Mohon tunggu...
Aswin Nur Ulinnuha
Aswin Nur Ulinnuha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi "Tradisi Pra Nikah 'Pasar Pitu' Pernikahan Adat Jawa Perspektif Hukum Islam"

2 Juni 2024   00:07 Diperbarui: 2 Juni 2024   00:22 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

       Hasil wawancara penulis dengan para pelaksana tradisi pasar pitu menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pelaksanaan tradisi pasar pitu baik dari segi waktu maupun pelaksanaannya, meskipun berada dalam satu wilayah desa yang sama. Persamaannya terletak pada jumlah pasar sasaran yaitu tujuh pasar. Tidak ada aturan pasar mana yang boleh dikunjungi, namun tujuh pasar yang bisa dikunjungi untuk memenuhi tradisi pasar pitu yaitu: Pasar Tumengungan, Pasar Jatisar, Pasar Serun, Pasar Warung Pring, Pasar Bocor, Pasar Jogopaten dan juga Pasar Ambal. Pada dasarnya tradisi pasar pitu diawali dan diakhiri di desa Rantewringin dengan upacara slamet kecil-kecilan bersama tetangga atau kerabat terdekat. Tradisi ini dilakukan oleh orang tua calon pengantin, baik laki-laki maupun perempuan yang baru pertama kali menikah di keluarganya. Alasan menghormati tradisi leluhur desa Rantewringin mendominasi pelaksanaan tradisi pasar pitu. 

       Bapak Aspar, salah satu pelaku tradisi pasar pitu mengaku belum mengetahui tujuan dan makna tradisi pasar pitu, begitu pula yang lainnya. Pak Aspar merasa lebih tenteram jika menjalankan tradisi tersebut dan kemungkinan besar akan khawatir jika tidak menjalankan tradisi yang telah lama dipraktekkan oleh nenek moyangnya. Meski tidak ada hukuman dari sudut pandang masyarakat atau tradisi itu sendiri, namun Pak Aspar merasa lebih bebas batin ketika menjalankan tradisi tersebut. Sebagai seorang muslim, Pak Aspar tidak mengaitkan hal-hal mistis dengan tradisi pasar Pitu ini. Pak Aspar hanya menghormati leluhurnya dan mengharapkan perlindungan dari Allah SWT.

       Lalu penjelasan lainya menurut pendapat mereka yang masih mempertahankan tradisi pasar pitu, mengatakan bahwa pasar pitu termasuk salah satu tradisi yang tidak memberatkan. Sebab, tidak ada persyaratan biaya yang spesifik dan out-of-pocket. Menurut mereka, cara tersebut merupakan sesuatu yang perlu dan tidak ada yang serius. Di Desa Lantewaringin, ada sebagian masyarakat yang tidak mengikuti adat istiadat pasar pitu sebelum pernikahan. Ada banyak alasan mengapa orang-orang ini tidak mengikuti praktik pasar pitu. Alasan warga Desa Rantewringin tidak mengikuti adat pasar pitu adalah karena tidak ada dalil Islam yang melarang atau menyetujui adat pasar pitu, sehingga mereka tidak ragu untuk meninggalkan tradisi tersebut.

       Dari hasil wawancara, dua dari tiga orang yang tidak bisa melanjutkan pasar pitu juga menyatakan tidak mempunyai kuasa untuk melanjutkan pasar pitu karena tidak memilikinya keluarga yang mewarisi tradisi masyarakat Jawa yang ditularkan. Menurut wawancara, sebagian besar masyarakat di Desa Rantewringin tidak mengetahui berapa banyak masyarakat yang masih memegang teguh tradisi pasar pitu. Namun di tiga desa Rantewringin, dua di antaranya menjalankan adat pasar pitu, di desa satunya meski sebagian besar masyarakatnya tidak mengikuti adat pasar pitu, tetapi ada Sebagian masyarakat yang masih mengikuti tradisi ini. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Rantewringin mengikuti adat istiadat pasar pitu.

