting ditetapkan [8] selain untuk pengukuran keberhasilan, hal ini juga dinilai dapat menjadi acuan seberapa dalam teknologi pengenalan emosi ini dapat digunakan, apakah dalam emosi diskrit seperti kategiri 6 emosi [9] atau kontinyu seperti dalam [10]. Dalam penelitian [7] bahkan telah disusun sebuah lembar kerja yang berisi 50 parameter yang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan saat mengembangkan teknologi pengenalan emosi sehingga lebih menghargai sains, norma etik, dan hak asasi manusia. Adapun parameter dalam lembar kerja tersebut dibagi ke dalam beberapa kategori diantaranya task design, data, metode, impak dan evaluasi, dan implikasi terhadap privasi dan kelompok social. Selain itu perlu juga pertimbangan lebih jika teknologi otomasi berdasarkan sistem pengenalan emosi yang dikembangkan memiliki kemungkinan berlandaskan stereotipe atau generalisasi yang berlebihan, maka skala otomasi yang dapat digunakan tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada sistem saat perlu adanya pengambilan keputusan.

Selain dari sisi teknologinya, pengambilan kesimpulan atau klasifikasi pada pengenalan emosi yang sejatinya berdasarkan bidang ilmu psikologi itu sendiri perlu diberi perhatian. Dalam [5] terdapat pedoman yang dapat digunakan untuk memperkuat baik penelitian maupun praktik penerapan ilmu psikologi, yakni dengan 1) mencari bukti yang tidak hanya membenarkan; 2) jangan terlalu terikat pada hipotesis seseorang; 3) pertimbangkan hipotesis saingan; 4)jangan menerapkan konsep cherry-pick; 5) letakkan intuisi seseorang untuk tes sistematis; 6)jadilah skeptis terhadap kebijaksanaan klinis; 7) sadari titik-titik butanya; 8) dorong perbedaan pendapat; 9)selalu kuantifikasi; 10) pertahankan sikap kritis.

Penutup

Teknologi pengenalan emosi sudah banyak dikembangkan, seperti pada lembaga penegak hukum yang menggunakan face recognition untuk menjaga masyarakat lebih aman, bisnis ritel untuk mencegah kejahatan dan kekerasan dan pada bandara untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan wisatawan. Namun hingga kini masih banyak perdebatan mengenai apakah teknologi pengenalan emosi ini sebenarnya didasari oleh ilmu pengetahuan atau justru pseudo-science. Berdasarkan kajian literatur yang dilakukan mulai dari teori revolusi ilmu pengetahuan Thomas Kuhn, falsifikasi Karl Popper, dan beberapa literatur terkait teknologi pengenalan emosi itu sendiri, dapat disimpulkan bahwa memang teknologi pengenalan emosi ini rentan untuk terjerumus dalam domain pseudo-science. Namun sama halnya dengan teknologi lainnya dengan dasar pembelajaran mesin atau kecerdasan artifisial, secara pragmatis dapat kita pandang teknologi pengenalan emosi ini berdasarkan ilmu pengetahuan yang benar dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu yang perlu diperhatikan dalam aspek pengembangannya dan pengambilan dasar teori yang mendasari teknologi pengenalan emosi tersebut.

Referensi

[1]        M. I. Zarkasyi, M. R. Hidayatullah, and E. M. Zamzami, “Literature Review : Implementation of Facial Recognition in Society,” J. Phys. Conf. Ser., vol. 1566, no. 1, 2020, doi: 10.1088/1742-6596/1566/1/012069.

[2]        K. S. FRIEDMAN, A Logic of Scientific Discovery. 1990.

[3]        G. Mohammadi and P. Vuilleumier, “A Multi-Componential Approach to Emotion Recognition and the Effect of Personality,” IEEE Trans. Affect. Comput., vol. 3045, no. c, pp. 1–1, 2020, doi: 10.1109/taffc.2020.3028109.

[4]        J. W. Crampton, “Platform biometrics,” Surveill. Soc., vol. 17, no. 1–2, pp. 54–62, 2019, doi: 10.24908/ss.v17i1/2.13111.

[5]        V. Denault et al., “The Analysis of Nonverbal Communication: The Dangers of Pseudoscience in Security and Justice Contexts,” Anu. Psicol. Juridica, vol. 30, no. 1, pp. 1–12, 2020, doi: 10.5093/apj2019a9.

[6]        A. 19, “Emotional Entanglement:,” p. 76, 2021.

[7]        S. M. Mohammad, “Ethics Sheet for Automatic Emotion Recognition and Sentiment Analysis | by Saif M. Mohammad | Jul, 2021 | Medium,” 2021, [Online]. Available: https://medium.com/@nlpscholar/ethics-sheet-aer-b8d671286682.

[8]        P. J. Bota, C. Wang, A. L. N. Fred, H. Plácido, D. A. Silva, and S. Member, “A Review , Current Challenges , and Future Possibilities on Emotion Recognition Using Machine Learning and Physiological Signals,” vol. 7, 2019, doi: 10.1109/ACCESS.2019.2944001.

[9]        P. Ekman and R. J. Davidson, “Afterword: Are there basic emotions?,” Nat. Emot. Fundam. Quest., vol. 99, no. 3, pp. 46–47, 1994.

[10]      R. Plutchik, “The nature of emotions: Human emotions have deep evolutionary roots, a fact that may explain their complexity and provide tools for clinical practice,” Am. Sci., vol. 89, no. 4, pp. 344–350, 2001, [Online]. Available: http://www.jstor.org/stable/27857503.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun