Mohon tunggu...
Astrid Rahma
Astrid Rahma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Writer

Senang membaca buku-buku bergenre fantasi dan mempelajari kosakata baru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perpustakaan Kura-kura

30 September 2024   12:02 Diperbarui: 30 September 2024   15:54 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perpustakaan adalah tempat yang ajaib.

Kalau kubilang begitu, apakah kau akan percaya? 

Jujur sajalah, tidak usah berbohong.

Aku tidak akan terkejut lagi jika ada yang menganggapku pembual. Aku sudah kebal. Akui saja meskipun kau akan membuatku sedikit kesal.

Karena di lingkunganku ini, tak ada satu pun yang mempercayaiku.

Ngomong-ngomong, aku H. Itu inisial namaku, kau tak perlu tahu kepanjangannya. Aku mempunyai orang tua yang berorientasi tinggi pada prestasi akademik, serta satu adik yang selalu bebas dari tuntutan berat itu. Tapi sudah ya, jangan tanya lebih soal keluargaku, aku malas menceritakannya, biarlah ini menjadi ceritaku saja—Sesekali boleh, kan?

Setiap hari, sepulang dari sekolah, kegiatanku hanya berkunjung ke perpustakaan berbentuk kura-kura raksasa di dekat rumah. Lebih tepatnya, ia terletak di pesisir pantai, di perbatasan antara daratan dan lautan yang senang berbincang dengan riuh. Jika kautanya bagaimana aku bisa tahu soal itu, jawabannya terlihat jelas pada deburan ombak yang heboh. 

Tak percaya, ya? Ya sudahlah, aku memang senang melebih-lebihkan sesuatu.

Setiap aku melangkahkan kakiku ke dalamnya, seketika suasana di sekitarku berubah. Terkadang aku melihat peri-peri beterbangan di sekitar rak buku, bunga-bunga poppy biru yang mengeluarkan serbuk kelap-kelip, serta bunga-bunga terompet yang berkolaborasi menjadi sebuah orkestra. Terdengar mustahil memang, apalagi jika kubilang bunga-bunga itu tumbuh dari sulur yang merambat di dinding. Kau pasti tidak akan percaya.

Terserahlah, lagipula percuma saja kalau kujelaskan detailnya.

Keajaibannya pun tak berhenti sampai di situ. Perpustakaan ini masih memiliki banyak jenis sihir yang bisa kaucoba satu per satu. 

Sihir? Membual apa lagi, sih, pemuda ini? Begitu, kan, isi kepalamu?

Kau harus terbiasa dengan itu saat membaca cerita ini. Lagipula ini ceritaku, boleh, kan, jika aku yang menentukan aturannya?

Sihir yang kumaksud tadi ... bisa kau ganti saja katanya dengan sebutan "buku". Aku mendapat ide sebutan itu setelah diriku dijuluki "pengikut penyihir" karena bualanku.

Sekarang sudah paham, kan? Kalau begitu akan kulanjutkan ceritaku.

Penjaga perpustakaan ini adalah seorang kakek tua dengan kacamata baca yang setia menetap di ujung hidungnya. Panggil saja kakek Ajaib. Wajahnya ramah, suaranya pun terdengar seperti sedang menyambut dirimu pulang ke rumah, sangat teduh dan menenangkan. Kalau yang ini, kau harus percaya, kau pun bisa memastikannya sendiri.

Dan aku bisa membuktikannya.

Aku ini pemuda yang sedang sakit. Sakitku tidak terlihat, dan untuk apa juga kuperlihatkan? Aku tidak suka melebih-lebihkan sakitku. 

Satu-satunya obat dari sakitku hanyalah membaca—mempelajari sihir di perpustakaan ini. Dan seperti yang kubilang tadi, perpustakaan ini ajaib, maka secara ajaib pula, penjaganya pun tahu soal sakit yang kuderita.

Aku juga sering datang dengan luka dan memar di beberapa bagian tubuhku. Sakit yang ini terlihat, sih, tapi tak usah kupamerkan sajalah. Toh, tak akan ada yang prihatin, kecuali kakek Ajaib.

Luka-luka itu kudapatkan karena aku senang membual soal perpustakaan ini. Ya maaf, aku hanya sedang mencari teman bercerita, salahkah? Bahkan saat kuceritakan ke ayah dan ibu, aku malah dibilang sombong. Katanya, aku terlalu memamerkan ilmuku kepada yang lain, maka dari itulah aku dirundung habis-habisan.

Yah ... ternyata memang salah kalau aku mencari teman bercerita. Tapi kau baik sekali jika masih ingin terus membaca ceritaku. Akan kuberi apresiasi setinggi-tingginya. Manusia senang sekali, kan, jika diberi apresiasi?

Lalu setelah ratusan kali matahari dan bulan saling menyapa di kala senja, perundungan itu pun mencapai puncaknya.

Sial sekali karena orang tuaku sedang di luar kota, membawa adikku yang katanya tak bisa ditinggal sendirian. Padahal saat seumurnya, aku sudah dituntut untuk mandiri. 

(Maaf, aku malah mengoceh dan keluar dari topik utama).

Perundungan itu terjadi saat aku benar-benar sedang tidak sehat. Kali ini nama sakitnya adalah demam, kau pasti tahu itu. Dan yang betul-betul membuatku seperti sedang jatuh tertimpa menara adalah hari ini sedang hujan deras.

Aku dipukuli, ditendang, bahkan dilempari bebatuan kecil yang sedang tertidur pulas di tanah. Sakit, yang ini sakitnya selalu dua kali lipat, karena sebagian dapat kaulihat, sebagian lagi tidak.

Sampai pada puncaknya, mereka mematahkan kakiku. 