       Ibu Nurhayati, salah satu ahli agama di Desa Rantewringin, mengatakan dia tidak mengetahui kontroversi spesifik yang berbicara tentang budaya pasar pitu. Menurutnya, segala amalan yang masih dilakukan masyarakat Islam saat ini, hendaknya dianggap sebagai amalan dan tujuan yang baik. Minimnya penyebaran ajaran Islam ke berbagai tempat dan rendahnya kesadaran masyarakat membuat masyarakat masih berpegang teguh pada tradisi nenek moyang. Saat ini, menurut Hamam, salah satu penjaga masjid Annur mengatakan bahwa praktik tersebut diperbolehkan jika tidak bertentangan dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai tradisi nenek moyang. Adat istiadat pasar pitu tidak boleh menjadi standar cinta, karena ada harganya dan meninggalkannya adalah dosa. Menurut tokoh agama desa Rantewringin, tidak ada unsur pelanggaran syariat agama dalam pelaksanaan praktik pasar Pitou. Kenyataannya, tidak ada konflik atau permusuhan antara warga yang melakukan praktik tersebut dengan yang tidak. Sebagai umat beragama, Ibu Nurhayati dan Gus Hamam selalu menghormati adat istiadat masyarakat desa Rantewringin.

       Begitulah penjelasan yang bisa saya rangkum dari sekian banyaknya penjelasnya penulis. Karena didesa saya tidak menggunakan tradisi tersebut, jadi saya kurang tahu mengenai tradisi ini, jadi saya tidak mau berkomentar mengenai pendapat para warga. Karna diawal saya juga mengatakan ingin mempelajari tradisi-tradisi Jawa yang belum saya pelajari dan ketahui. Jadi pembahasan diatas akan menambah pembelajaran saya dan sangat bermanfaat bagi saya.

BAB IV PRAKTEK TRADISI PRA NIKAHPASAR PITU DALAM PERNIKAHAN ADAT JAWA, PANDANGAN TOKOH AGAMA, MASYARAKAT, DAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

       Pada bab empat ini penulis membaginya menjadi dua pembahasan, yaitu pembahasan mengenai analisi praktik tradisi pra nikah pasar pitu di Desa Rantewringin, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen, dan tinjauan 'urf terhadap tradisi pra nikah pasar pitu di Desa Rantewringin, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen.

       Terkait pembahasan yang pertama penulis menjelaskan dengan sangat jelas dan banyak. Lalu setelah seluruh penjelasan ini saya fahami beberapa waktu, saya simpulkan diantara syari`at Islam sebelum melangsungkan pernikahan yaitu memilih calon pasangan sesuai syari`at Islam, ta`aruf( perkenalan), dan proses khitbah( peminangan). Dari banyaknya proses tradisi pernikahan adat Jawa, terdapat beberapa tahapan yang memiliki tujuan yang sama dengan syari`at Islam yang telah ditetapkan. Seperti tradisi notoni yaitu melihat kondisi mempelai pengantin perempuan yang memiliki tujuan seperti syari`at ta`aruf, ada pula tradisi nglamar atau meminang sama seperti proses khitbah. Lalu tradisi pingitan yaitu mempelai perempuan dan mempelai laki- laki tidak boleh bertemu satu sama lain. 

       Masyarakat Desa Rantewringin, Kecamatan Buluspesantren, Kecamatan Kebumen sebelum melangsungkan akad nikah terlebih dahulu melaksanakan salah satu tradisi yang masih dijalankan hingga saat ini yakni tradisi pasar pitu. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Desa Rantewringin dengan adanya beberapa perubahan dengan tradisi yang dilakukan oleh nenek moyang Desa Rantewringin. Tradisi pasar pitu dilaksanakan setelah terjadinya peminangan dan sebelum dilaksanakannya akad nikah oleh mempelai laki- laki. Tradisi ini dijalankan oleh orangtua mempelai pengantin yang baru pertama kali menikahkan anaknya baik anak laki- laki maupun perempuan. 

       Pelaksanaan tradisi ini dapat pula diwakilkan oleh orang lain jika orangtua mempelai berhalangan. Praktik pasar pitu diawali dengan adanya acara slametan oleh keluarga mempelai pada tetangga dan keluarga dekat. Selanjutnya, salah satu orangtua melakukan proses belanja di tujuh pasar yang berbeda baik di dalam Kabupaten Kebumen maupun di luar Kabupaten Kebumen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun