Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pikiran Ilmiah dan Pikiran Wongcilik

8 Mei 2020   10:36 Diperbarui: 12 Mei 2020   04:37 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga beraktivitas di permukiman kumuh kampung nelayan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (20/1/2018). (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Pola pikir yang demikian itu untuk diubah menjadi pemikiran maju, rational, analitis, bukan pekerjaan sehari selesai. Bahkan program lockdown atau social distancing atau PSBB tampak bukan main susah dipatuhi. Apakah mereka harus tidak didengarkan?

Saya melihat indikasi kemauan untuk mudik yang sudah menjadi ketentuan larangan. Pemerintah sudah mengeluarkan aturan terkait larangan mudik dan efektif sejak 24 April 2020. 12 hari sejak aturan tersebut berlaku atau dalam pelaksanaan operasi ketupat, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri mencatat sebanyak 30.193 kendaraan yang diminta untuk putar balik karena masih melakukan mudik.

Jadi tindakan di lapangan hanya persuasif, tidak ada tindakan hukum. Tindakannya hanya suruh putar balik saja untuk kembali ke rumah (rapat kerja dengan komisi V DPR, Rabu 6/5).

Pada tulisan saya sebelum ini beberapa kali diungkap bahwa Presiden Jokowi bertahan menghadapi situasi dan saran WHO dan banyak pihak agar Indonesia segera membuat lockdown, tetapi tidak bergeming sampai diterbitkan PSBB.

Itu semua belakangan terungkap pula sebabnya. Yaitu pertimbangan situasi demografi dan budaya negeri kita dan khusus lagi pola ekonomi wong cilik kita.

Lockdown gaya negeri yang pola ekonominya kuat dan negeri-negeri dataran bukan kepulauan bila diterapkan di negeri kita akan membunuh wong cilik. Tetapi saya belum menemukan berita yang menunjuk spesifik siapa itu wong cilik sebenarnya.

Sementara saya cenderung membayangkan di dalam pertimbangan presiden dalam membuat program PSBB, beliau peduli dan lebih memikirkan bukan kaum cerdik cendekiawan yang maunya bergegas harus ada lockdown di negeri ini.

Kelompok ini sangat peduli pada laporan dan opini ilmiah tentang Covid-19, dan sangat tidak peduli pada ekonomi mikro rakyat.

Dan kelompok bukan wong cilik ini untungnya masih bisa tahan untuk tinggal di rumah, sementara wong cilik tak bisa tidak untuk pulang kampung, karena di kota sudah tak bisa hidup.

Di sini bukan maksud untuk membuat pembedaan kaum intelek, pemikir ilmiah semata beda dengan pemikiran wong cilik, tetapi dalam kesadaran adanya beda cara berpikir harus ada satu kesamaan dalam menghadapi seluruh dampak krisis Covid-19 ini dan PSBB, dengan cara dan pola pikir yang saling menghormati karena kesamaan peduli lingkungan (sikap ekologis) yaitu berproses bersama membina sikap adaptatif, menuju Masa Normal Kembali yang baru.

Demikian permenungan saya mengajak dengan pola pikir yang bagaimanapun dalam suasana kondusif, berpadu bebas kecemasan dan ketakutan bahagia membawa harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun