Cahyani memang anak yang mandiri, sejak awal masuk sekolah ia tak pernah di antar jemput ibunya. Jarak sekolah yang dekat menjadi alasan orang tua Cahyani membiarkan gadis kecil itu pergi dan pulang sendiri.
Cahyani menghentikan langkahnya, merasakan air yang dingin masuk kedalam kedua telapak kakinya. Robekan di sepatunya semakin melebar di karenakan air hujan. Membuat kaos kaki yang ia pakai terendam air dan lumpur.
Tiba di gerbang sekolah, Cahyani masuk dengan terengah. Langkahnya melambat karena sepatu yang dipakainya semakin memberat. Meski tak nyaman ia paksakan demi masuk sekolah.
Cahyani tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik, badannya menggigil kedinginan karena kakinya kebasahan, saat  ia mencoba menggerakkan kakinya tanpa ia duga, sepatunya robek memisahkan bagian atas dan bawahnya dengan sempurna.
Jam pulang pun tiba, Cahyani menunggu teman-temannya pulang lebih dulu karena malu dengan keadaan sepatunya yang robek. Setelah kosong, barulah ia berani pulang kerumah.
Ia berjalan menyeret sepatunya dengan susah payah, mencoba untuk membawa sepasang sepatunya tanpa ada bagiannya yang tertinggal. Takut ibu akan marah, jika sepatunya pulang tak lengkap.
Di pertengahan jalan pulang, ada aliran luapan air dari solokan sisa hujan tadi pagi yang deras membuat jalanan di hadapannya banjir semata kakinya.
Cahyani panik, bingung memikirkan bagaimana caranya ia melangkah. Jika ia terobos, pasti sepatu robeknya akan hanyut dan ia akan di marahi ibu. Akhirnya ia memiliki ide, ia akan membuka sepatunya dan menjingjingnya sampai ke rumah.
Tapi tanpa ia duga, arus itu sulit di terjang oleh kaki kecilnya yang telanjang, sehingga dengan sekali sapuan tubuhnya terdorong arus dan terjatuh hingga membuatnya terjungkal dan terseret arus banjir.
Orang-orang menolong tubuh mungil itu agar selamat dari arus banjir, namun sepatu robek itu tak berdaya dan hanyut terbawa arus.
"Sepatu robek kakaaak!" teriak Cahyani menangisi salah satu sepatunya yang hilang di telan arus banjir.