Mohon tunggu...
Asti Sundari
Asti Sundari Mohon Tunggu... Lainnya - Berfikir adalah salah satu cara bersyukur telah diberi akal. Sebab keunggulan manusia dari akalnya.

Nikmatilah proses yang ada, karena setiap proses yang dilalui mengajarkan banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam

22 Oktober 2021   10:22 Diperbarui: 22 Oktober 2021   13:11 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Para perempuan sebagai individu Muslim memiliki tugas untuk berusaha menuntut ilmu hingga ia mati, khususnya menuntut ilmu-ilmu yang secara langsung merupakan kebutuhan mereka seperti kedokteran, psikologi, farmasi, pendidikan, biologi, kimia, manajemen, akuntansi, pengetahuan Islam, tafsir, akidah, fikih, sejarah, kesusasteraan, seni, bahasa, hukum, ekonomi, dan lain-lain.

Kira-kira separuh lebih jumlah suatu masyarakat adalah kaum perempuan dan mereka mestilah ikut andil dalam bidang-bidang tersebut. Oleh sebab itu, seharusnya jumlah para ilmuwan dan spesialis yang berasal dari kaum mereka sama dengan jumlah dari kaum lelaki. Seharusnya separuh rumah sakit, klinik, universitas, sekolah menengah atas, sekolah dasar, perguruan tinggi, farmasi, laboratorium, sekolah-sekolah ilmu agama, mubalig, dan pusat-pusat dakwah Islam dikhususkan bagi kaum perempuan. Demikian juga, rumah sakit bersalin seharusnya khusus bagi para perempuan sementara ilmuwan dan pakar perempuan mestinya berjumlah sama dengan ilmuwan dan pakar lelaki. Namun, sangatlah disesalkan hal seperti itu tidak terjadi.

Kesenjangan tersebut terjadi disebabkan oleh dua faktor:

Salah satunya adalah arogansi, diskriminasi, dan ketidakadilan kaum lelaki sepanjang sejarah yang mencegah kaum perempuan dari hak-hak legal mereka dan menjadikan perempuan selalu bergantung kepada mereka. Kaum perempuan harus mengetahui tanggung jawab dan peranannya serta berusaha untuk meraih kebebasan dan kecukupan sehingga dapat mempertahankan hak-hak mereka.

Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Perempuan pada jaman pra islam sama sekali tidak mempunyai kekuatan, mereka seperti barang yang dapat di perjual belikan bahkan di wariskan tetapi saat islam muncul maka harkat dan martabat perempuan di angkat. Posisi kaum perempuan disamakan dengan posisi kaum laki-laki. Tapi sayangnya ada kesalahan penafsiran sehingga terdapat tafsir bias jender di tengah masyarakat kaum muslimin. Yang mengakibatkan proses Marginalisasi.

Contohnya " Al-Rijalu qawwamuna'alannissa. " (Laki-laki adalah pemimpin atas wanita) Q.s An-nisa ayat 34. Tafsir tradisional selama ini adalah bahwa penguasa laki-laki atas perempuan. Penafiran ini atas dasar dari konsekuensinya laki-laki sebagai pencari nafkah dan dianggap sebagai keunggulan dari wanita. Oleh sebab itu perempuan harus membayar dengan cara patuh dan taat kepada suami meskipun ia harus dipukul.

Dalam tatanan masyarakat pada jaman saat ini bila memposisikan laki-laki sebagai pencari nafkah maka hal itu sudah mulai pudar, power laki-laki dihadapan perempun mulai luntur. Maka penafsiran tradisional diatas tidak sesuai, penafsiran tradisional juga diakibatkan kurangnya penafsiran perempuan sehingga tidak memasukkan bagaimana pandangan perempuan atas apa yang terjadi dimasa lampau.

Masyarakat Islam klasik kelihatannya belum bisa menerima kesetaraan jender dalam arti yang sebenarnya, misalnya kurang diberdayakannya wanita dalam aktivitas sosial apalagi dalam kancah politik. Umumnya ulama klasik tidak mengizinkan perempuan untuk diangkat sebagai pemimpin pada semua lini. Hanya Abu Hanifah (700-767 M) yang membolehkan wanita menjadi hakim dalam menangani perkara-perkara perdata dan perkara lain yang menyangkut harta. Demikian juga al-Thabariy (839-923 M) lebih longgar mengizinkan perempuan menjadi hakim dalam segala perkara.

Karenanya, bila ada seorang perempuan melebihi kemampuan kebanyakan laki-laki, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan argumen untuk membenarkan alasan perempuan boleh menjadi pemimpin atas laki-laki secara umum, misalnya menjadi pemimpin pemerintahan atau negara. Seiring dengan perkembangan hidup masyarakat yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tampaknya berimplikasi pada corak pemahaman umat Islam terhadap teks nash khususnya menyangkut eksistensi perempuan sebagai 'ibad Allah (hamba Allah) dan khalifat Allah fi al-ardl (wakil Tuhan di dunia).

Dengan demikian hadis Abiy Bakrah tersebut kurang tepat untuk dijadikan hujjah dalam menolak kepemimpinan perempuan. Selain itu, maksud kalimat "Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) kepada perempuan", adalah penyerahan seluruh urusan pemerintahan kepada perempuan. Kata amr (urusan) dalam hadist ini bersifat total atau menyeluruh. Pengendalian pemerintahan secara total hanya dikenal dalam sistem diktator absolut, yang sudah barang tentu tidak sesuai dengan syari'at atau hukum formal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun