Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melirik Sistem Pendidikan Dasar di Inggris

25 November 2017   03:05 Diperbarui: 25 November 2017   03:22 7327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekolah Dasar Inggris. Sumber: stmichaelsprimary.bournemouth.sch.uk

Tulisan singkat ini saya buat untuk menjawab request beberapa kawan  tentang bagaimana model pendidikan dasar di Inggris. Informasi yang saya rangkum di sini tentunya belum menyeluruh, dan sekiranya Anda butuh  lebih detail, bisa langsung menghubungi pihak-pihak terkait di sini.

Ok, so ide dasarnya adalah, serupa dengan Indonesia, pemerintah Inggris  mewajibkan pendidikan dasar untuk warganya dan warga asing yang tinggal  di negara ini. Kebijakan ini berlaku untuk mereka yang berusia antara 5  - 16 tahun. Tentunya ada prasyarat teknis terkait dengan hal ini, khususnya bagi warga negara asing, seperti kami contohnya.

Pendidikan di Inggris dibagi ke dalam 5 fase, sekaligus dijadikan  kategori jenis pendidikan yang ditawarkan kepada warganya. Kelima fase  tersebut adalah:

  • Early years,
  • Primary
  • Secondary,
  • Further Education (FE)
  • Higher Education (HE)

Dari kelima fase, yang diwajibkan adalah fase Primary & Secondary,  yang kalau kita komparasi dengan Indonesia, masuknya adalah Sekolah  Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Sementara, Early  years mengacu pada pendidikan anak balita sebagai persiapan masuk ke  Primary school, di mana berdasarkan The Education Act 2002, setiap anak  balita usia 4 tahun berhak mendapatkan pendidikan nursery sebanyak 15  jam per minggunya dengan total 38 minggu dalam setahun.

Sedangkan  Further Education (FE) mengacu pada pendidikan tingkat SMA kalau di  Indonesia, sedangkan Higher Education (HE), tentunya bisa ditebak,  setara dengan Akademi atau Universitas. Serupa juga di Indonesia, FE  dibedakan menjadi sekolah yang berorientasi melanjutkan ke jenjang universitas atau sekolah keahlian teknis, semacam SMK di Indonesia,  dengan bidang keahlian perminatan tertentu. Hal ini tentunya dengan  tujuan bagi siswa yang tidak tertarik kuliah, bisa langsung bekerja.

Dikarenakan tingkat SMA ke atas tidak wajib, maka tak sedikit warga  lokal yang hanya bersekolah tingkat secondary kemudian memilih bekerja. Atau, jika mereka lanjut ke FE, mereka tidak meneruskan ke universitas  karena satu dua alasan.

Anyway, selanjutnya saya akan lebih fokus  ke pendidikan dasar, khususnya di Primary school, karena itu yang kami  alami secara langsung. Kebetulan kedua anak kami, Mas Azka dan Dek Oki,  masuk dan bersekolah dasar di sini.

So, sedikit beda dengan di  Indonesia, pelaksanaan sekolah dasar di Inggris dihandle bukan oleh  Dinas Pendidikan, tapi lebih ke Pemerintah Kota di mana sekolah berada.  Dalam kasus kami, sekolah dasar berada dalam pengelolaan City Council  Bournemouth.

Apa konsekuensinya? Well, saat pertama kali mau  mendaftar sekolah, kami berhubungan dengan Children's Information  Service (CIS) alias Layanan Anak di kantor City Council. Kebetulan kami  datang di kota ini di bulan Agustus, sementara tahun ajaran mulai pada  September, kami masih punya cukup waktu untuk mengurusnya.

Lewat  CIS ini kami mendapat penjelasan teknis tentang mekanisme pendaftaran  sekolah, opsi sekolah yang available, kurikulum, standar pendidikan serta berbagai isu penting lainnya. Bersamaan, mereka melakukan  pengecekan apakah kami eligible untuk mendapatkan fasilitas pendidikan  gratis buat kedua anak kami. Luckily we do.

Ohya, yang butuh  dicatat, salah satu prasyarat mendaftar sekolah adalah adanya alamat  tinggal tetap, serta penentuan sekolah yang bisa dipilih berdasarkan  radius tempat tinggal. City council akan menggunakan alamat ini sebagai  patokan serta tujuan korespondensi saat mengirimkan surat tawaran  sekolah. Dalam kasus kami, pilihan rumah tinggal kami ambil mengacu pada  target sekolah terdekat yang kami inginkan. 

