Mohon tunggu...
Aswin Nur Ulinnuha
Aswin Nur Ulinnuha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi "Tradisi Pra Nikah 'Pasar Pitu' Pernikahan Adat Jawa Perspektif Hukum Islam"

2 Juni 2024   00:07 Diperbarui: 2 Juni 2024   00:22 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       Masyarakat Desa Rantewringin tidak menjalankan tradisi pasar pitu dengan cara mendatangi pasar, satu pasar satu hari, namun menyesuaikan dengan kemampuan dan kesempatan waktu yang dimiliki. Selama di dalam pasar, masyarakat Desa Rantewringin yang melaksanakan tradisi pasar pitu tidak boleh berbicara sama sekali atau dalam istilah Jawa disebut dengan mbisu. Oleh karena itu, dalam transaksi jual beli, orang yang melakukan tradisi pasar pitu hanya menunjuk barang yang hendak dibeli dan menyerahkan uang pada penjual. Para penjual pun sudah paham jika orang yang datang tanpa berbicara sama sekali, ia sedang menjalankan tradisi pasar pitu. Sehingga penjual akan memberikan barang yang ditunjuk sesuai dengan uang yang diberikan oleh orang tersebut. Barang- barang yang dibeli oleh masyarakat Desa Rantewringin pada saat menjalankan tradisi pasar pitu tidak ada ketentuan yang pasti. Setelah selesai menjalankan tradisi pasar pitu, masyarakat Desa Rantewringin yang menjalankan tradisi tersebut mengadakan acara slametan sebagai bentuk syukur karena telah menyelesaikan melakukan tradisi pasar pitu. 

       Dari data hasil wawancara pada tokoh agama di Desa Rantewringin yang dilakukan oleh penulis, dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Rantewringin tidak ada yang mewajibkan untuk menjalankan tradisi pasar pitu. Namun, dua dari tiga dusun di Desa Rantewringin sampai saat ini masih melaksanakan tradisi pasar pitu sebagai bentuk penghormatan bagi leluhur- leluhurnya. Sedangkan satu dari tiga dusun di Desa Rantewringin tidak melaksanakan tradisi pasar pitu walaupun mayoritas masyarakat Desa Rantewringin melakukan tradisi tersebut. 

       Kebanyakan dari masyarakat yang tidak melaksanakan tradisi ini dikarenakan keraguan terhadap hukum menjalankan tradisi pasar pitu ini. Jika dilihat dari sudut pandang Hukum Islam, tradisi pra nikah pasar pitu tidak memiliki hubungan dengan rukun dan syarat pernikahan. Tradisi ini juga tidak sejalan dengan tujuan dari syari`at pra nikah dalam Hukum Islam. Tradisi pasar pitu ini merupakan kebiasaan yang dilakukan leluhur Desa Rantewringin yang tidak mengikuti syari`at Islam karena tradisi ini sudah ada jauh sebelum Islam tersebar di Indonesia.

       Lalu pada pembahsan yang kedua saya simpulkan Kembali bahwa 'urf dalam Fiqih Islam diartikan sebagai suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisi. Dari pemaparan sebelumnya, dapat diketahui bahwasannya tradisi pasar pitu masih dilaksanakan oleh mayoritas masyarakat di Desa Rantewringin, meski terdapat perubahan pada proses pelaksanaan tradisi tersebut karena pergeseran waktu dan generasi. Meski demikian, tradisi ini masih banyak dijalankan sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi yang sudah dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Desa Rantewringin secara turun-temurun. 

       Menurut sebagian ulama ushul fiqh, urf bukan merupakan dalil syara yang berdiri sendiri dikarenakan tidak adanya nash yang membahas permasalahan 'urf. Jumhur ulama juga menyepakati bahwa `urf yang dibolehkan menjadi dalil syara merupakan urf yang tidak bertentangan dengan syara baik `urf `amm ataupun `urf khas. 

       Jika dilihat dari segi objeknya, tradisi pasar pitu merupakan jenis urf amali yaitu `urf yang berupa perbuatan. Sedangkan jika dilihat dari segi cakupannya, tradisi pasar pitu masuk ke dalam `urf `amm atau adat yang berlaku secara umum di suatu wilayah. Selain itu, jika dilihat dari segi keabsahannya, tradisi pasar pitu termasuk dalam kategori `urf shahih atau `urf yang tidak bertentangan dengan dalil syara. Tradisi pasar pitu merupakan suatu tradisi yang tidak bertentangan dengan dalil syara`. 

       Dalam filosofi Jawa, angka tujuh sering dilambangkan dengan manusia karena kata pitu yang diartikan dengan kependekan dari kata pitakon (pertanyaan), pitutur (nasehat), dan juga pitulungan (pertolongan). Tujuh dalam Islam juga banyak hal yang dikaitkan dengan angka tujuh seperti jumlah ayat pertama dalam al-Qur`an, jumlah kata dalam kalimat syahadat yaitu tujuh, jumlah thawaf sebanyak tujuh kali putaran, dan masih banyak lagi. Untuk itu, banyaknya jumlah pasar yang dikunjungi yaitu sebanyak tujuh pasar bukanlah suatu yang melanggar syari`at karena niatnya baik untuk mendapatkan pertolongan dari Allah SWT. 

       Dengan terpenuhinya syarat-syarat urf dijadikan sebagai sandaran hukum dalam kaidah ushul fiqh sebagaimana menurut Abdul Karim seperti `urf bersifat umum, `urf diterima dan dikenal oleh mayoritas masyarakat, `urf terpelihara dalam pandangan manusia, `urf tidak bertentangan dengan dalil syara, dan `urf tidak bertentangan dengan `urf di tempat lain. Maka kebolehan menjalankan tradisi pasar pitu dapat dijadikan sandaran hukum bagi masyarakat Desa Rantewringin pada saat ini. 

       Adapun kepercayaan bahwa tradisi pasar pitu merupakan sebuah tanggungan yang harus dilakukan oleh orang tua atau yang mewakilkan merupakan sebuah kepercayaan kepada ucapan-ucapan nenek moyang yang tidak sesuai dengan dalil. Oleh karena itu pentingnya niat yang lurus dan kepercayaan pada kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalam tradisi pasar pitu yang akan menentukan diterima atau tidaknya amal seseorang dihadapan Allah SWT.

BAB V PENUTUP

       Pada bab ini seperti umum biasanya berisikan kesimpulan umum dari skripsi yang ditulis penulis secarak eseluruhan. Hal ini dimaksudkan sebagai penegasan jawaban atas pokok permasalahan yang telah dikemukakan serta saran-saran dari penulis yang kemudian diakhiri dengan daftar pustaka sebagai rujukan serta lampiranyang relevan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun