Mohon tunggu...
Astrid Juliani
Astrid Juliani Mohon Tunggu... Akuntan - Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana: NIM 55519120017

Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana: NIM 55519120017

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB 2 - Prof Dr. Apollo: Pemajakan atas Penghasilan dari Kegiatan Pelayaran, Transportasi Perairan Darat, dan Penerbangan Berbasis P3B

10 November 2021   08:27 Diperbarui: 10 November 2021   13:51 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Pendahuluan

Isu pajak berganda terkait penghasilan atas kegiatan pelayaran, transportasi perairan darat, serta penerbangan adalah isu yang sudah lama dibahas di forum pajak internasional. Kegiatan pelayaran identik dengan kegiatan pengelolaan alat transportasi laut yang berupa kapal. Kemudian, kegiatan transportasi perairan darat identik dengan kegiatan pengelolaan alat transportasi melalui sungai/danau. Lalu, kegiatan penerbangan identik dengan kegiatan pengelolaan alat transportasi udara yaitu pesawat.

Fungsi P3B untuk mengatasi masalah pajak berganda atas 3 kegiatan tersebut masih sangat terbatas saat sebelum tahun 1900-an. Saat itu, beberapa perjanjian dagang dan navigasi lebih berfungsi untuk mengatasi permasalahan pajak berganda atas penghasilan dari kegiatan usaha secara umum (Maisto, 2003).

Kemudian, awal tahun 1900-an, peraturan mengenai pengenaan pajak atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan transportasi perairan darat yang didapatkan perusahaan dari luar negeri dilegalkan oleh beberapa negara. Contohnya, pada tahun 1914 negara Belanda membebaskan penghasilan atas kegiatan pelayaran dan transportasi perairan darat oleh perusahaan luar negeri. Selain itu, sekitar tahun 1920 negara Prancis, Italia, serta Jepang juga membebaskan penghasilan atas kegiatan pelayaran yang dilakukan perusahaan yang kapalnya terdaftar di luar negeri. Lalu, Amerika Serikat pada tahun 1920 juga membebaskan penghasilan atas kegiatan pelayaran yang dilakukan perusahaan di luar negeri dengan ketentuan negara lain tersebut harus juga membebaskan penghasilan yang didapatkan perusahaan Amerika Serikat yang melakukan aktivitas serupa (Maisto, 2003).

Aturan mengenai hak pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional, juga kegiatan transportasi perairan darat sudah berevolusi dari aturan awal dalam perjanjian dagang dan navigasi sehingga digabung dengan aturan pemajakan atas laba usaha dalam Draf 1927 yang kemudian dipisahkan pada Draf 1935 dari draf LBB. Seiring perkembangannya, ketentuan pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional juga kegiatan transportasi perairan darat sudah mengalami beberapa revisi, yaitu hak pemajakan sepenuhnya diserahkan pada negara tempat real centre of management dari perusahaan yang menyelenggarakan aktivitas tersebut. Selanjutnya, hak pemajakan diserahkan kepada negara asal perusahaan yang menyelenggarakan aktivitas sampai pada pembagian hak pemajakan antara 2 negara yang menandatangani P3B (Darussalam dan Septriadi, 2017).

2. Penghindaran Pajak Berganda

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau disingkat P3B yaitu pengenaan pajak yang melebihi 1 kali oleh 2 negara ataupun lebih yang dikenakan atas penghasilan tertentu yang sama. P3B bertujuan untuk menentukan alokasi hak atas perpajakan dari transaksi yang timbil antara negara sumber. Terdapat 5 tujuan P3B, di antaranya 1) menghindari pajak berganda yang tentunya membebani perusahaan, 2) meningkatkan foreign investment, 3) meningkatkan SDM, 4) pertukaran informasi demi mencegah penggelapan pajak, serta 5) menyetarakan kedudukan negara (Kemenkeu, 2020).

P3B membutuhkan Mutual Agreement Procedure dari Direktur Jenderal Pajak serta otoritas pajak negara/yurisdiksi mitra P3B. Permintaan pelaksanaan Mutual Agreement Procedure bisa diajukan oleh Wajib Pajak lewat DJP, otoritas pajak negara mitra P3B /yurisdiksi mitra P3B. Per 2020, terdapat 70 mitra P3B yang melakukan kerja sama dengan Indonesia (Kemenkeu, 2020).