Yah ... aku masih bisa bergerak, sih, meskipun dengan menyeret tubuhku menggunakan tangan. Tapi itu pasti melelahkan. Aku malas banyak bergerak ketika sedang sakit.

Maka kupasrahkan saja diriku yang sedang sekarat itu. Tetesan air hujan beberapa kali bertegur sapa dengan air mataku, juga dengan darah yang aku muntahkan ke tanah. Tak ada yang menyadarinya. Aku pun tidak terkejut, ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Tapi di sisi lain, kini pasukan air hujan pun ikut mengetahui sakitku. 

Aku ditinggalkan sendirian. Demamku semakin parah karena memang sudah berlangsung selama tiga hari. Dan selama tiga hari itu pula aku tetap dipukuli, malah mereka sepertinya lebih senang saat melihatku semakin tak berdaya.

Belum sempat berpikir akan mati, tiba-tiba keajaiban terjadi. Kakek Ajaib muncul secara ajaib di sana. Dengan payung dan peri-peri kecil yang ikut bersamanya.

Aku tak ingat apa yang terjadi setelah itu, tetapi tiba-tiba saja aku sudah berada di perpustakaan, di depan perapian. Kakek Ajaib sadar jika aku sudah siuman, kemudian ia menanyakan bagaimana keadaanku, dan apakah aku mau diantar pulang ke rumah.

Kujawab, tidak. Percuma, tidak ada siapa pun di rumah.

Kujelaskan bahwa orang tuaku akan pulang sekitar dua hari lagi. Oleh karena itu, kakek Ajaib mengizinkanku menginap di perpustakaan sampai mereka pulang. Aku langsung setuju tanpa basa-basi.

Waktu berjalan lambat, mungkin jarum jam juga lelah karena setiap hari harus berputar, tapi aku menikmati waktu yang bergerak pelan itu. Kucoba beberapa sihir baru sambil menyeruput teh bunga melati. 

Ckckck, rugi sekali mereka yang tidak senang mencoba sihir-sihir baru sepertiku. Padahal, sihir-sihir ini bukan hanya sekadar khayalan belaka seperti yang mereka katakan. Tak mungkin seorang penyihir menciptakan sihir tanpa filosofi yang mendalam, tanpa tujuan yang jelas, dan tanpa tekad yang menggebu-gebu. Tak tahu saja orang-orang itu bahwa sihir-sihir ini sangat berkaitan dengan kehidupan mereka.

Sayang sekali, ya, mereka tidak mau belajar. Padahal, sudah ada panduannya.

Detik demi detik berlalu, aku berpindah tempat duduk ke dekat jendela. Dengan selimut yang membungkus tubuhku, aku kembali mencoba sihir-sihir baru di atas meja.

Saat mataku mulai lelah, sejenak kulihat pemandangan di luar. Bulan sedang menjalankan tugasnya, yakni memberikan sinar kepada orang-orang yang jarang menyadari keberadaannya. Kuat sekali ya, dia? Bisakah aku sekuat itu?

Lama-lama mataku benar-benar lelah. Maka kupejamkan saja perlahan-lahan, sebentar lagi alam mimpi pasti akan menyambutku.

Dan benar saja.

Saat aku membuka mata, kulihat banyak sekali peri-peri yang belum pernah kutemui sebelumnya. Bahkan kali ini, ada pula ubur-ubur biru bercahaya, serta ikan-ikan kecil berwarna-warni yang berenang ke sana kemari. Bintang-bintang terlihat lebih cerah dari biasanya. Dan di luar sana, bulan tetap bersinar terang seperti yang tadi kulihat.

Aku mencoba berjalan tanpa selimut. Namun secara ajaib, kali ini aku juga bisa melayang!

Ikan-ikan kecil tadi sepertinya sedang bersenda gurau satu sama lain, beberapa ubur-ubur biru pun sesekali menyapa mereka saat berpapasan. Apakah ini dampak dari mempelajari sihir terlalu banyak? Sudah di tingkat berapakah diriku?

Aku terbang ke sana kemari, mengejar ikan-ikan tadi. Rupanya mereka juga bermain bersama para bintang, indah sekali saat kupandang. Apakah kakek Ajaib juga menyadari pemandangan luar biasa ini?

Ah ... ia tertidur, ya sudahlah.

Aku terus bermain bersama mereka. Sesekali aku duduk untuk istirahat, sesekali aku berbaring di lantai sambil menatap langit-langit.

"Tuhan, jika ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku." Begitulah doaku.

Waktu sepertinya terus berjalan, tapi aku tidak peduli. Aku hanya senang memandangi perpustakaan yang tiba-tiba saja ramai pengunjung. Tapi percuma saja, sih, mereka tak dapat melihat keajaiban-keajaiban ini—mungkin hanya sebagian. Bahkan kali ini kakek Ajaib pun tidak menyadarinya.

Mengapa?

Di tengah renunganku, tiba-tiba muncul seseorang yang tidak pernah kusangka.

Ibuku.

Ia duduk di kursi favoritku, sambil mempelajari sihir yang lucu. Aku tahu itu lucu karena memang selalu kucoba saat sedang dilanda duka. Lucu sekali sampai aku tak bisa menahan tawaku.

Anehnya ibuku menangis. Bu? Apakah kau salah mengerti sihir ini? Haruskah kuajari?

Tapi ibu tidak menoleh sama sekali, bahkan saat aku berdiri di sampingnya.

Ah ... sepertinya kini aku pun tidak terlihat. Aku sudah menjadi satu bersama kumpulan bualan yang selalu kuucapkan.

Apakah itu kabar yang menyedihkan? Kurasa tidak.

Lagipula, aku senang berada di sini. Dan alangkah baiknya Tuhan mengabulkan doa si tukang pembual ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun