Tulisan singkat ini saya buat untuk menjawab request beberapa kawan tentang bagaimana model pendidikan dasar di Inggris. Informasi yang saya rangkum di sini tentunya belum menyeluruh, dan sekiranya Anda butuh lebih detail, bisa langsung menghubungi pihak-pihak terkait di sini.
Ok, so ide dasarnya adalah, serupa dengan Indonesia, pemerintah Inggris mewajibkan pendidikan dasar untuk warganya dan warga asing yang tinggal di negara ini. Kebijakan ini berlaku untuk mereka yang berusia antara 5 - 16 tahun. Tentunya ada prasyarat teknis terkait dengan hal ini, khususnya bagi warga negara asing, seperti kami contohnya.
Pendidikan di Inggris dibagi ke dalam 5 fase, sekaligus dijadikan kategori jenis pendidikan yang ditawarkan kepada warganya. Kelima fase tersebut adalah:
- Early years,
- Primary
- Secondary,
- Further Education (FE)
- Higher Education (HE)
Dari kelima fase, yang diwajibkan adalah fase Primary & Secondary, yang kalau kita komparasi dengan Indonesia, masuknya adalah Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Sementara, Early years mengacu pada pendidikan anak balita sebagai persiapan masuk ke Primary school, di mana berdasarkan The Education Act 2002, setiap anak balita usia 4 tahun berhak mendapatkan pendidikan nursery sebanyak 15 jam per minggunya dengan total 38 minggu dalam setahun.
Sedangkan Further Education (FE) mengacu pada pendidikan tingkat SMA kalau di Indonesia, sedangkan Higher Education (HE), tentunya bisa ditebak, setara dengan Akademi atau Universitas. Serupa juga di Indonesia, FE dibedakan menjadi sekolah yang berorientasi melanjutkan ke jenjang universitas atau sekolah keahlian teknis, semacam SMK di Indonesia, dengan bidang keahlian perminatan tertentu. Hal ini tentunya dengan tujuan bagi siswa yang tidak tertarik kuliah, bisa langsung bekerja.
Dikarenakan tingkat SMA ke atas tidak wajib, maka tak sedikit warga lokal yang hanya bersekolah tingkat secondary kemudian memilih bekerja. Atau, jika mereka lanjut ke FE, mereka tidak meneruskan ke universitas karena satu dua alasan.
Anyway, selanjutnya saya akan lebih fokus ke pendidikan dasar, khususnya di Primary school, karena itu yang kami alami secara langsung. Kebetulan kedua anak kami, Mas Azka dan Dek Oki, masuk dan bersekolah dasar di sini.
So, sedikit beda dengan di Indonesia, pelaksanaan sekolah dasar di Inggris dihandle bukan oleh Dinas Pendidikan, tapi lebih ke Pemerintah Kota di mana sekolah berada. Dalam kasus kami, sekolah dasar berada dalam pengelolaan City Council Bournemouth.
Apa konsekuensinya? Well, saat pertama kali mau mendaftar sekolah, kami berhubungan dengan Children's Information Service (CIS) alias Layanan Anak di kantor City Council. Kebetulan kami datang di kota ini di bulan Agustus, sementara tahun ajaran mulai pada September, kami masih punya cukup waktu untuk mengurusnya.
Lewat CIS ini kami mendapat penjelasan teknis tentang mekanisme pendaftaran sekolah, opsi sekolah yang available, kurikulum, standar pendidikan serta berbagai isu penting lainnya. Bersamaan, mereka melakukan pengecekan apakah kami eligible untuk mendapatkan fasilitas pendidikan gratis buat kedua anak kami. Luckily we do.
Ohya, yang butuh dicatat, salah satu prasyarat mendaftar sekolah adalah adanya alamat tinggal tetap, serta penentuan sekolah yang bisa dipilih berdasarkan radius tempat tinggal. City council akan menggunakan alamat ini sebagai patokan serta tujuan korespondensi saat mengirimkan surat tawaran sekolah. Dalam kasus kami, pilihan rumah tinggal kami ambil mengacu pada target sekolah terdekat yang kami inginkan.