DJP berhak melakukan pertukaran informasi sekaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan pembahasan perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra sesuai dengan ketetapan P3B. Kemudian, DJP bisa meminta informasi kepada WP maupun pihak lain akan hal-hal yang berhubungan dengan perpajakan (Kemenkeu, 2020).

3. Aspek Perpajakan

Ada dua alternatif mengenai ketentuan perpajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran, transportasi perairan darat, serta penerbangan berdasarkan UN Model, sebutb saja alternatif A & alternatif B. Alternatif A sudah mengadopsi secara penuh aturan berdasarkan OECD Model.

a. Alternatif A dari OECD Model

Pasal 8 OECD Model atau alternatif A Pasal 8 UN Model membahas mengenai aturan perpajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran & penerbangan pada jalur internasional juga penghasilan atas kegiatan transportasi perairan darat. Aturan ini memperlakukan secara sama barang atau orang sebagai objek transportasi (Holmes, 2007).

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) OECD Model, hak perpajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran & penerbangan di jalur internasional diserahkan sepenuhnya pada negara tempat perusahaan yang menyelenggarakan aktivitas pelayaran serta penerbangan. Pada prinsipnya, tempat perusahaan efektif menurut ketentuan Pasal 8 OECD Model telah berkembang sebagaimana dapat dilihat dari paparan mengenai aspek legal historis Pasal 8 OECD Model (Darussalam dan Septriadi, 2017).

Kofler (2017) mengemukakan bahwa alasan hak perpajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan pada jalur internasional diserahkan secara eksklusif pada 1 negara dikarenakan perusahaan yang menyelenggarakan aktivitas ini lebih rawan menimbulkan pajak berganda dibanding dengan perusahaan yang menyelenggarakan aktivitas komersial lainnya. Selain alasan itu, terdapat perjanjian internasional sebelumnya yang mengatur pelepasan hak perpajakan pada negara asal penghasilan yang diperoleh oleh perusahaan pelayaran & penerbangan asing atas kegiatan pelayaran & penerbangan dengan dasar asas timbal balik, serta menjadi background hak perpajakan atas penghasilan ini hanya diserahkan pada 1 negara.

Walau demikian, terbuka peluang bagi para negara yang menyelenggarakan P3B untuk tidak menyerahkan hak perpajakan seluruhnya kepada negara tempat manajemen berada, namun pada negara domisili perusahaan yang menyelenggarakan aktivitas pelayaran dan penerbangan pada jalur internasional tersebut. Pertimbangan diserahkannya hak perpajakan kepada negara domisili perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan pelayaran dan penerbangan di jalur internasional yaitu kesulitan administrasi untuk menentukan tempat manajemen efektif, utamanya bagi negara yang tidak menerapkan konsep tempat manajemen efektif di ketentuan domestiknya (Pickering, 2013).

Vogel (1997) mengungkapkan bahwa prioritas pemberian hak perpajakan seluruhnya pada negara tempat manajemen efektif dibandingkan pada negara domisili didasari pada pertimbangan bahwa perusahaan yang mengerjakan kegiatan pelayaran & penerbangan bisa berposisi atau didirikan pada suatu negara, namun menyelenggarakan kegiatan usaha tersebut di negara lainnya. Dengan menyerahkan hak perpajakan hanya pada negara tempat manajemen efektif, ketentuan tersebut bisa mencegah penghindaran pajak lewat pendirian perusahaan pada negara lain untuk mendapatkan manfaat pajak serta supaya lebih menjamin kaitan antara hak perpajakan dengan kegiatan ekonomi di suatu negara.

Aturan dalam Pasal 8 OECD Model adalah aturan yang sifatnya khusus atas ketentuan Pasal 7 OECD Model yang secara umum berlaku atas laba usaha. Akan tetapi, Pasal 8 ayat (1) OECD Model bisa diterapkan hanya dalam konteks aktivitas pelayaran atau penerbangan pada jalur internasional sebagaimana sudah dijabarkan di atas. Aturan Pasal 8 OECD Model hanya bisa diterapkan jika posisi manajemen efektif dari perusahaan berada di salah 1 negara yang menyelenggarakan P3B.