So, setelah semua  prasyarat teknis soal tempat tinggal, eligibilitas status, serta lain  sebagainya terpenuhi, kami pun mengajukan pendafataran sekolah untuk Mas  Azka dan Dek Oki. Ternyata, tidak langsung kami bisa mendaftarkan  keduanya. Mas Azka didaftarkan terlebih dulu, dengan 3 pilihan sekolah  dasar yang available, namun kami menargetkan St Michael's Primary School  sebagai opsi utama, karena pertimbangan lokasi dan rekomendasi kualitas  dari kawan sesama warga Indonesia.

Tak butuh waktu lama hingga  kami mendapat konfirmasi dari City Council bahwa Mas Azka diterima di  sekolah tersebut, untuk kemudian aplikasi sekolah Dek Oki pun diproses.  Ada kebijakan di sini, bahwa anak yang mempunyai saudara yang sudah  diterima di suatu sekolah akan lebih diprioritaskan masuk ke sekolah  sama.

Ok, long story short, mulailah kedua anak kami bersekolah.  Mas Azka masuk kelas 5 (year 5), sementara Dek Oki di kelas 4. Mereka  mendapatkan kelas dengan guru wali yang menurut saya luar biasa. Sangat  helpful, pengertian dan encouraging terhadap kedua anak kami, yang jujur  mesti sudah kami persiapkan khususnya soal bahasa, namun tetap nervous dengan sekolah barunya.

Mereka bergabung dengan kelas yang isinya  anak-anak dari latar belakang beragam. Anak warga lokal bercampur  dengan anak-anak imigran dari berbagai negara; Polandia, Romania, Arab,  Mesir, India, Pakistan, Spanyol, Portugis dan masih banyak lagi.  Dikarenakan tak semua anak menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa Ibu,  maka sekolah memberikan layanan Lingo Lab, berupa kelas bahasa tambahan.  Dek Oki musti ikut kelas ini, sementara Mas Azka, ajaibnya tidak.

Mata pelajaran di sekolah pun sedikit beda dengan di Indonesia. Saya  mencatat hanya ada beberapa mata pelajaran wajib, yaitu Math, Science, English serta PE, alias olah raga. Pelajaran lain di sela-sela  keempatnya adalah Bahasa Prancis, untuk Dek Oki, Music dan Arts, juga  Renang, untuk Mas Azka. Ohya, satu lagi, karena St Michael's berada di  bawah naungan Church of England (CE), terdapat pelajaran agama, atau  lebih tepatnya komparasi agama. Di mana anak dikenalkan terhadap beragam  agama yang ada, tak hanya ajaran Kristen, namun juga Yahudi, Islam,  Hindu, Buddha dan sebagainya.

Yang menarik dalam metode  pembelajaran di sini, selain jumlah mata pelajaran yang tak sebanyak di  Indonesia adalah cara pengajarannya. Diskusi menjadi model utama belajar  mengajar. Anak-anak diberi topik sesuai mata pelajarannya, kemudian  diajak berdiskusi, menyampaikan pendapat dan saling mengkritisi. Mereka  pun diberi penekanan untuk berpikir logis. 

Kemudian, pada  pelajaran Math khususnya, secara level yang diajarkan jauh dibanding di  Indonesia. Bayangkan, kelas 5 SD masih belajar perkalian, pembagian,  bilangan desimal dan sejenisnya, yang seingat saya, kalau di Indonesia  diajarkan di kelas-kelas lebih rendah. Namun, ada sisi menarik, meski  levelnya tertinggal, anak diajarkan beragam teknis penyelesaian kasus  matematis, berbeda dengan di kita yang umumnya hanya 1 cara yang dipelajari.

Ketika kami menanyakan alasan pengajaran model ini,  Ms. Bruggman, guru wali Mas Azka menyebut bahwa adalah kebijakan  Kementerian Pendidikan Inggris untuk memberikan sebanyak mungkin  alternatif teknis penyelesaian soal, untuk kemudian anak didik memilih  sendiri mana yang paling cocok dengan dirinya. Selain itu, menurut sang  wali kelas, pendidikan dasar di sini memberi penekanan pada proses  penyelesaian kasus, alih-alih pada hasil akhirnya. Sebuah pola pikir  yang saya pandang menarik, dan mungkin bisa sedikit banyak kita adopsi. 

