.
Sembilan menit lagi langit akan menjadi lingsirÂ
Adakah derita dan suara bergegas pulang menyisir?
Seperti itik yang mengenal malam dan ibu
Seperti ruang bercahaya yang menangkap hadirmu
.
Adakah masa silam berisikan ruang tunggu?
Memberi titik jeda antara detik dan rindu
Untuk saling mengikhlaskan sebuah perasaanÂ
Dan tak membebankan sepenuhnya pada keadaan
.
Seperti redam yang dilafalkan oleh waktuÂ
Seperti temaram dalam pangkuan haribaan rindu
.
Adapun sebingkai penuh bunga yang tak tertanam di lanskap tamanÂ
Mengingatkan diriku pada memori yang silamÂ
Maka senantiasa ditulis dunia pada wujud cerita romanÂ
Mengisahkan tentang teka teki akan warna ruam
.
Dan dunia ini selalu tak pernah selesai untuk diukur
Acapkali langit dan tanah mengingatkan diriku akan irama
Seperti suara yang merambat diantara telinga ketika tertidurÂ
Tanpa sadar kita tak pernah selesai dalam perihal menerimaÂ
.
Sepertinya kehilangan itu memuat suaraÂ
Dengan perlahan hati merangkum itu semuaÂ
Seperti transkrip dalam buku-buku cerita
Yang tak pernah selesai untuk memuat prasangka
.
Seperti ilalang yang dibakar kemarauÂ
Kekurangan akan melahirkan beberapa fase lampau
Entah dalam wujud yang tak mampu dibaca duniaÂ
Atau tak pandai diterima indera manusia
.
Dalam hari yang berakhir seperti pekan yang penat itu
Suara akan terbiasa menangkap cahaya dirimuÂ
Seperti menghafalkan sebuah rute yang berliku dan panjangÂ
Menuju bait-bait yang tak mudah ditafsirkan oleh bulan terang
.
Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit          Pramudya Ananta Toer. Anak Semua Bangsa. 1975
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H