So, setelah semua prasyarat teknis soal tempat tinggal, eligibilitas status, serta lain sebagainya terpenuhi, kami pun mengajukan pendafataran sekolah untuk Mas Azka dan Dek Oki. Ternyata, tidak langsung kami bisa mendaftarkan keduanya. Mas Azka didaftarkan terlebih dulu, dengan 3 pilihan sekolah dasar yang available, namun kami menargetkan St Michael's Primary School sebagai opsi utama, karena pertimbangan lokasi dan rekomendasi kualitas dari kawan sesama warga Indonesia.
Tak butuh waktu lama hingga kami mendapat konfirmasi dari City Council bahwa Mas Azka diterima di sekolah tersebut, untuk kemudian aplikasi sekolah Dek Oki pun diproses. Ada kebijakan di sini, bahwa anak yang mempunyai saudara yang sudah diterima di suatu sekolah akan lebih diprioritaskan masuk ke sekolah sama.
Ok, long story short, mulailah kedua anak kami bersekolah. Mas Azka masuk kelas 5 (year 5), sementara Dek Oki di kelas 4. Mereka mendapatkan kelas dengan guru wali yang menurut saya luar biasa. Sangat helpful, pengertian dan encouraging terhadap kedua anak kami, yang jujur mesti sudah kami persiapkan khususnya soal bahasa, namun tetap nervous dengan sekolah barunya.
Mereka bergabung dengan kelas yang isinya anak-anak dari latar belakang beragam. Anak warga lokal bercampur dengan anak-anak imigran dari berbagai negara; Polandia, Romania, Arab, Mesir, India, Pakistan, Spanyol, Portugis dan masih banyak lagi. Dikarenakan tak semua anak menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa Ibu, maka sekolah memberikan layanan Lingo Lab, berupa kelas bahasa tambahan. Dek Oki musti ikut kelas ini, sementara Mas Azka, ajaibnya tidak.
Mata pelajaran di sekolah pun sedikit beda dengan di Indonesia. Saya mencatat hanya ada beberapa mata pelajaran wajib, yaitu Math, Science, English serta PE, alias olah raga. Pelajaran lain di sela-sela keempatnya adalah Bahasa Prancis, untuk Dek Oki, Music dan Arts, juga Renang, untuk Mas Azka. Ohya, satu lagi, karena St Michael's berada di bawah naungan Church of England (CE), terdapat pelajaran agama, atau lebih tepatnya komparasi agama. Di mana anak dikenalkan terhadap beragam agama yang ada, tak hanya ajaran Kristen, namun juga Yahudi, Islam, Hindu, Buddha dan sebagainya.
Yang menarik dalam metode pembelajaran di sini, selain jumlah mata pelajaran yang tak sebanyak di Indonesia adalah cara pengajarannya. Diskusi menjadi model utama belajar mengajar. Anak-anak diberi topik sesuai mata pelajarannya, kemudian diajak berdiskusi, menyampaikan pendapat dan saling mengkritisi. Mereka pun diberi penekanan untuk berpikir logis.
Kemudian, pada pelajaran Math khususnya, secara level yang diajarkan jauh dibanding di Indonesia. Bayangkan, kelas 5 SD masih belajar perkalian, pembagian, bilangan desimal dan sejenisnya, yang seingat saya, kalau di Indonesia diajarkan di kelas-kelas lebih rendah. Namun, ada sisi menarik, meski levelnya tertinggal, anak diajarkan beragam teknis penyelesaian kasus matematis, berbeda dengan di kita yang umumnya hanya 1 cara yang dipelajari.
Ketika kami menanyakan alasan pengajaran model ini, Ms. Bruggman, guru wali Mas Azka menyebut bahwa adalah kebijakan Kementerian Pendidikan Inggris untuk memberikan sebanyak mungkin alternatif teknis penyelesaian soal, untuk kemudian anak didik memilih sendiri mana yang paling cocok dengan dirinya. Selain itu, menurut sang wali kelas, pendidikan dasar di sini memberi penekanan pada proses penyelesaian kasus, alih-alih pada hasil akhirnya. Sebuah pola pikir yang saya pandang menarik, dan mungkin bisa sedikit banyak kita adopsi.