Lingkup usaha transportasi pada Pasal 8 ayat (1) OECD Model yaitu kapal dan pesawat. Kemudian lingkup transportasi pada Pasal 8 ayat (2) OECD Model yaitu boat. Jones (2005) mengemukakan perbedaan penggunaan transportasi tidak berdasarkan pada bentuk legalnya. Tetapi, lebih pada kebiasaan pemakaian istilah ini. Biasanya, penggunaan istilah ship mengacu pada lingkup transportasi yang berada di laut, sedangkan istilah boat mengacu pada lingkup transportasi di perairan darat. Kemudian, dalam hal tidak ada ketentuan yang menjelaskan perbedaan ke 2 lingkup transportasi ini dalam P3B, perbedaan kedua lingkup transportasi tersebut bisa dijelaskan sesuai ketentuan domestik dari negara yang menyelenggarakan P3B. Apabila mengacu pada hukum di negara Jerman, hal yang menjadi penentu untuk membedakan kedua lingkup transportasi tersebut yaitu apakah lingkup transportasi itu didaftarkan untuk kegunaan di laut atau di perairan darat.

Sama dengan Pasal 8 ayat (1) OECD Model, di Pasal 8 ayat (2) OECD Model, hak perpajakan atas penghasilan kegiatan transportasi perairan darat via pengoperasian boat seluruhnya diserahkan kepada negara tempat manajemen efektif perusahaan berusaha. Namun, tidak sama dengan Pasal 8 ayat (1) OECD Model, lingkup Pasal 8 ayat (2) OECD Model tidak cuma terbatas pada aktivitas transportasi perairan darat jalur internasional. Hal tersebut berarti bahwa negara posisi manajemen efektif juga mempunyai hak perpajakan seluruhnya atas aktivitas transportasi di perairan darat yang diselenggarakan antara 2 tempat pada negara sumber.

Hak pengenaan pajak berdasarkan Pasal 8 ayat (1) OECD Model dikenakan terhadap banyak model kerja sama usaha ini. Namun, apakah hak pengenaan pajak yang diserahkan pada negara tempat manajemen efektif dimaksudkan untuk semua laba dari kerja sama usaha? Atau hanya sebagian laba yang didistribusikan pada negara tempat manajemen efektif atas perusahaan yang berkontribusi dalam kerja sama usaha tersebut? Paragraf 24 di Pasal 8 ayat (4) OECD Model mengatakan bahwa hak pengenaan pajak dari negara posisi manajemen efektif hanya melingkupi bagian laba yang didapatkan dari kontribusi dalam kerja sama usaha tersebut.

b. Alternatif B dari UN Model

Tidak sama dengan aturan pada alternatif A Pasal 8 UN Model, menurut Pasal 8 ayat (2) alternatif B UN Model, negara sumber juga berhak atas pengenaan pajak atas penghasilan atas kegiatan pelayaran pada jalur internasional jika aktivitas pelayaran diselenggarakan dengan teratur pada negara sumber. Dalam case aktivitas pelayaran diselenggarakan dengan teratur pada negara sumber, negara sumber mempunyai hak pengenaan pajak atas bagian tertentu atas seluruh laba yang didapatkan dari aktivitas pelayaran itu. Pertimbangan diadakannya aturan alternatif ini pada UN Model yaitu untuk mengatasi negara berkembang yang kebanyakan tidak mempunyai banyak perusahaan pelayaran domestik, namun mempunyai pelabuhan yang dipakai oleh kapal dari perusahaan pada negara lain. Dalam keadaan ini, negara berkembang itu berpotensi kehilangan basis perpajakannya walaupun ada hubungan ekonomi yang kuat dan sifatnya konsisten antara pemakaian pelabuhan dengan aktivitas pelayaran dari negara lain pada negara berkembang tersebut (Lennard, 2009).

Sesuai dengan alternatif B atas Pasal 8 ayat (2) UN Model, negara sumber mempunyai hak pengenaan pajak atas penghasilan dari aktivitas pelayaran yang diselenggarakan pada jalur internasional, terlepas dari ada/tidaknya Bentuk Usaha Tetap pada negara sumber itu dan apakah penghasilan atas aktivitas pelayaran teratribusi pada Bentuk Usaha Tetap. Hal krusial yang harus ditekankan dari aturan ini yaitu hak pengenaan pajak negara sumber hanya terbatas atas alokasi tertentu dari seluruh penghasilan yang didapatkan oleh perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan pelayaran. Besaran seluruh laba yang didapatkan oleh perusahaan ditentukan oleh aparat pajak negara tempat manajemen efektif perusahaan. Dalam dunia praktik, notifikasi atas ketetapan pajak perusahaan itu bisa dijadikan bukti tentang banyaknya seluruh laba yang didapatkan. Untuk menentukan besaran laba dan basis alokasinya, ke 2 otoritas pajak bisa melakukan negosiasi bilateral lewat Mutual Agreement Procedure sesuai pasal 25 UN Model (Darussalam dan Septriadi, 2017).

c. Ketentuan Domestik dan P3B Indonesia

Aturan pajak domestik dari penghasilan yang didapatkan subjek pajak perusahaan pelayaran dan penerbangan luar negeri terdapat pada Pasal 15 UU PPh yang kemudian diatur lebih rinci sesuai KMK Nomor 417/KMK.04/1996 mengenai Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto untuk subjek pajak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri. Dalam KMK ini, besaran pajak penghasilan bagi subjek pajak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri adalah sebesar 2,64% dari peredaran bruto.

Sebagai contoh kasus, PT KLM memanfaatkan jasa angkutan perusahaan pelayaran Seacom Inc yang berlokasi di Singapura dan mendirikan BUT di Indonesia. Seacom Inc memuat barang PT KLM dari pelabuhan di Indonesia menuju pelabuhan di Singapura seperti gambar berikut:

Gambar 2: Ilustrasi Kasus
Gambar 2: Ilustrasi Kasus

Sesuai Pasal 3 ayat (1) huruf h P3B Indonesia & Singapura, jalur muatan barang via kapal dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan Singapura masuk dalam golongan jalur internasional. Maka, meskipun arti dari peredaran bruto sesuai KMK417 menyatakan bahwa pengertian peredaran bruto merupakan balas jasa atas pengangkutan barang dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan luar negeri, namun karena Pasal 3 ayat (1) P3B Indonesia & Singapura sudah menggolongkan jalur pengangkutan barang itu sebagai jalur internasional, atas penghasilan yang didapatkan Seacom Inc patuh pada peraturan pada Pasal 8 ayat (2) P3B Indonesia & Singapura.

Sesuai pada Pasal 8 ayat (2) P3B Indonesia & Singapura di contoh kasus, Indonesia mempunyai hak pengenaan pajak atas penghasilan yang didapatkan oleh Seacom Inc. Akan tetapi, pengenaan pajak di Indonesia mesti dikurangkan sebesar 50% dari ketentuan tarif. Karena Seacom Inc mempunyai BUT di Indonesia, maka tarif pengenaan pajak atas penghasilan yang didapatkan oleh Seacom Inc yaitu sebesar 1,32% (50% x 2,64%) (Darussalam dan Septriadi, 2017).

Daftar Pustaka 

Darussalam., & Septriadi, D. 2017. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda: Panduan, Interpretasi, dan Aplikasi. Jakarta: PT Dimensi Internasional Tax.

Holmes, K., 2007. International tax policy and double tax treaties: an introduction to principles and application. IBFD.

Jones, A., 2005. Place of effective management as a residence tie-breaker. Bulletin for International Taxation, 20.

KMK Nomor 417/KMK.04/1996 mengenai Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto untuk subjek pajak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri.

Kofler, G. Article 8 OECD Model: Time for Change?. dalam Taxation of Shipping and Air Transport in Domestic Law. EU Law and Tax Treaties, ed. Guglielmo Maisto (The Netherlands: IBFD, 2017)

Lennard, M., 2009. The UN Model Tax Convention as compared with the OECD Model Tax Convention--Current points of difference and recent developments. Asia-Pacific Tax Bulletin, 29, pp.4-11.

Maisto, G., 2003. History of Article 8 of the OECD Model Treaty on Taxation of Shipping and Air Transport, The. Intertax, 31, p.232.

Pickering, A., 2013. Taxation of non-resident service providers. In United Nations Handbook on Selected Issues in Administration of Double Tax Treaties for Developing Countries (pp. 221-260). United Nations.

Vogel, K., 1997. Double tax treaties and their interpretation. Int'l Tax & Bus. Law, 4, p.1.

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-penjelasan-singkat-persetujuan-penghindaran-pajak-berganda-p3b-atau-tax-treaty/#:~:text=Jakarta%2C%2003%2F02%2F2020,atas%20suatu%20penghasilan%20yang%20sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun