Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pikiran Ilmiah dan Pikiran Wongcilik

8 Mei 2020   10:36 Diperbarui: 12 Mei 2020   04:37 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga beraktivitas di permukiman kumuh kampung nelayan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (20/1/2018). (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Tidak bisa tanpa berpikir entah bagaimana caranya mengikuti gelombang berita di masa sekarang dalam situasi pembatasan gerak sosial berskala besar. Berita, jendela kehidupan, memberi tawaran untuk tidak merespons selain terutama untuk berpikir.

Empat tulisan saya sebelum ini berjudul: Berfikir sederhana, berfikir kreatif, berfikir positif, dan terakhir berpikir kritis kesemuanya mengajak bagaimana merespons berita dan Covid-19 dengan aman terlepas dari keraguan, ketidak pastian, yang bisa menjadi ancaman gangguan kejiwaan.

Dari tanggal 30 April 2020 yang lalu hingga tanggal 5 Mei 2020 saya mencatat di satu pihak, masih adanya ketidakpastian dari fakta Covid-19.

Tetapi di lain pihak sudah adanya sikap dan dasar hukum para pemangku tanggung jawab dalam menyikapi situasi. Tetapi apa yang sebaiknya wong cilik berpikir dan bersikap?

Diberitakan bahwa Virus corona COVID-19 diperkirakan masih akan terus menyebar setidaknya 1,5 sampai 2 tahun ke depan. Wabah penyakitnya belum akan terhenti sebelum 60 hingga 70 persen populasi penduduk di Bumi terjangkit virus itu.

Inilah pikiran ilmuwan dari Pusat Riset dan Kebijakan Penyakit Menular di University of Minnesota, Amerika Serikat, Kamis 30 April 2020. Skenario terburuk bahwa gelombang kedua pandemi akan terjadi di akhir tahun nanti, musim gugur dan dingin.

Di skenario terbaik sekalipun di mana wabah virus sporadis saja selepas musim panas tahun ini dan terus berkurang mulai tahun depan, tim itu memperingatkan kalau angka kematian masih akan terjadi.

Dikatakan. "Mereka yang mengatakan wabah sekarang ini akan cepat berlalu telah mengabaikan ilmu mikrobiologi. virus corona COVID-19 adalah virus baru di mana manusia belum memiliki sistem kekebalan tubuh untuk menghadapinya". (Yaitu tingkat kekebalan tubuh minimal yang harus dimiliki untuk sebuah populasi akhirnya kebal infeksi virus ). Janganlah mengendurkan cepat-cepat pembatasan-pembatasan aktivitas sosial yang sudah dilakukan untuk mengendalikan penyebaran virus. Kecuali bila Sebuah vaksin yang sudah teruji bisa membantu penanganan pandemi, namun laporan itu menyatakan tidak bisa cepat. (TEMPO.CO, Jakarta )

Sementara itu Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, meyakini penyebaran virus Corona di Indonesia sudah bisa dikendalikan. Arahan Presiden pada akhir Rakernas: Pertama, meminta agar dilakukan pengujian sampel secara masif dan pelacakan secara agresif, serta sosialisasi yang ketat di masyarakat. 

Kedua, masyarakat juga diminta agar menggunakan layanan telemedicine untuk berkonsultasi dengan dokter dan mengurangi kunjungan ke rumah sakit.

Ketiga, Presiden menginstruksikan agar komunikasi kepada semua pihak dilakukan dengan detil dan transparan. Keempat, adanya penegakan hukum dengan bantuan aparat negara, agar masyarakat dapat disiplin menghadapi pandemi covid.

"Kelima, semua pihak harus memberikan jaminan arus logistik yang lancar dari pusat sampai ke daerah, dari gudang-gudang logisitik sampai ke daerah. Keenam, kebijakan stimulus ekonomi harus betul-betul tepat sasaran dan fokus pada pemutusan rantai penularan covid," ujar Yurianto.  (TEMPO.CO, Jakarta -3 Mei)

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Arteria Dahlan mengingatkan pemerintah tidak perlu terburu-buru menerapkan relaksasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Rupanya merespon wacana Menko Polkam. (REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  )

Dan menurut berita KONTAN.CO.ID, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) (4 Mei)disetujui akan ditetapkan menjadi Undang Undang (12 Mei).

Menurut Menkeu, virus corona Covid-19 telah menciptakan hantaman hebat kepada seluruh dunia yang telah menelan korban jiwa manusia dan mematikan kegiatan ekonomi masyarakat hingga ke akar rumput.  Selain itu krisis yang timbul akibat virus corona Covid-19 juga menyebabkan tidak adanya kepastian, terutama kapan pandemi ini akan berakhir.

"Indonesia sama seperti banyak negara di dunia, mengalami kondisi kegentingan yang memaksa dan menuntut Pemerintah secara cepat mengatasi krisis kesehatan yang telah menjalar menjadi krisis kemanusiaan, sosial dan krisis ekonomi yang berpotensi mengancam stabilitas sistem keuangan," kata Menkeu Sri Mulyani Indrawati.

Dari catatan peristiwa terkutip dimuka  tampak cara berpikirnya orang berilmu. Setidaknya mereka menunjukkan pemikiran yang rasional, obyektif dengan semacam sebab musabab yang dipertanggungjawabkan, cermat, kritis, peduli akan keselamatan kerja, dan lingkungan.

Semua itu sesuai dengan sikap yang kata Google sikap ilmiah. Dan tentu pemikirannya ilmiah yang kata Google pula: Berpikir ilmiah adalah berpikir secara : obyektif, methodis, sistematis, universal (Rasional)

Di sini saya ingin menyampaikan serentetan opini tentang cara berfikir wong cilik. Tentu pola pikir sederhana itu saya kira dapat menumbuhkan pola hidup yang sederhana pula.

Cara berpikir wong cilik itu boleh dibilang sederhana tetapi "menyeluruh", holistik, nuansa dari penderitaan, harapan, iman dan tradisi (baca : sejarah, legenda sebagai kemasan dari pesan dan ajaran moral peninggalan nenek moyang). Pola pikir mereka (menurut kita) mencampurkan pandangan politik, agama, moral, sosial keseharian. Itulah pola pikir yang diungkapkan secara sederhana, tetapi muatannya luas sesuai perasaannya.

Ungkapan perasaan hati wong cilik, pada kenyataannya tidak pakai pandangan politis, tidak juga berkacamata ilmiah, tidak banyak tanya sebab musabab. Atau mungkin lebih tepat dikatakan "tidak ada pandangan" apapun selain perasaan, naluri juang untuk hidup.

Akan tetapi semua itu membuahkan tindakan nyata yang sesuai dengan hati nurani, rasa keadilan, kepatutan keseharian, dalam kondisi lingkungan alamnya dan kebersamaan mereka, sehingga menghasilkan komitmen yang sesungguhnya.

Pola pikir yang demikian itu untuk diubah menjadi pemikiran maju, rational, analitis, bukan pekerjaan sehari selesai. Bahkan program lockdown atau social distancing atau PSBB tampak bukan main susah dipatuhi. Apakah mereka harus tidak didengarkan?

Saya melihat indikasi kemauan untuk mudik yang sudah menjadi ketentuan larangan. Pemerintah sudah mengeluarkan aturan terkait larangan mudik dan efektif sejak 24 April 2020. 12 hari sejak aturan tersebut berlaku atau dalam pelaksanaan operasi ketupat, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri mencatat sebanyak 30.193 kendaraan yang diminta untuk putar balik karena masih melakukan mudik.

Jadi tindakan di lapangan hanya persuasif, tidak ada tindakan hukum. Tindakannya hanya suruh putar balik saja untuk kembali ke rumah (rapat kerja dengan komisi V DPR, Rabu 6/5).

Pada tulisan saya sebelum ini beberapa kali diungkap bahwa Presiden Jokowi bertahan menghadapi situasi dan saran WHO dan banyak pihak agar Indonesia segera membuat lockdown, tetapi tidak bergeming sampai diterbitkan PSBB.

Itu semua belakangan terungkap pula sebabnya. Yaitu pertimbangan situasi demografi dan budaya negeri kita dan khusus lagi pola ekonomi wong cilik kita.

Lockdown gaya negeri yang pola ekonominya kuat dan negeri-negeri dataran bukan kepulauan bila diterapkan di negeri kita akan membunuh wong cilik. Tetapi saya belum menemukan berita yang menunjuk spesifik siapa itu wong cilik sebenarnya.

Sementara saya cenderung membayangkan di dalam pertimbangan presiden dalam membuat program PSBB, beliau peduli dan lebih memikirkan bukan kaum cerdik cendekiawan yang maunya bergegas harus ada lockdown di negeri ini.

Kelompok ini sangat peduli pada laporan dan opini ilmiah tentang Covid-19, dan sangat tidak peduli pada ekonomi mikro rakyat.

Dan kelompok bukan wong cilik ini untungnya masih bisa tahan untuk tinggal di rumah, sementara wong cilik tak bisa tidak untuk pulang kampung, karena di kota sudah tak bisa hidup.

Di sini bukan maksud untuk membuat pembedaan kaum intelek, pemikir ilmiah semata beda dengan pemikiran wong cilik, tetapi dalam kesadaran adanya beda cara berpikir harus ada satu kesamaan dalam menghadapi seluruh dampak krisis Covid-19 ini dan PSBB, dengan cara dan pola pikir yang saling menghormati karena kesamaan peduli lingkungan (sikap ekologis) yaitu berproses bersama membina sikap adaptatif, menuju Masa Normal Kembali yang baru.

Demikian permenungan saya mengajak dengan pola pikir yang bagaimanapun dalam suasana kondusif, berpadu bebas kecemasan dan ketakutan bahagia membawa harapan.

Teriring salam hormat saya  tak lupa disampaikan Selamat menjalani ibadat Puasa.

Ganjuran, Mei, 7, 2020. Emmanuel Astokodatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun