Mohon tunggu...
Asyifa Imanda
Asyifa Imanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - ~

Mahasiswa S3 di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Mencegah Teknologi Pengenalan Emosi Menjasi Pseudo-science

20 Desember 2021   09:34 Diperbarui: 20 Desember 2021   09:40 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Oleh: Asyifa Imanda Septiana, Meza Silvana, Novia Sari, Dimitri Mahayana

Saat ini, teknologi face recognition (pengenalan wajah) sudah banyak dikembangkan, seperti pada lembaga penegak hukum yang menggunakan face recognition untuk menjaga masyarakat lebih aman, bisnis ritel untuk mencegah kejahatan dan kekerasan dan pada bandara untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan wisatawan. Selain itu, perusahaan telepon seluler juga menggunakan face recognition untuk memberikan lapisan keamanan biometrik baru pada konsumen.

Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) dan National Institute of Standards and Technology mulai meluncurkan program Face Recognition Technology (FERET) pada tahun 1990-an untuk mendorong pasar koersial face recognition. Proyek ini melibatkan pembuatan database gambar wajah. Basis data telah diperbarui pada tahun 2003 untuk menyertakan versi gambar berwarna 24-bit beresolusi tinggi. Termasuk dalam set tes adalah 2.413 gambar wajah diam yang mewakili 856 orang. Harapannya adalah database besar gambar uji untuk pengenalan wajah akan dapat menginspirasi inovasi, yang mungkin menghasilkan teknologi pengenalan wajah yang lebih kuat.

Selain itu, emotion recognition (pengenalan emosi) termasuk salah satu dari banyak teknologi pengenalan wajah yang telah berkembang selama bertahun-tahun. Saat ini, perangkat lunak pengenalan emosi wajah digunakan untuk memungkinkan program tertentu memeriksa dan memproses ekspresi wajah manusia. Menggunakan dispensasi gambar tingkat lanjut, software ini berfungsi seperti otak manusia yang membuatnya mampu mengenali emosi juga.

Saat ini, pengenalan emosi digunakan untuk berbagai tujuan yang beberapa orang bahkan tidak menyadarinya setiap hari, seperti security measure di sekolah dan institusi lain karena dapat membantu mencegah kekerasan dan meningkatkan keamanan suatu tempat secara keseluruhan. Asisten HR pada perusahaan untuk membantu dalam menentuan apakah kandidat jujur dan benar-benar tertarik dengan posisi tersebut dengan mengevaluasi intonasi, dan ekspresi wajah. Customer service yaitu memasang kamera dengan AI pada pusat pelayanan pelanggan sehingga emosi pelanggan dapat dibandingkan sebelum dan sesuadah masuk ke dalam pusat layanan untuk menentukan seberapa puas mereka dengan layangan yang mereka terima. Jika ada skor yang rendah, sistem dapat menyarankan karyawan untuk meningkatkan kualitas layanan. Selain itu pada anak disabilitas dengan proyek menggunakan sistem kacamata pintar yang bertujuan untuk membantu anak-anak autis menafsirkan perasaan orang-orang di sekitar mereka. Ketika seorang anak berinteraksi dengan orang lain, petunjuk tentang emosi orang lain diberikan menggunakan grafik dan suara. Pada bidang kesehatan, motion recognition digunakan untuk mengetahui apakah pasien membutuhkan obat atau agar dokter tahu siapa yang harus diprioritaskan untuk dilihat atau diperiksa terlebih dahulu.

Sama seperti teknologi lain yang berkembang, pengenalan emosi tidak sempurna dan memiliki batasan dan tantangan [1]. Salah satu tantangannya adalah bahwa kumpulan data diberi label oleh orang-orang, dan orang yang berbeda dapat membaca dan menafsirkan emosi dengan cara yang berbeda. Juga, beberapa isyarat visual yang terlihat seperti alis berkerut dapat berarti emosi lain selain kemarahan, dan isyarat lain mungkin merupakan petunjuk halus dari kemarahan, meskipun tidak jelas.

Masalah lain yang dihadapi oleh teknologi ini adalah ketika mendeteksi emosi dari orang-orang dengan warna kulit yang berbeda. Ada model yang mendeteksi lebih banyak kemarahan pada orang kulit hitam. Sehingga dibutuhkan set pelatihan yang lebih beragam. Selain tantangan yang ditimbulkannya, pengenalan emosi tampaknya juga menyebabkan masalah moral karena terkadang dapat menyerang hal pribadi. Ada tempat di mana pengenalan emosi dilarang oleh hukum karena orang tidak suka AI menafsirkan emosi mereka. Ada juga tempat, seperti California, di mana penegak hukum dilarang menggunakan teknologi semacam itu karena melanggar hak warga negara dan menimbulkan kewaspadaan terhadap pihak berwenang.

Teknologi pengenalan emosi tidak mendekati sempurna. Meskipun mereka benar-benar dapat mendeteksi emosi, masih ada masalah dan tantangan yang dihadapi. Misalnya, sebuah sistem dapat menganggap emosi dan ekspresi biasa lebih mengkhawatirkan daripada yang sebenarnya. Oleh karena secara otomatis dapat menghubungkan ekspresi wajah dengan emosi tertentu, maka sistem tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang tidak dan dapat ditipu dengan mudah.

AI juga tidak dapat dengan mudah memahami perbedaan budaya saat mengekspresikan emosi dan karenanya membuat sulit untuk menghasilkan kesimpulan yang benar. Secara keseluruhan, bias dalam pendeteksian emosi seperti ini, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan asumsi yang sangat salah dan menyebabkan kesalahpahaman besar dan merujuk kea rah psedoscience. Risiko salah tafsir seperti ini harus dipertimbangkan, dan perbaikan lebih lanjut harus dilakukan.

Revolusi Ilmu Pengetahuan dan Teori Falsifikasi

Thomas Kuhn adalah seorang profesor fisika pada tahun 1949. Dia juga mendalami tentang sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan hingga mendapat gelar professor di bidang sejarah ilmu pengetahuan pada tahun 1961. Thomas Kuhn terkenal dengan bukunya yang terbit pada tahun 1962 yaitu “Structure of the Scientific Revolution” yang mencapai 650.000 cetak ulang hingga tahun 1987. Buku ini merupakan sejarah perubahan citra sains yang diyakini saat sekarang dan termasuk seratus buku paling berpengaruh sejak perang dunia kedua yang dilabeli oleh Times Literary Suplement. Kuhn membuat kata-kata “Paradigm shift”, “Anomaly”, “Normal science as puzzlesolving” menjadi popular.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun