Senja menguning di atas tanah bumi kami berdiri. Hari ini tepat hari ke seribu aku memutuskan untuk tidak kembali bekerja sebagai wanita karir. Dan menjadi seorang istri dan ibu yang bekerja untuk suami dan anak-anakku.
       Sebuah dilema besar, kala bakti terkalahkan oleh egoisme diri. Pun meski secara harfiah dan adab memang mendedisikasikan diri untuk tetap tinggal di rumah adalah yang paling tinggi pahalanya. Tetapi, harga diri terlalu ku jungjung hingga mencapai ubun.
       Diriku bukanlah seorang wanita sempurna, memang tak ada manusia yang dapat mencapai tingkat kesempurnaan kecuali nabi kita. Hanya saja, sejak awal aku memang terlampau perfeksionis dan selalu menganggap diri ini penting.
        Menjadi seorang ibu rumah tangga di tengah perekonomian keluarga yang sulit sangat menguras emosi dan fikiranku. Bagaimana tidak, sejak awal kami menikah, suamiku bukanlah seorang karyawan yang berjabatan tinggi. Ia harus mencari tambahan dari samping kanan dan kirinya hanya untuk mencukupi kebutuhan.
        Semua terasa baik-baik saja saat ku bekerja dulu. Aku orang yang cukup punya daya saing tinggi dan selalu berusaha untuk mencapai target pekerjaanku, sehingga saat usiaku 26 tahun, aku telah berhasil meraih posisi tinggi di kantor perusahaan tempat ku bekerja. Mengalahkan para seniorku yang telah bekerja si tempat itu puluhan tahun.
         Namun ternyata, jika ku telaah lebih dalam, setinggi apapun penghasilanku, ternyata tidak membuat keluargaku baik-baik saja. Tetap saja apa yang kami butuhkan terasa kurang, uang yang kukumpulkan selalu habis sebelum waktunya upah datang bulan depan. Suamiku merasa tidak tenang, dan anak-anakku tak kuperhatikan dengan baik.Â
         Hingga tiba suatu masa permasalahan pertama terjadi, dimana anak pertamaku yang berusia 10 tahun menjadi biang kerok permasalahan di kelasnya. Dia anak laki-laki sulungku, sebagai seorang lelaki tentu alu mendidiknya keras. Berusaha mencetak insan unggul dengan cara melatih dia agar memiliki mental baja.
        Tetapi ternyata apa yang kulakukab padanya menjadi bumerang untukku. Ketegasan dan prilakuku yang cenderung lebih keras padanya, membuat dia menjadi anak yang impulsif di sekolah. Dan saat itu aku dan suamiku terpanggil oleh pihak sekolah karena anakku kedapatan memukuli teman sekolahnya karena perihal ejek mengejek. Simpel, tapi ternyata berujung sanksi.
        Kami memberikan nama Dion Prayoga padanya dengan harapan dia akan menjadi anak laki-laki  yang kuat, unggul dan suka membanggakan. Kuteringat akan hal yang kudapati dulu dari orang tuaku semasaku masih kecil. Ayah selalu mendidikku dan ke tiga saudaraku dengan cara yang tegas dan keras. Dan itulah yang kulakukan saat mendidik Dion.
        Dion terancam di keluarkan dari sekolah karena prilakunya yang kasar seperti itu bukan untuk kali pertama. Ia cenderung melakukan kekerasan pada sesama temannya jika merasa ada hal yang kurang ia senangi.
" Anak sejatinya mengikuti dan meniru perilaku orang tuanya dari rumah. Maaf saya mengatakan ini, tapi apakah Dion mengalami kekerasan di dalam rumah?" Tanya seorang psikolog sekolah padaku dan Mas Anton suamiku.