Yang tak kalah menarik dari pendidikan dasar di sini adalah, perkara  penilaian. Jika di Indonesia, kita umumnya menilai anak dalam kelompok  kelas, di mana hasil ujian menjadi penentu peringkat, maka di sini tidak  ada yang namanya ranking kelas. Setiap anak diberi penilaian bukan  dalam konteks komparasi dengan kawan-kawan sekelasnya, namun dengan  dirinya sendiri di periode pembelajaran sebelumnya.

Hal ini  dikuatkan dengan sistem pemberian merit dan awards. Di mana, setiap  achievement personal seorang anak, di mana yang bersangkutan berhasil  mencapai peningkatan baik secara intelektual maupun sosial, akan  diberikan merit point serta award. Tak butuh waktu lama untuk Mas Azka dan Dek Oki mengoleksi merit point mereka serta mendapatkan award,  khususnya Math dan English champion of the week. 

Penanaman  kepercayaan diri saya lihat juga mendapatkan porsi luar biasa dalam  sistem pendidikan dasar di sini. Anak diajari untuk berani berpikir, menyampaikan pendapat, serta bertanya pada guru tentang apapun. Menjadi  'ceriwis' seperti Mas Azka, mendapatkan apresiasi jauh luar biasa dibanding saat dia masih bersekolah di Indonesia dulu. Sesuatu yang  melegakan bagi kami, karena sebelumnya kami sempat khawatir.

Ohya, aktifitas fisik juga mendapat perhatian tak kalah besar di sini.  Kegiatan PE dilakukan seminggu dua kali, umumnya berupa lari keliling lapangan olah raga dilanjutkan aktifitas seperti bermain sepakbola atau  sejenisnya. Jika cuaca dengan memburuk, yang sering terjadi di sini, kegiatan pun beralih ke ruang assembly, semacam aula di dalam gedung  sekolah.

Mereka pun tak jarang diajak ke pantai Bournemouth, yang  jaraknya tak lebih dari 10 menit jalan kaki, untuk berolahraga  sekaligus mengamati kehidupan yang ada. Karena Mas Azka murid baru,dia  pun diwajibkan ikut kelas renang seminggu sekali. Dan yang  menggembirakan adalah, dia menikmati aktifitas tersebut serta sekarang  telah mampu berenang secara baik--sementara saya sendiri tidak bisa.

Ohya, saya hampir lupa, sekolah di sini mewajibkan anak untuk membawa  bekal makan sendiri. Yang nantinya akan dinikmati bersama kawan-kawannya  di jam makan siang. Ada panduan wajib dari sekolah bahwa bekal harus  menyertakan buah setiap hari. Namun uniknya, anak dilarang untuk berbagi  makanan dengan temannya, bukan karena pelit, namun karena kekhawatiran  resiko alergi. Yeah, di sini banyak anak yang alergi makanan tertentu,  khususnya kacang-kacangan.

Masih soal makan siang, ternyata ada  fasilitas makan siang gratis bagi anak-anak yang keluarganya kurang  mampu. Ya, jangan kaget, di Inggris tak sedikit keluarga, khususnya  warga lokal, yang mengalami masalah finansial, sehingga tak cukup mampu  menyediakan bekal makan siang memadahi untuk anak-nya. Dalam kasus  semacam ini, sekolah menyediakan makan siang yang disiapkan staff  khusus. 

Plus, satu hal lagi, beda dengan di Indonesia, tidak  akan bisa dijumpai abang-abang penjual jajan atau mainan di luar pagar  sekolah. So, anak tak butuh uang jajan di sini--berita bagus buat kami  sebagai orang tua. En, satu lagi, seberapapun dekat rumah tinggal, anak  sekolah dasar di sini tidak diperbolehakan berangkat atau pulang sekolah  sendiri. Orang tua atau wali musti mengantar jemput. Dalam kasus  tertentu, ketika orang tua tidak bisa menjemput atau telat, ada layanan  penitipan anak atau kelas hobi tambahan selama 1-2 jam. 

So,  begitulah cerita singkat berdasarkan pengalaman kami menyekolahkan anak  sejauh ini. Kesan kami sejauh ini positif terhadap sistem dan aplikasi  pendidikan di Inggris, khususnya di kota Bournemouth ini. Sekiranya Anda  terpikir untuk membawa anak usia sekolah ke sini, tak perlu khawatir.  Insya Allah akan jadi pengalaman yang menarik dan bermanfaat bagi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun