Mohon tunggu...
Asyifa Imanda
Asyifa Imanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - ~

Mahasiswa S3 di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Mencegah Teknologi Pengenalan Emosi Menjasi Pseudo-science

20 Desember 2021   09:34 Diperbarui: 20 Desember 2021   09:40 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Fokusnya adalah pembahasan pada ilmu dasar (fisika), tetapi juga dapat diterapkan pada teknologi. Jadi, structure of scientific revolution ini bertujuan untuk menentang pandangan umum terhadap sains dan bagaiaman terjadinya perubahan sain tersebut. Menurut pandangan umum, ilmu atau sains terjadi secara komulatif. Sedangkan menurut Kuhn, ilmu berkembang tidak hanya secara komulatif tetapi juga revolusi. Terjadi pergantian paradigma yang lama karena tidak cocok dengan sistem yang baru.

Dalam krisis terjadi perdebatan untuk hal-hal yang bersifat dasar. Tahap terakhir adalah scientific revolution yaitu muncul paradigma baru yang menggantikan paradigma lama. Paradigma baru harus bisa menyelesaikan masalah sebelumnya. Paradigma baru harus bisa memecahkan anomaly yang terjadi dan masalah-masalah kedepan yang ada dibidang tersebut. Hal yang berevolusi adalah paradigmanya. Jika revolusi sudah terjadi maka bidang itu aka berubah pandangannya terhadap metodologi maupun tujuannya. Sehingga untuk mengelola kelompok data yang sama digunakan kerangka kerja yang baru. Tahap kedua sampai kelima termasuk kedalam history of science.

Dari revolusi sains tersebut dapat disimpulkan bahwa konstribusi dari Kuhn adalah penolakan terhadap logical positivism yang menyatakan sains itu 100% rasional, obyektif dan tergantung pada observasi data. Padahal ada faktor lain dalam sains yaitu pergeseran paradigma dan konsensus sosial. Setiap sains tidak bisa dipisahkan antara subjek dan obyek. Obyek yang diteliti tidak pernah bisa dipisahkan sepenuhnya dari subyek yang meneliti. Oleh karena itu proses sains bukanlah proses mengisi sains dengan sains-sains baru namun proses pergerakan eksistensi komunitas ilmiah yang lebih arif, mendekati kenyataan. Perkembangan sains tidak hanya komulatif kadang juga revolusioner.

Selain itu disebutkan kritik terhadap Kuhn diantaranya tidak menjawab demarkasi antara sains dan pseudo-sains. Sebuah teori sains disebut ilmiah jika komunitas menerimanya. Dalam hal ini dua paradigma yang tidak bisa didamaikan. Jika ada paradigma baru, paradigma lama hilang dan tidak bisa melihat paradigma lama kembali. Kenyataannya, adalah commensurable, paradigma lama tidak dihapus atau hilang secara total seperti mekanika Einstein muncul tanpa menghilangkan mekanika Newton. Terakhir adalah hanya ada satu paradigma dalam sains normal. Sedangkan kenyataannya adalah adanya penerimaan terhadap beberapa paradigma yang dapat menyelesaikan masalah. Hal ini disebut dengan multi paradigm normal science.

Sementara itu, ada juga sosok ilmuwan dan filsuf terkenal yaitu Karl Popper. 

Pemikiran Karl Popper berkaitan dengan masalah filsafat ilmu. Pada pemikiran Popper sering dikelompokkan dalam tiga hal yaitu persoalan induksi, persoalan demarkasi, dan persoalan dunia ketiga [2]. Popper tidak sependapat dengan keyakinan induksi juga verifikasi yang dinyatakan pada lingkaran wina. Ia memberikan pemahaman falsifikasi sebagai batas pemisah antara ilmu dengan yang bukan ilmu.

Bagi praktisi persoalan induksi tidak menjadi maslah namun bagi pengamat teori ilmu metode induksi bersumber dari beberapa kasus terpisah yang kemudian menciptakan hukum umum dan mutlak perlu. Sementara Popper bependapat, bahwa peralihan dari yang particular ke yang universal itu secara logis tidak sah. Adapun beberapa gagasan Popper sehubungan dengan penolakannya terhadap gagasan lingkaran Wina adalah: menentang prinsip pemisahan/ demarkasi antara ilmu yang bermakna dan tidak bermakna berdasarkan metode verifikatif induktif. Dia mengusulkan suatu demarkasi lain, yaitu demarkasi antara ilmu yang ilmiah dan tidak ilmiah berdasarkan tolak ukur pengujian deduktif. Mengganti metode verifikasi induktif dengan metode falsifikasi deduktif. Namun ia tetap meletakkan penalaran induktif pada tataran awal, pra ilmiah dalam rangkah pengujian deduktif. Menurut Popper, teori-teori ilmiah hanyalah bersifat hipotesis (dugaan sementara), tak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tepat. Popper menggunakan istilah hipotesa, atas dasar kesementaraannya. Ini sebut dengan The Thesis of Futability: suatu ungkapan atau hipotesa bersifat ilmiah jika secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menjalankan kritik. Menurutnya ilmuwan sejati tidak akan takut pada kritikan, sebaliknya ia sangat mengharapkan kritikan, sebab hanya melalui kritik, ilmu pengetahuan akan terus mengalami kemajuan. Menurutnya pengembangan ilmu bukanlah dengan jalan akumulasi, dalam arti pengumpulan bukti-bukti positif atau bukti-bukti yang mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neo-positivisme, namun proses pengembangan ilmu adalah dengan melakukan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan (error elimination). Ia menggunakan bukti-bukti sejarah ilmu, dalam hal ini koreksi (error elimination).

