Sihir? Membual apa lagi, sih, pemuda ini? Begitu, kan, isi kepalamu?
Kau harus terbiasa dengan itu saat membaca cerita ini. Lagipula ini ceritaku, boleh, kan, jika aku yang menentukan aturannya?
Sihir yang kumaksud tadi ... bisa kau ganti saja katanya dengan sebutan "buku". Aku mendapat ide sebutan itu setelah diriku dijuluki "pengikut penyihir" karena bualanku.
Sekarang sudah paham, kan? Kalau begitu akan kulanjutkan ceritaku.
Penjaga perpustakaan ini adalah seorang kakek tua dengan kacamata baca yang setia menetap di ujung hidungnya. Panggil saja kakek Ajaib. Wajahnya ramah, suaranya pun terdengar seperti sedang menyambut dirimu pulang ke rumah, sangat teduh dan menenangkan. Kalau yang ini, kau harus percaya, kau pun bisa memastikannya sendiri.
Dan aku bisa membuktikannya.
Aku ini pemuda yang sedang sakit. Sakitku tidak terlihat, dan untuk apa juga kuperlihatkan? Aku tidak suka melebih-lebihkan sakitku.Â
Satu-satunya obat dari sakitku hanyalah membaca—mempelajari sihir di perpustakaan ini. Dan seperti yang kubilang tadi, perpustakaan ini ajaib, maka secara ajaib pula, penjaganya pun tahu soal sakit yang kuderita.
Aku juga sering datang dengan luka dan memar di beberapa bagian tubuhku. Sakit yang ini terlihat, sih, tapi tak usah kupamerkan sajalah. Toh, tak akan ada yang prihatin, kecuali kakek Ajaib.
Luka-luka itu kudapatkan karena aku senang membual soal perpustakaan ini. Ya maaf, aku hanya sedang mencari teman bercerita, salahkah? Bahkan saat kuceritakan ke ayah dan ibu, aku malah dibilang sombong. Katanya, aku terlalu memamerkan ilmuku kepada yang lain, maka dari itulah aku dirundung habis-habisan.
Yah ... ternyata memang salah kalau aku mencari teman bercerita. Tapi kau baik sekali jika masih ingin terus membaca ceritaku. Akan kuberi apresiasi setinggi-tingginya. Manusia senang sekali, kan, jika diberi apresiasi?