Yang tak kalah menarik dari pendidikan dasar di sini adalah, perkara penilaian. Jika di Indonesia, kita umumnya menilai anak dalam kelompok kelas, di mana hasil ujian menjadi penentu peringkat, maka di sini tidak ada yang namanya ranking kelas. Setiap anak diberi penilaian bukan dalam konteks komparasi dengan kawan-kawan sekelasnya, namun dengan dirinya sendiri di periode pembelajaran sebelumnya.
Hal ini dikuatkan dengan sistem pemberian merit dan awards. Di mana, setiap achievement personal seorang anak, di mana yang bersangkutan berhasil mencapai peningkatan baik secara intelektual maupun sosial, akan diberikan merit point serta award. Tak butuh waktu lama untuk Mas Azka dan Dek Oki mengoleksi merit point mereka serta mendapatkan award, khususnya Math dan English champion of the week.
Penanaman kepercayaan diri saya lihat juga mendapatkan porsi luar biasa dalam sistem pendidikan dasar di sini. Anak diajari untuk berani berpikir, menyampaikan pendapat, serta bertanya pada guru tentang apapun. Menjadi 'ceriwis' seperti Mas Azka, mendapatkan apresiasi jauh luar biasa dibanding saat dia masih bersekolah di Indonesia dulu. Sesuatu yang melegakan bagi kami, karena sebelumnya kami sempat khawatir.
Ohya, aktifitas fisik juga mendapat perhatian tak kalah besar di sini. Kegiatan PE dilakukan seminggu dua kali, umumnya berupa lari keliling lapangan olah raga dilanjutkan aktifitas seperti bermain sepakbola atau sejenisnya. Jika cuaca dengan memburuk, yang sering terjadi di sini, kegiatan pun beralih ke ruang assembly, semacam aula di dalam gedung sekolah.
Mereka pun tak jarang diajak ke pantai Bournemouth, yang jaraknya tak lebih dari 10 menit jalan kaki, untuk berolahraga sekaligus mengamati kehidupan yang ada. Karena Mas Azka murid baru,dia pun diwajibkan ikut kelas renang seminggu sekali. Dan yang menggembirakan adalah, dia menikmati aktifitas tersebut serta sekarang telah mampu berenang secara baik--sementara saya sendiri tidak bisa.
Ohya, saya hampir lupa, sekolah di sini mewajibkan anak untuk membawa bekal makan sendiri. Yang nantinya akan dinikmati bersama kawan-kawannya di jam makan siang. Ada panduan wajib dari sekolah bahwa bekal harus menyertakan buah setiap hari. Namun uniknya, anak dilarang untuk berbagi makanan dengan temannya, bukan karena pelit, namun karena kekhawatiran resiko alergi. Yeah, di sini banyak anak yang alergi makanan tertentu, khususnya kacang-kacangan.
Masih soal makan siang, ternyata ada fasilitas makan siang gratis bagi anak-anak yang keluarganya kurang mampu. Ya, jangan kaget, di Inggris tak sedikit keluarga, khususnya warga lokal, yang mengalami masalah finansial, sehingga tak cukup mampu menyediakan bekal makan siang memadahi untuk anak-nya. Dalam kasus semacam ini, sekolah menyediakan makan siang yang disiapkan staff khusus.
Plus, satu hal lagi, beda dengan di Indonesia, tidak akan bisa dijumpai abang-abang penjual jajan atau mainan di luar pagar sekolah. So, anak tak butuh uang jajan di sini--berita bagus buat kami sebagai orang tua. En, satu lagi, seberapapun dekat rumah tinggal, anak sekolah dasar di sini tidak diperbolehakan berangkat atau pulang sekolah sendiri. Orang tua atau wali musti mengantar jemput. Dalam kasus tertentu, ketika orang tua tidak bisa menjemput atau telat, ada layanan penitipan anak atau kelas hobi tambahan selama 1-2 jam.
So, begitulah cerita singkat berdasarkan pengalaman kami menyekolahkan anak sejauh ini. Kesan kami sejauh ini positif terhadap sistem dan aplikasi pendidikan di Inggris, khususnya di kota Bournemouth ini. Sekiranya Anda terpikir untuk membawa anak usia sekolah ke sini, tak perlu khawatir. Insya Allah akan jadi pengalaman yang menarik dan bermanfaat bagi mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI