BAB IIIÂ GAMBARAN UMUM TRADISI PRA NIKAH 'PASAR PITU' DI DESA RANTEWRINGIN, KECAMATAN BULUS PESANTREN, KABUPATEN KEBUMEN
    Pada bab tiga ini penulis membaginya menjadi dua pembahasan. Pembahasan yang pertama yaitu kondisi geografis dan sosial keagamaan di Desa Rantewringin, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen. Dan pembahasan yang kedua yaitu praktik tradisi pra nikah 'pasar pitu' di Desa Rantewringin, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen. Saya disini seperti biasa akan membahas secara bergantian mengenai pembahasan ini.
    Pada pembahasan pertama penulis menjelaskan bahwa kondisi geografis Desa Rantewringin yaitu desa yang terletak di Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah Desa Rantewringin yaitu 1,46 km2 dibagi menjadi 4 RW dan 16 RT. Desa Rantewrigin berbatasan dengan Desa Tanjungsari di sebelah Utara, berbatasan dengan Desa Tanjungrejo di sebelah Timur, berbatasan dengan Desa Ambalkumolo di sebelah Selatan, serta berbatasan dengan Kecamatan Klirong di sebelah Barat.
    Penulis juga menjelaskan dari 3346 masyarakat di Desa Rantewringin, menurut data profil Desa Rantewringin, keseluruhannya merupakan masyarakat yang beragama Islam. Tidak ada warga yang memeluk agama selain Islam. Sarana peribadatan yang dimiliki Desa Rantewringin yaitu Masjid sejumlah 3 buah dan Musholla sebanyak 12 buah. Walaupun keseluruhan masyarakat Desa Rantewringin merupakan masyarakat Muslim, namun tidak seluruh masyarakat memiliki ilmu yang tinggi terhadap pengetahuan Islam khususnya Hukum Islam. Namun, aktifitas peribadatan masyarakat di Desa Rantewringin termasuk tinggi. Hal ini dibuktikan dengan aktifnya seluruh Masjid dan Musholla di desa tersebut.
    Lalu pada pembahasan yang kedua, penulis membaginya menjadi dua bagian, yaitu asal-usul tradisi pra nikah 'pasar pitu' dan tradisi pra nikah 'pasar pitu'. Pada pembahasan yang pertama mengenai asal-usul tradisi pra nikah 'pasar pitu' penulis menjelaskan berdasarkan beberapa sumber dan pengakuan warga Desa Rantewringin, asal muasal tradisi pasar pitu belum diketahui secara pasti. Pak Aspar, salah satu pengamal tradisi 'pasar pitu' mengatakan, masyarakat Jawa zaman dahulu sudah sangat lama mengamalkan tradisi ini dan sangat jarang ada orang yang mengetahui secara pasti asal muasal dan makna simbolisnya dari tradisi ini.
    Tradisi pasar pitu modern juga banyak mengalami perubahan karena masyarakat modern kurang memahami kondisi dan proses tradisi tersebut. Penyelenggaraan ritual dalam tradisi pasar pitu pada mulanya erat kaitannya dengan makna simbolik yang mistis dan gaib. Seperti pelaksanaan tradisi yang dibatasi waktu tertentu yaitu tujuh hari, pemilihan pasar sebagai tempat adat yang berjumlah tujuh pasar, larangan berbicara saat bepergian, dan pelaksanaan jual beli. transaksi-transaksi tersebut. Masyarakat Jawa zaman dahulu tentu mempunyai makna dan simbol-simbol tertentu, yang berkaitan dengan hal-hal mistis dan gaib serta mengatur dan menuntun perilaku masyarakat.
    Zaman dan generasi berubah, tradisi berubah, begitu pula tradisi, bahkan makna, pelaksanaan tradisi tidak lagi diperhatikan. Saat ini masyarakat yang melakukan upacara adat sudah tidak ada lagi yang berhubungan dengan hal-hal mistis, apalagi di masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Mereka menggunakan dasar rasionalitas, efisiensi dan utilitas dalam setiap tradisi yang mereka lakukan. Masyarakat Jawa masih kental dengan tradisinya, meskipun pelaksanaannya hanya sebatas menghormati leluhur dan bangga terhadap tradisi yang dimiliki.
    Begitulah penjelasan mengenai asal-usul tradisi pra nikah 'pasar pitu' yang dijelaskan oleh penulis yang dapat saya fahami. Menurut saya penejelasan ini sudah cukup jika hanya ingin dimengerti, tetapi jika ingin mendalami makna tradisi pra nikah 'pasar pitu' ini masih kurang penjelasanya. Karena pada penjelasan ini tidak dijelaskan makna-makna dan symbol mistis yang terkandung dalam tradisi ini. Akan tetapi jika hanya ingin sekedar mengetahui secara singkat, seperti yang saya katakan tadi, penjelasan yang dijelaskan oleh penulis sudah cukup untuk difahami.
    Lalu pada bagian kedua terkait tradisi pra nikah 'pasar pitu' yang di jelaskan penulis dapat saya fahami. Lalu pemahaman yang bisa saya ringkas yakni, bawasanya tradisi pra nikah pasar pitu merupakan sebuah tradisi pra nikah adat Jawa yaitu tradisi belanja kebutuhan perkawinan yang dilakukan oleh orang tua mempelai yang akan menikahkan anaknya untuk pertama kalinya ke tujuh pasar dalam kurun waktu tujuh hari dengan cara berjalan kaki, selama perjalanan dan transaksi jual beli, tidak boleh mengeluarkan suara atau mbisu dan hanya boleh dengan isyarat.
    Salah satu warga Desa Rantewringin yang menjalankan tradisi 'pasar pitu' Ibu Eko Siliatsih mengatakan, tradisi pra nikah 'pasar pitu' adalah tradisi berbelanja di tujuh pasar berbeda selama tujuh hari atau sekarang tidak boleh tujuh hari, sesuai kemauan dan kemampuan pelaku tradisi 'pasar pitu'. Tradisi pasar pitu dilakukan oleh orang tua kedua mempelai yang menikahkan anaknya terlebih dahulu. Sebelum dan sesudah proses pembelian, diadakan acara slamet di tujuh pasar, memohon keselamatan kepada Allah SWT.
    Proses jual beli yang berlangsung juga unik, yaitu diam atau tidak boleh berbicara, sehingga tidak ada negosiasi atau pernyataan persetujuan. Selain itu, dedaunan atau kerikil harus diambil dari setiap pasar dan dibawa pulang untuk dibuang.