Menurut Popper, suatu teori ilmiah tidak pernah benar secara definitif karena kemajuan ilmiah itu dicapai lewat “dugaan dan penyanggahan”, dan semangat kritik diri (self-critical) yang merupakan esensi ilmu. Falsifikasi merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak gagasan dari lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan penolakan Popper ini, dilakukan dalam rangka membedakan ilmu yang bermakna dan tidak bermakna. Beberapa penyanggahan yang dikemukakan Popper yaitu prinsip verifikasi hukum-hukum umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum tidak bermakna, sama seperti metafisika); kemudian Popper menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah setelah diuji. Kemudian diperlukan hipotesa untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ucapan atau teori.

Teknologi Pengenalan Emosi yang Dapat Difalsifikasi

Teknologi pengenalan emosi merupakan suatu sistem yang multidisiplin. Teknologi ini membutuhkan integrasi ilmu setidaknya ilmu computer, psikologi, filosofi, bahkan hingga neuroscience. Meski demikian, hingga saat ini masih banyak anggapan bahwa penelitian maupun ilmu terkait sistem pengenalan emosi merupakan suatu pseudo-science. Beberapa artikel populer mengulas alasan-alasan dibalik asumsi tersebut. Salah satunya (https://www.globalgovernmentforum.com/emotion-recognition-tech-fundamentally-flawed-human-rights-charity/) menyebutkan bahwa sains dibalik teknologi pengenalan emosi hanya berlandaskan asumsi ilmiah yang telah didiskreditkan, seperti mengenai anggapan bahwa ekspresi wajah bersifat universal, keadaan emosional dapat digali darinya, bahkan hingga dapat ditarik kesimpulan yang andal untuk membuat keputusan. Selain itu pada (https://medium.com/age-of-awareness/facial-recognition-is-regurgitating-racist-pseudoscience-from-the-past-76ed0a28747c), beranggapan bahwa pembuat sistem tidak mempertimbangkan adanya perbedaan kultur dalam ekspresi wajah sehingga cenderung rasis dalam menghasilkan analisis. Contohnya sistem pengenalan emosi wajah seringkali mendeteksi emosi negatif pada wajah dari ras kulit hitam. Ekspresi wajah juga dinilai seringkali tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dirasakan dalam hati seseorang, sehingga teknologi untuk mendeteksi emosi seseorang berdasarkan fitur wajah dinilai tidak mungkin dilakukan. Sistem pengawasan tindak kriminalitas bukan hanya sistem pengamatan, tetapi juga melibatkan proses penetapan identitas dimana seseorang tidak terlihat sebagaimana dirinya saja melainkan dilihat sebagai teroris, ancaman, kulit hitam, dll  [4].

Psikologi sebagai salah satu bidang ilmu yang mendasari sistem pengenalan emosi itu sendiri masih banyak menerima kritisasi pada konsep ilmunya dan dianggap sebagai pseudo-science (https://blogs.scientificamerican.com/the-curious-wavefunction/is-psychology-a-e2809creale2809d-science-does-it-really-matter/), bidang psikologi baik klinis hingga psikologi sekolah banyak mendapat kritisasi mengenai kebenaran ilmunya. Seperti banyak domain psikologi profesional, psikologi sekolah terus berjuang dengan masalah membedakan ilmiah dari pseudoscientific dan praktik klinis yang dipertanyakan. Dalam psikologi sekolah misalnya, kesalahan kognitif sangat bermasalah ketika mereka berkontribusi pada adopsi praktik pseudoscientific — yang tampaknya didasarkan pada sains tetapi tidak. Teknik seperti itu mungkin tidak efektif atau bahkan berbahaya bagi anak sekolah dan lebih luas lagi, dapat menyebabkan penilaian, intervensi, atau keduanya yang kurang optimal [5].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun